Jakarta: Usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan disambut baik. Namun, pengubahan payung hukum penanganan wabah penyakit itu dinilai tak bisa diselesaikan dalam tempo singkat.
"Harus diakui untuk menuju proses penyempurnaan itu kan butuh waktu," kata anggota Komisi IX Rahmad Handoyo kepada Medcom.id, Jumat, 18 Desember 2020.
Menurut dia, ada beberapa tahapan dalam pembahasan rancangan atau revisi UU. Aturan itu harus masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah atau periode pemerintahan dan DPR. Selanjutnya, aturan itu menjadi bagian dari daftar prolegnas prioritas.
"Proses itu juga butuh kajian, butuh serapan aspirasi dari masyarakat," ungkap politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu.
Baca: Tekan Kasus AKtif Covid-19 dengan Taat Protokol Kesehatan
Sambil menunggu perbaikan, dia menyarankan pemerintah dan pihak terkait meningkatkan koordinasi. Kekurangan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dinilai bisa dilengkapi dengan memaksimalkan kerja sama antarlembaga.
"Lubang kelemahan (UU) itu kita tutupi bersama-sama, sharing tugas antarinstansi sehingga tidak hanya menyerahkan ke satu-dua lembaga, tapi kita bergotong royong," sebut dia.
Selain itu, dia mengapresiasi keterbukaan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 atas kekurangan UU Kekarantinaan Kesehatan. Aspirasi dari Satgas Penanganan Covid-19 harus ditindaklanjuti para pembuat kebijakan.
"Karena merekalah (Satgas Penanganan Covid-19) yang menjalankan dan mengakui bahwa perlu ada penyempurnaan payung hukum," ujar dia.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo meminta UU Kekarantinaan Kesehatan direvisi. Perubahan diperlukan agar Indonesia mampu bekerja lebih maksimal menangani wabah di masa mendatang.
"Ketika terjadi kasus serupa (pandemi covid-19), kita sudah mendapatkan sebuah konsep yang lebih baik antara pusat dan daerah juga dengan semua komponen, termasuk TNI, Polri," kata Doni dalam bedah Buku Putih Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia secara virtual, Kamis, 17 Desember 2020.
Jakarta: Usulan revisi Undang-Undang (
UU) Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan disambut baik. Namun, pengubahan payung hukum penanganan wabah penyakit itu dinilai tak bisa diselesaikan dalam tempo singkat.
"Harus diakui untuk menuju proses penyempurnaan itu kan butuh waktu," kata anggota Komisi IX Rahmad Handoyo kepada
Medcom.id, Jumat, 18 Desember 2020.
Menurut dia, ada beberapa tahapan dalam pembahasan rancangan atau revisi UU. Aturan itu harus masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) jangka menengah atau periode pemerintahan dan DPR. Selanjutnya, aturan itu menjadi bagian dari daftar prolegnas prioritas.
"Proses itu juga butuh kajian, butuh serapan aspirasi dari masyarakat," ungkap politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan itu.
Baca:
Tekan Kasus AKtif Covid-19 dengan Taat Protokol Kesehatan
Sambil menunggu perbaikan, dia menyarankan pemerintah dan pihak terkait meningkatkan koordinasi. Kekurangan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dinilai bisa dilengkapi dengan memaksimalkan kerja sama antarlembaga.
"Lubang kelemahan (UU) itu kita tutupi bersama-sama, sharing tugas antarinstansi sehingga tidak hanya menyerahkan ke satu-dua lembaga, tapi kita bergotong royong," sebut dia.
Selain itu, dia mengapresiasi keterbukaan Satuan Tugas (
Satgas) Penanganan
Covid-19 atas kekurangan UU Kekarantinaan Kesehatan. Aspirasi dari Satgas Penanganan Covid-19 harus ditindaklanjuti para pembuat kebijakan.
"Karena merekalah (Satgas Penanganan Covid-19) yang menjalankan dan mengakui bahwa perlu ada penyempurnaan payung hukum," ujar dia.
Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Doni Monardo meminta UU Kekarantinaan Kesehatan direvisi. Perubahan diperlukan agar Indonesia mampu bekerja lebih maksimal menangani wabah di masa mendatang.
"Ketika terjadi kasus serupa (pandemi covid-19), kita sudah mendapatkan sebuah konsep yang lebih baik antara pusat dan daerah juga dengan semua komponen, termasuk TNI, Polri," kata Doni dalam bedah Buku Putih Penanganan Pandemi Covid-19 di Indonesia secara virtual, Kamis, 17 Desember 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)