Ilustrasi. Medcom.id
Ilustrasi. Medcom.id

Omnibus Law RUU Kesehatan Dinilai Minim Kejelasan dan Urgensi

M Iqbal Al Machmudi • 28 November 2022 02:03
Jakarta: Pengurus PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan PP Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Iqbal Mochtar menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan dengan konsep omnibus law yang sedang disusun DPR minim kejelasan. Urgensinya pun dipertanyakan.
 
Ia mengatakan urgensi penggabungan UU adalah mengganti dan sinergikan berbagai UU terkait. Terdapat 12 UU bidang kesehatan akan dihapus dan digantikan oleh omnibus law RUU Kesehatan ini. Namun, sebelum memutuskan pembuatan UU baru, kata dia, semestinya ada penjelasan rasional dan transparan terkait alasan penggantian UU lama.
 
"Apakah UU lama sudah tidak relevan atau mengandung konflik satu dengan lainnya, harus ada penjelasan dan telaah ilmiah terkait aspek filosofis, yuridis dan sosial penggantian UU ini. Sehingga ada alasan substansial dan relevan penggantian UU," kata Iqbal, Minggu, 27 November 2022.

Ia menilai hingga kini tidak ada urgensi dan kegentingan sama sekali pada produk legislasi tersebut. Ditambah dengan sangat cepatnya pembahasan RUU tersebut seolah-olah ada kegentingan.
 
"Sayangnya, aspek kejelasan ini tidak terpenuhi. Hingga kini, tidak pernah terdengar adanya diskusi atau telaah ilmiah RUU ini, apalagi yang melibatkan perguruan tinggi. Kesannya, sangat lack of clarity atau minim kejelasan," jelas dia.
 

Baca: Tok, Revisi KUHP Akan Dibawa ke Paripurna untuk Disahkan Jadi UU


Padahal, menurut dia, 12 UU sebelumnya tidak ada urgensi penggabungan karena tidak ada konflik signifikan antar UU. Menurutnya, produk legislasi yang seharusnya dibuat saat ini adalah terkait isu kekinian atau pandemi, seperti UU Telemedicine, UU Meta Data Penduduk atau UU Pembuatan Obat dan Vaksin Wabah.
 
"Negeri ini masih terus berjibaku dengan persoalan kesehatan mendasar, angka AKI/AKB yang masih terpuruk, target pengurangan stunting 2,5 persen per tahun yang belum tercapai, isu BPJS yang masih terus menggelantung," ujar Iqbal.
 
Ia juga mengurai beberapa pasal yang dinilai saling bertentangan. Seperti Pasal 268 yang menyebutkan pasien berhak menolak usulan penatalaksanaan dari tenaga kesehatan, sementara pasal 269 menyatakan pasien wajib mematuhi nasihat tenaga kesehatan.
 
"Sayangnya, draf RUU ini menimbulkan pertanyaan terkait kualitas isinya; banyak locus minoris atau celah kelemahan," katanya.
 
RUU ini membuat peran Menteri Kesehatan menjadi super body karena menjadi penentu dari semua persoalan kesehatan dari hulu ke hilir. Menteri akan menjadi atasan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), BPJS dan berbagai institusi lain. Menteri menjadi penentu utama standar-standar pendidikan kedokteran, pelayanan kedokteran dan standar profesi dokter.
 
Sebelumnya, kata dia, peran ini dibagi secara proporsional dengan berbagai stakeholder termasuk organisasi profesi, rumah sakit dan institusi pendidikan.
 
"Monopoli peran ini menggiring sistem kesehatan Indonesia mundur ke belakang menjadi model sentralisasi. Padahal dunia modern jelas dengan spirit kolaborasi dan inklusifme, bukan monopoli dan eksklusifme," ungkap dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan