medcom.id, Jakarta: Kala Ramadan datang, setan dibelenggu, pintu surga dibuka, gerbang neraka ditutup rapat.
Tentu, tak ada yang keliru dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim itu.
Abi Al Hasan Ali ibn Khalaf ibn Abdul Malik ibn Baththal, dalam Syarhu Shahih Al Bukhari menjelaskan, keterangan sabda Rasulullah Muhammad SAW itu bisa dipahami melalui dua pendekatan. Ala hakiki, juga majasi.
Secara literal, kata Ibnu Baththal, hadis itu memang menyuguhkan makna bahwa ketika Bulan Suci tiba, intensitas setan menggoda manusia ke arah keburukan menjadi berkurang.
Tapi, bisa juga dalam makna kiasan. Misalnya, dengan semangat ibadah yang meningkat di bulan penuh ampunan, tak ada lagi celah selain untuk berbuat kebaikan.
Maka, penanggalan kalender Ramadan atau bukan, sejatinya, kejahatan masih di tempat yang sama. Selain soal pelaku, orang-orang bilang; adanya kesempatan juga begitu menentukan.
Belakangan hari, makin mendekati Lebaran kian ngeri juga pemberitaan tentang kejahatan. Malah, tindak kriminal itu tidak lagi dilakukan dengan mengendap-endap, melainkan secara terang-terangan.
Kebengisan bukan lagi berupa curi-mencuri, tapi dengan penodongan, perampokan, hingga merampas nyawa korban.
Kabar kematian Italia Chandra Kirana Putri, perempuan yang tewas ditembak pelaku kejahatan curanmor di Perumahan Bugel Indah, Karawaci, Kota Tangerang, Banten pada Senin, 12 Juni 2017, tentu membuat banyak orang merinding.
Betapa tidak, sebab, tiga hari sebelumnya, yakni Jumat 9 Juni 2017, peristiwa yang sama juga menimpa Davidson Tantono. Pengusaha muda itu ditembak kawanan perampok di depan SPBU Jembatan Gantung, Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat.
Anehnya lagi, kedua peristiwa yang mengusik rasa aman publik itu sama-sama terjadi di siang bolong.
Peran negara
Apa sebab kejahatan meningkat? Kalimat ini tertulis dalam subjudul terjemahan The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order yang ditulis ekonom politik Yoshihiro Francis Fukuyama pada 1999.
Fukuyama membantah jika selama ini urbanisasi semata-mata dianggap menjadi faktor meningkatnya kejahatan di suatu kota.
Soal peningkatan kejahatan, Fukuyama lebih mengedepankan argumen modal sosial, "Kejahatan meningkat karena modal sosial dalam suatu permukiman atau dalam suatu komunitas menyusut, dan sebaliknya."
Sebagaimana dijelaskan dalam teori modal sosial (social capital), tiga hal penting terjadi mengiringi perkembangan masyarakat.
Ketiganya adalah proses menjembatani (bridging), menyatukan (bonding), dan menghubungkan (linking) antar-individu dalam masyarakat.
Dalam masyarakat dengan modal sosial yang kuat, kerjasama dan solidaritas antarwarga mampu terbentuk dengan baik. Sebaliknya, jika modal sosial lemah, individu mengalami 'atomisasi ekstrem' dan mengakibatkan pudarnya kebersamaan dan kerjasama dalam masyarakat.
Masyarakat perkotaan, dengan struktur ketimpangan sosial yang tinggi, dibarengi tidak berkembangnya modal sosial dengan baik, sangat rawan memunculkan tindak kriminal. Dalam skala ekstrem, masyarakat dengan kapasitas modal sosial yang rendah bisa jadi lahan subur munculnya tindak kejahatan.
Di sinilah pemerintah bisa ambil peran. Pemahaman terhadap modal sosial menjadi faktor yang kian penting dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik.
Soal ini, Robert E. Lang dan Steven P. Hornburg mengritik pemangku kepentingan yang enggan menimbang dan membaca modal sosial di wilayahnya secara serius.
Dalam What is Social Capital and Why Is it important to Public Policy yang dimuat dalam jurnal Housing Policy Debate (1998), keduanya menulis, "Sering kali kebijakan publik dibuat berdasarkan teori yang lebih menekankan pada motivasi individu dan kurang memperhatikan mekanisme dan dinamika yang ada dalam kelompok."
Hubungannya dengan dua kasus di atas, ada benarnya komentar yang dilontarkan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid. Terkanya, kejahatan kian terang-terangan seiring peredaran senjata api (senpi) ilegal yang makin merebak.
"Sedangkan sejumlah regulasi terkait pemakaian senpi kerap tidak relevan. Perlu diperbaharui," ucap Meutya Rabu 14 Juni 2017.
Baca: Polisi Disebut tak Serius Memberantas Senpi
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala bahkan menilai polisi tidak serius menghentikan peredaran senpi. Petugas, kata dia, mestinya tak pandang bulu. Ketika izin penggunaan senpi habis, polisi harus segera menarik atau mengambilnya.
"Kenyataannya, terkadang polisi segan atau tidak enak menarik senjata karena yang punya jenderal, pengusaha, atau penguasa. Jangan pandang bulu," kata Adrianus saat dihubungi Metrotvnews.com, Rabu 14 Juni 2017.
Dari data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, pada 2011 saja, jumlah senjata api yang beredar di masyarakat secara legal mencapai 41.102 pucuk. Sebanyak 17.983 pucuk berizin untuk bela diri, 11.689 pucuk digunakan untuk polisi khusus, 6.551 pucuk untuk olahraga, dan 4.699 pucuk diperuntukan oleh satpam.
Legal atau tidak, sepertinya sudah bukan pembeda. Karena keduanya sama-sama membahayakan ketika digunakan tidak sesuai aturan.
Ketika satu korban sudah terjatuh, tak ada lagi urusan apakah senjata yang merenggut nyawa itu terdaftar atau tidak.
Kasus paling baru pada Rabu, 7 Juni 2017 lalu, contohnya. Yakni, ketika seorang anggota polisi bernama Iptu Fransisco tewas setelah menembak dirinya sendiri di rumahnya Jl Nangka, Oebobo, Kupang.
Legalisasi kepemilikan senjata, toh, cuma berlandaskan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api (UU 8/1948).
"Senjata api yang berada di tangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang ditunjukkannya."
Atau dalam Pasal 9 UU 8/1948, "Setiap orang bukan anggota Tentara atau Polisi yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Untuk tiap senjata api harus diberikan sehelai surat izin. Dalam hal ini yang berhak memberi surat izin pemakaian senjata api ialah Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya."
Pemerintah dan legislatif, juga harusnya membuat landasan hukum yang lebih kuat ketimbang hanya mengandalkan UU Darurat No. 12 Tahun 1951 yang sudah usang. Kategori diperbolehkan dan tidaknya kepemilikan senjata tajam dan senpi bagi masyarakat mesti diperketat.
Negara, semestinya lebih serius menutup peluang-peluang kejahatan. Membelenggu setan-setan yang selalu cerdik melakukan penyalahgunaan.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/0KvGL9GN" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Kala Ramadan datang, setan dibelenggu, pintu surga dibuka, gerbang neraka ditutup rapat.
Tentu, tak ada yang keliru dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim itu.
Abi Al Hasan Ali ibn Khalaf ibn Abdul Malik ibn Baththal, dalam
Syarhu Shahih Al Bukhari menjelaskan, keterangan sabda Rasulullah Muhammad SAW itu bisa dipahami melalui dua pendekatan. Ala hakiki, juga majasi.
Secara literal, kata Ibnu Baththal, hadis itu memang menyuguhkan makna bahwa ketika Bulan Suci tiba, intensitas setan menggoda manusia ke arah keburukan menjadi berkurang.
Tapi, bisa juga dalam makna kiasan. Misalnya, dengan semangat ibadah yang meningkat di bulan penuh ampunan, tak ada lagi celah selain untuk berbuat kebaikan.
Maka, penanggalan kalender Ramadan atau bukan, sejatinya, kejahatan masih di tempat yang sama. Selain soal pelaku, orang-orang bilang; adanya kesempatan juga begitu menentukan.
Belakangan hari, makin mendekati Lebaran kian ngeri juga pemberitaan tentang kejahatan. Malah, tindak kriminal itu tidak lagi dilakukan dengan mengendap-endap, melainkan secara terang-terangan.
Kebengisan bukan lagi berupa curi-mencuri, tapi dengan penodongan, perampokan, hingga merampas nyawa korban.
Kabar kematian
Italia Chandra Kirana Putri, perempuan yang tewas ditembak pelaku kejahatan curanmor di Perumahan Bugel Indah, Karawaci, Kota Tangerang, Banten pada Senin, 12 Juni 2017, tentu membuat banyak orang merinding.
Betapa tidak, sebab, tiga hari sebelumnya, yakni Jumat 9 Juni 2017, peristiwa yang sama juga menimpa
Davidson Tantono. Pengusaha muda itu ditembak kawanan perampok di depan SPBU Jembatan Gantung, Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat.
Anehnya lagi, kedua peristiwa yang mengusik rasa aman publik itu sama-sama terjadi di siang bolong.
Peran negara
Apa sebab kejahatan meningkat? Kalimat ini tertulis dalam subjudul terjemahan
The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order yang ditulis ekonom politik Yoshihiro Francis Fukuyama pada 1999.
Fukuyama membantah jika selama ini urbanisasi semata-mata dianggap menjadi faktor meningkatnya kejahatan di suatu kota.
Soal peningkatan kejahatan, Fukuyama lebih mengedepankan argumen modal sosial, "Kejahatan meningkat karena modal sosial dalam suatu permukiman atau dalam suatu komunitas menyusut, dan sebaliknya."
Sebagaimana dijelaskan dalam teori modal sosial
(social capital), tiga hal penting terjadi mengiringi perkembangan masyarakat.
Ketiganya adalah proses menjembatani
(bridging), menyatukan
(bonding), dan menghubungkan
(linking) antar-individu dalam masyarakat.
Dalam masyarakat dengan modal sosial yang kuat, kerjasama dan solidaritas antarwarga mampu terbentuk dengan baik. Sebaliknya, jika modal sosial lemah, individu mengalami 'atomisasi ekstrem' dan mengakibatkan pudarnya kebersamaan dan kerjasama dalam masyarakat.
Masyarakat perkotaan, dengan struktur ketimpangan sosial yang tinggi, dibarengi tidak berkembangnya modal sosial dengan baik, sangat rawan memunculkan tindak kriminal. Dalam skala ekstrem, masyarakat dengan kapasitas modal sosial yang rendah bisa jadi lahan subur munculnya tindak kejahatan.
Di sinilah pemerintah bisa ambil peran. Pemahaman terhadap modal sosial menjadi faktor yang kian penting dalam merumuskan kebijakan-kebijakan publik.
Soal ini, Robert E. Lang dan Steven P. Hornburg mengritik pemangku kepentingan yang enggan menimbang dan membaca modal sosial di wilayahnya secara serius.
Dalam
What is Social Capital and Why Is it important to Public Policy yang dimuat dalam jurnal
Housing Policy Debate (1998), keduanya menulis, "Sering kali kebijakan publik dibuat berdasarkan teori yang lebih menekankan pada motivasi individu dan kurang memperhatikan mekanisme dan dinamika yang ada dalam kelompok."
Hubungannya dengan dua kasus di atas, ada benarnya komentar yang dilontarkan Wakil Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid. Terkanya, kejahatan kian terang-terangan seiring peredaran senjata api (senpi) ilegal yang makin merebak.
"Sedangkan sejumlah regulasi terkait pemakaian senpi kerap tidak relevan. Perlu diperbaharui," ucap Meutya Rabu 14 Juni 2017.
Baca: Polisi Disebut tak Serius Memberantas Senpi
Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala bahkan menilai polisi tidak serius menghentikan peredaran senpi. Petugas, kata dia, mestinya tak pandang bulu. Ketika izin penggunaan senpi habis, polisi harus segera menarik atau mengambilnya.
"Kenyataannya, terkadang polisi segan atau tidak enak menarik senjata karena yang punya jenderal, pengusaha, atau penguasa. Jangan pandang bulu," kata Adrianus saat dihubungi
Metrotvnews.com, Rabu 14 Juni 2017.
Dari data Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM, pada 2011 saja, jumlah senjata api yang beredar di masyarakat secara legal mencapai 41.102 pucuk. Sebanyak 17.983 pucuk berizin untuk bela diri, 11.689 pucuk digunakan untuk polisi khusus, 6.551 pucuk untuk olahraga, dan 4.699 pucuk diperuntukan oleh satpam.
Legal atau tidak, sepertinya sudah bukan pembeda. Karena keduanya sama-sama membahayakan ketika digunakan tidak sesuai aturan.
Ketika satu korban sudah terjatuh, tak ada lagi urusan apakah senjata yang merenggut nyawa itu terdaftar atau tidak.
Kasus paling baru pada Rabu, 7 Juni 2017 lalu, contohnya. Yakni, ketika seorang anggota polisi bernama Iptu Fransisco tewas setelah menembak dirinya sendiri di rumahnya Jl Nangka, Oebobo, Kupang.
Legalisasi kepemilikan senjata, toh, cuma berlandaskan pada Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api (UU 8/1948).
"Senjata api yang berada di tangan orang bukan anggota Tentara atau Polisi harus didaftarkan oleh Kepala Kepolisian Karesidenan (atau Kepala Kepolisian Daerah Istimewa selanjutnya disebut Kepala Kepolisian Karesidenan saja) atau orang yang ditunjukkannya."
Atau dalam Pasal 9 UU 8/1948,
"Setiap orang bukan anggota Tentara atau Polisi yang mempunyai dan memakai senjata api harus mempunyai surat izin pemakaian senjata api menurut contoh yang ditetapkan oleh Kepala Kepolisian Negara. Untuk tiap senjata api harus diberikan sehelai surat izin. Dalam hal ini yang berhak memberi surat izin pemakaian senjata api ialah Kepala Kepolisian Karesidenan atau orang yang ditunjukkannya."
Pemerintah dan legislatif, juga harusnya membuat landasan hukum yang lebih kuat ketimbang hanya mengandalkan UU Darurat No. 12 Tahun 1951 yang sudah usang. Kategori diperbolehkan dan tidaknya kepemilikan senjata tajam dan senpi bagi masyarakat mesti diperketat.
Negara, semestinya lebih serius menutup peluang-peluang kejahatan. Membelenggu setan-setan yang selalu cerdik melakukan penyalahgunaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)