medcom.id, Jakarta: Ma'ing, sapaan karib Ismail Marzuki waktu kecil. Di tangan pria kelahiran 11 Mei 1914 inilah, lagu sekelas Rayuan Pulau Kelapa itu mewujud. Tembang yang bikin hati kebanyakan pendengarnya hanyut, terkesima keindahan alam Indonesia.
Melambai-lambai
Nyiur di pantai
Berbisik-bisik
Raja kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah airku
Indonesia
Dalam penggalan refrain, komponis yang sudah kesengsem dunia musik sejak umur 17 tahun itu rupanya sadar; betapa penting merekam kecantikan wajah Nusantara dalam sebuah dendang. Bait-bait yang ditulis pada 1944 itu pun semacam menyimpan harap, siapa pun yang merasa menjadi bagian di dalamnya mesti senantiasa bersyukur, dan berbangga.
Lebih dari separuh abad kemudian, pesan itu ditangkap seorang Addie Muljadi Sumaatmadja (MS). Pendiri Twilite Orchestra itu memimpin ribuan orang bernyanyi pagi-pagi, di Balaikota DKI Jakarta.
Ia menilai, persatuan dan rasa nasionalisme kian penting dipupuk.
Addie MS memimpin paduan suara yang diikuti ribuan warga di Balaikota DKI Jakarta, Rabu, 10 Mei 2017/MI/Ramdani
Benar, Addie, tidak mengkhususkan gagasannya sebagai dukungan moril untuk Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Melampaui itu, ancaman perpecahan yang meresahkan telah memaksanya bergerak.
"Kenapa dulu-dulu aman, sekarang terancam. Maka, dengan musik, kita ingin menyadarkan kembali pentingnya untuk mensyukuri kekayaan dan keindahan alam. Kemudian keberagaman juga harus dilihat sebagai aset," jelas Addie dalam Primetime News di Metro TV, Rabu, 10 Mei 2017.
Sebab belakangan, lanjut Addie, tak didengar lagi keindahan. Yang ada, cuma ada saling hina, saling menyakiti, dan saling serang.
Indonesia tanpa diskriminasi
Indonesia, memang seperti tengah diuji. Utamanya, soal kebinekaan. Polarisasi yang kian menajam mengiringi tensi politik yang terus meninggi selama pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Melalui gerakan Addie MS ini, bisa dipaham. Di Indonesia, tak ada keistimewaan satu kelompok di atas kelompok lainnya. Masing-masing memiliki hak dan tanggung jawab setara.
Negara kesatuan, bukan model sembarang yang dipilih para pendiri bangsa. Paling tidak, 300 kelompok etnis dan keragaman identitas yang lain memiliki peluang yang sama, menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama.
Itu makanya, sebagai negara kebangsaan, Indonesia selalu berupaya memperbaiki diri dari masa ke masa. Terutama demi terjaganya tenunan kebinekaan.
Musuh utama negara kesatuan adalah penyakit diskriminatif. Negara bertanggung jawab penuh untuk berlaku adil baik dalam menjamin kebebasan beribadah, berpolitik, hak hukum, pendidikan, ekonomi, dan lainnya.
Usaha negara dalam menghapus noktah diskriminasi ini dimulai dari proses pendirian negara berdasarkan demokrasi Pancasila. Demokrasi yang berketuhanan. Demokrasi yang tidak mengabaikan sisi relijiusitas.
Demokrasi menjamin kesetaraan kelompok di hadapan negara. Sementara Pancasila, agar bangsa Indonesia tetap menjadikan moral dan agama sebagai panduan dalam bermasyarakat.
Jadilah, Indonesia. Orang-orang Muhammadiyah bilang, Darul ahdi wa asy-syahadah. Konsensus nasional dan prinsip kesaksian berkebangsaan.
Upaya-upaya penghapusan aturan negara berbau diskriminasi mungkin agak kentara di masa kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid. Sebut saja, pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 tentang perayaan Imlek bagi keturunan Tionghoa, atau pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan agama Konghucu di Indonesia.
Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, hal itu lebih dipertegas. Pada 2002, Imlek dikukuhkan menjadi hari libur fakultatif.
Menjadi Indonesia
Pekerjaan rumah (PR) negara untuk memberangus aturan-aturan yang mengandung unsur diskriminatif tentu masih jauh dari kata beres. Bahkan, banyak yang belum tersentuh. Misalnya, masih adanya aturan hukum yang sangat berpotensi dijadikan sebagai alat diskriminasi.
Ya, ayatnya tidak diskriminatif. Tapi, penyalahgunaannya; sangat mungkin.
Puluhan ahli yang tergabung dalam "Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif", misalnya, pada awal tahun lalu berencana mengajukan uji materi terhadap Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama. Mereka menilai, pasal ini rentan disalahgunakan.
"Pasal penistaan agama adalah pasal-pasal yang sangat liar dan bisa digunakan oleh siapa saja dalam konteks agama," kata Yando Zakaria, salah seroang antropolog, usai bertemu dengen Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (16/1/2017).
Terlebih pascavonis Ahok kemarin. Pro-kontra yang mengancam semangat kebangsaan itu menjadikan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah menghapus juga Pasal 156a terkait penodaan agama. Pasal yang merujuk pada Undang-undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 itu dinilai sudah tidak relevan.
Baca: [Fokus] Ahok, Negara, dan Hukum
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, inilah momentum yang tepat untuk menghapus pasal itu. Mumpung DPR dan pemerintah sedang membahas revisi KUHP.
"Saya rasa ini momentum yang sangat tepat untuk dihapuskan," kata Yati dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 10 Mei 2017.
Tidak bisa dipungkiri, sudah begitu banyak peristiwa atau kasus yang menggunakan pasal penodaan untuk menjustifikasi kepentingan politik atau kelompok. Kedua aturan itu layak disebut pasal karet, lantaran multitafsir dalam hal definisi.
Tugas negara yang paling ditunggu hari ini adalah segera memberikan koreksi tentang apa yang dimaksud dengan penistaan agama. Apalagi, Badan Hak Asasi Manusia (HAM) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Asia Tenggara, serta beberapa kelembagaan dunia lainnya turut menyayangkan masih dipakainya pasal-pasal yang berpotensi memberangus hak dan kebebasan itu.
Ini, bisa jadi preseden buruk bagi tata hukum Indonesia di mata dunia.
Tugas dan tanggungjawab negara sudah jelas. Terus berusaha menjadikan Indonesia sebagai tempat yang nyaman bagi semuanya. Tidak boleh ada diktator mayoritas maupun tirani minoritas. Toh, yang ada di sini sama-sama Indonesia. Sudah sejak lahir menjadi Indonesia.
Sementara bagi kita, sederhana saja. Seperti ajakan Addie di atas; mari kembali mengagumi kekayaan dan keragaman Indonesia.
Maka, jadilah Indonesia. Bukan merasa di negeri orang, terasing di negeri sendiri, atau malah menuduh orang lain berasal dari negeri seberang.
Apalagi, bukankah semua warganegara bersama kedudukannya sama di depan hukum. Begitulah pada galibnya. Full citizenship, kewarganegaraan penuh, adalah jalan menjadi Indonesia seutuhnya.
Tidak boleh ada golongan tertentu yang mendapat perlakuan "setengah warganegara" di republik ini.
We need more perfect union, kita memerlukan persatuan yang lebih sempurna sebagai bangsa. Hanya di jalan itu kita bisa mewujudkan kemajuan dan kemakmuran bersama.
Bukankah bunyi gamelan dan lambaian tangan dari masa depan Indonesia yang gilang-gemilang itu sudah kita rasakan gemanya hari ini.
Tanah Airku Indonesia, negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darahku yang mulia, yang kupuja sepanjang masa...
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/VNxQQYgb" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Ma'ing, sapaan karib Ismail Marzuki waktu kecil. Di tangan pria kelahiran 11 Mei 1914 inilah, lagu sekelas
Rayuan Pulau Kelapa itu mewujud. Tembang yang bikin hati kebanyakan pendengarnya hanyut, terkesima keindahan alam Indonesia.
Melambai-lambai
Nyiur di pantai
Berbisik-bisik
Raja kelana
Memuja pulau
Nan indah permai
Tanah airku
Indonesia
Dalam penggalan
refrain, komponis yang sudah kesengsem dunia musik sejak umur 17 tahun itu rupanya sadar; betapa penting merekam kecantikan wajah Nusantara dalam sebuah dendang. Bait-bait yang ditulis pada 1944 itu pun semacam menyimpan harap, siapa pun yang merasa menjadi bagian di dalamnya mesti senantiasa bersyukur, dan berbangga.
Lebih dari separuh abad kemudian, pesan itu ditangkap seorang Addie Muljadi Sumaatmadja (MS). Pendiri Twilite Orchestra itu memimpin ribuan orang bernyanyi pagi-pagi, di Balaikota DKI Jakarta.
Ia menilai, persatuan dan rasa nasionalisme kian penting dipupuk.
Addie MS memimpin paduan suara yang diikuti ribuan warga di Balaikota DKI Jakarta, Rabu, 10 Mei 2017/MI/Ramdani
Benar, Addie, tidak mengkhususkan gagasannya sebagai dukungan moril untuk Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat. Melampaui itu, ancaman perpecahan yang meresahkan telah memaksanya bergerak.
"Kenapa dulu-dulu aman, sekarang terancam. Maka, dengan musik, kita ingin menyadarkan kembali pentingnya untuk mensyukuri kekayaan dan keindahan alam. Kemudian keberagaman juga harus dilihat sebagai aset," jelas Addie dalam
Primetime News di
Metro TV, Rabu, 10 Mei 2017.
Sebab belakangan, lanjut Addie, tak didengar lagi keindahan. Yang ada, cuma ada saling hina, saling menyakiti, dan saling serang.
Indonesia tanpa diskriminasi
Indonesia, memang seperti tengah diuji. Utamanya, soal kebinekaan. Polarisasi yang kian menajam mengiringi tensi politik yang terus meninggi selama pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Melalui gerakan Addie MS ini, bisa dipaham. Di Indonesia, tak ada keistimewaan satu kelompok di atas kelompok lainnya. Masing-masing memiliki hak dan tanggung jawab setara.
Negara kesatuan, bukan model sembarang yang dipilih para pendiri bangsa. Paling tidak, 300 kelompok etnis dan keragaman identitas yang lain memiliki peluang yang sama, menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama.
Itu makanya, sebagai negara kebangsaan, Indonesia selalu berupaya memperbaiki diri dari masa ke masa. Terutama demi terjaganya tenunan kebinekaan.
Musuh utama negara kesatuan adalah penyakit diskriminatif. Negara bertanggung jawab penuh untuk berlaku adil baik dalam menjamin kebebasan beribadah, berpolitik, hak hukum, pendidikan, ekonomi, dan lainnya.
Usaha negara dalam menghapus noktah diskriminasi ini dimulai dari proses pendirian negara berdasarkan demokrasi Pancasila. Demokrasi yang berketuhanan. Demokrasi yang tidak mengabaikan sisi relijiusitas.
Demokrasi menjamin kesetaraan kelompok di hadapan negara. Sementara Pancasila, agar bangsa Indonesia tetap menjadikan moral dan agama sebagai panduan dalam bermasyarakat.
Jadilah, Indonesia. Orang-orang
Muhammadiyah bilang,
Darul ahdi wa asy-syahadah. Konsensus nasional dan prinsip kesaksian berkebangsaan.
Upaya-upaya penghapusan aturan negara berbau diskriminasi mungkin agak kentara di masa kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman 'Gus Dur' Wahid. Sebut saja, pencabutan Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967 tentang perayaan Imlek bagi keturunan Tionghoa, atau pencabutan Inpres No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan agama Konghucu di Indonesia.
Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, hal itu lebih dipertegas. Pada 2002, Imlek dikukuhkan menjadi hari libur fakultatif.
Menjadi Indonesia
Pekerjaan rumah (PR) negara untuk memberangus aturan-aturan yang mengandung unsur diskriminatif tentu masih jauh dari kata beres. Bahkan, banyak yang belum tersentuh. Misalnya, masih adanya aturan hukum yang sangat berpotensi dijadikan sebagai alat diskriminasi.
Ya, ayatnya tidak diskriminatif. Tapi,
penyalahgunaannya; sangat mungkin.
Puluhan ahli yang tergabung dalam
"Gerakan Antropolog untuk Indonesia yang Bhineka dan Inklusif", misalnya, pada awal tahun lalu berencana mengajukan uji materi terhadap Pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama. Mereka menilai, pasal ini rentan disalahgunakan.
"Pasal penistaan agama adalah pasal-pasal yang sangat liar dan bisa digunakan oleh siapa saja dalam konteks agama," kata Yando Zakaria, salah seroang antropolog, usai bertemu dengen Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (16/1/2017).
Terlebih pascavonis Ahok kemarin. Pro-kontra yang mengancam semangat kebangsaan itu menjadikan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah menghapus juga Pasal 156a terkait penodaan agama. Pasal yang merujuk pada Undang-undang PNPS Nomor 1 Tahun 1965 itu dinilai sudah tidak relevan.
Baca: [Fokus] Ahok, Negara, dan Hukum
Menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yati Andriyani, inilah momentum yang tepat untuk menghapus pasal itu. Mumpung DPR dan pemerintah sedang membahas revisi KUHP.
"Saya rasa ini momentum yang sangat tepat untuk dihapuskan," kata Yati dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 10 Mei 2017.
Tidak bisa dipungkiri, sudah begitu banyak peristiwa atau kasus yang menggunakan pasal penodaan untuk menjustifikasi kepentingan politik atau kelompok. Kedua aturan itu layak disebut pasal karet, lantaran multitafsir dalam hal definisi.
Tugas negara yang paling ditunggu hari ini adalah segera memberikan koreksi tentang apa yang dimaksud dengan penistaan agama. Apalagi, Badan Hak Asasi Manusia (HAM) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Asia Tenggara, serta beberapa kelembagaan dunia lainnya turut menyayangkan masih dipakainya pasal-pasal yang berpotensi memberangus hak dan kebebasan itu.
Ini, bisa jadi preseden buruk bagi tata hukum Indonesia di mata dunia.
Tugas dan tanggungjawab negara sudah jelas. Terus berusaha menjadikan Indonesia sebagai tempat yang nyaman bagi semuanya. Tidak boleh ada diktator mayoritas maupun tirani minoritas. Toh, yang ada di sini sama-sama Indonesia. Sudah sejak lahir menjadi Indonesia.
Sementara bagi kita, sederhana saja. Seperti ajakan Addie di atas; mari kembali mengagumi kekayaan dan keragaman Indonesia.
Maka, jadilah Indonesia. Bukan merasa di negeri orang, terasing di negeri sendiri, atau malah menuduh orang lain berasal dari negeri seberang.
Apalagi, bukankah semua warganegara bersama kedudukannya sama di depan hukum. Begitulah pada galibnya.
Full citizenship, kewarganegaraan penuh, adalah jalan menjadi Indonesia seutuhnya.
Tidak boleh ada golongan tertentu yang mendapat perlakuan "setengah warganegara" di republik ini.
We need more perfect union, kita memerlukan persatuan yang lebih sempurna sebagai bangsa. Hanya di jalan itu kita bisa mewujudkan kemajuan dan kemakmuran bersama.
Bukankah bunyi gamelan dan lambaian tangan dari masa depan Indonesia yang gilang-gemilang itu sudah kita rasakan gemanya hari ini.
Tanah Airku Indonesia, negeri elok amat kucinta, tanah tumpah darahku yang mulia, yang kupuja sepanjang masa...
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)