medcom.id, Jakarta: Vonis bersalah dan pidana kurungan 2 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lantaran perkara penodaan agama berbuntut panjang.
Pakar Hukum Pidana Jamin Ginting mengatakan pasal penodaan agama bisa disalahgunakan lantaran mudah memidanakan orang hanya dengan tuduhan penodaan agama.
"Makanya sekarang saya kira presiden seharusnya sudah mengeluarkan sesuatu yang baru untuk mencabut PNPS ini," kata Jamin, dalam Metro Pagi Primetime, Rabu 10 Mei 2017.
Jamin mengatakan yang dibutuhkan saat ini adalah pemerintah turut hadir dengan membuat ketentuan yang menyatakan bahwa tuduhan penodaan agama masuk ke ranah ketertiban umum. Sehingga setiap laporan sehubungan dengan penodaan agama maupun golongan harus terlebih dulu mendapat penilaian pemerintah.
"Jadi enggak sembarang orang mengaku dirinya paling benar yang mempunyai kedudukan hukum untuk mempresentasikan agama tertentu sehingga dengan mudah menyatakan pihak lain menoda agama," ujar Jamin.
Menyoroti vonis yang dijatuhkan kepada Ahok, Jamin mengatakan sebetulnya sejumlah pihak berharap hakim akan membuat sejarah dalam kasus-kasus penistaan agama yang memang menjadi konsumsi publik.
Kata dia, seandainya hakim memutuskan Ahok tidak menista agama, akan menjadi angin segar sehingga kasus-kasus semacamnya tidak sembarangan diajukan ke penegak hukum. Sayangnya hal itu tidak terjadi.
"Tapi karena sudah diputus sekarang yang harus dilakukan adalah pemerintah turun dan hadir, salah satunya buatlah Perppu untuk mengganti PNPS ini. Supaya nanti tidak diakui sebagai satu representasi," katanya.
Sementara itu Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai penerbitan Perppu bisa dilakukan sebagai langkah paling minimal yang bisa diambil pemerintah.
Sementara langkah maksimalnya mendiamkan pasal itu atau melakukan harmonisasi kovenan hak sipil dan politik dengan UU PNPS tahun 1965 dan mencabutnya.
"Kalau didiamkan kan penegak hukum pertama di tingkat polisi tidak akan menerusklan laporan-laporan yang tidak beralasan, misalnya soal ketersinggungan. Karena perbuatan pidana tidak boleh disandarkan pada respon dari orang itu tapi dari perbuatannya sendiri mengandung niat jahat," jelas Asfi.
medcom.id, Jakarta: Vonis bersalah dan pidana kurungan 2 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lantaran perkara penodaan agama berbuntut panjang.
Pakar Hukum Pidana Jamin Ginting mengatakan pasal penodaan agama bisa disalahgunakan lantaran mudah memidanakan orang hanya dengan tuduhan penodaan agama.
"Makanya sekarang saya kira presiden seharusnya sudah mengeluarkan sesuatu yang baru untuk mencabut PNPS ini," kata Jamin, dalam
Metro Pagi Primetime, Rabu 10 Mei 2017.
Jamin mengatakan yang dibutuhkan saat ini adalah pemerintah turut hadir dengan membuat ketentuan yang menyatakan bahwa tuduhan penodaan agama masuk ke ranah ketertiban umum. Sehingga setiap laporan sehubungan dengan penodaan agama maupun golongan harus terlebih dulu mendapat penilaian pemerintah.
"Jadi enggak sembarang orang mengaku dirinya paling benar yang mempunyai kedudukan hukum untuk mempresentasikan agama tertentu sehingga dengan mudah menyatakan pihak lain menoda agama," ujar Jamin.
Menyoroti vonis yang dijatuhkan kepada Ahok, Jamin mengatakan sebetulnya sejumlah pihak berharap hakim akan membuat sejarah dalam kasus-kasus penistaan agama yang memang menjadi konsumsi publik.
Kata dia, seandainya hakim memutuskan Ahok tidak menista agama, akan menjadi angin segar sehingga kasus-kasus semacamnya tidak sembarangan diajukan ke penegak hukum. Sayangnya hal itu tidak terjadi.
"Tapi karena sudah diputus sekarang yang harus dilakukan adalah pemerintah turun dan hadir, salah satunya buatlah Perppu untuk mengganti PNPS ini. Supaya nanti tidak diakui sebagai satu representasi," katanya.
Sementara itu Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai penerbitan Perppu bisa dilakukan sebagai langkah paling minimal yang bisa diambil pemerintah.
Sementara langkah maksimalnya mendiamkan pasal itu atau melakukan harmonisasi kovenan hak sipil dan politik dengan UU PNPS tahun 1965 dan mencabutnya.
"Kalau didiamkan kan penegak hukum pertama di tingkat polisi tidak akan menerusklan laporan-laporan yang tidak beralasan, misalnya soal ketersinggungan. Karena perbuatan pidana tidak boleh disandarkan pada respon dari orang itu tapi dari perbuatannya sendiri mengandung niat jahat," jelas Asfi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(MEL)