Jakarta: Khutbah termasuk salah satu rangkaian ibadah salat Iduladha. Keberadaan khutbah dalam salat Id menjadi penanda bahwa shalat tersebut ada pada momen yang penting.
Umumnya khutbah Iduladha menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kisah ini menjadi inti dari perayaan Idul Adha dan menjadi pelajaran penting tentang ketaatan dan pengorbanan kepada Allah SWT.
Namun, khutbah Iduladha juga membahas tentang ibadah Haji. Termasuk tentang nilai-nilai dari rukun Islam kelima tersebut.
Khutbah Iduladha 2025
Berikut ini kumpulan khutbah Iduladha 2025 seperti Medcom rangkum dari laman resmi Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Khutbah 1
Berqurban Untuk Menjadi Pribadi Paripurna
(Oleh: M. Mahlani, S.Ag., M.Pd Sumber: Kemenag Kota Yogyakarta)
Muslimin-muslimat, jama’ah Sholat ‘Idul Adha yang dimuliakan Allah
subhanahu wata’ala …
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, di pagi hari ini, Jum’at,10 Dzulhijjah 1446/6 Juni 2025, kita baru saja menunaikan sholat sunah ‘Idul Adha dua raka’at sebagai ungkapan rasa syukur, sekaligus sebagai wujud ketaatan, kepasrahan dan pengabdian diri kita kepada Allah Subhanahu wata’ala, Dzat yang telah memberikan sekian banyak kenikmatan...kesehatan, kesempatan dan berbagai kemudahan dalam mencari penghidupan (ma’isyah) tanpa batas.
Sholawat – salam semoga selalu dilimpahkan, dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarganya, para shahabat, tabi’it-tabi’in dan seluruh ummatnya hingga hari akhir nanti.
Jamaah Idul Adha yang dimuliakan Allah
‘Idul Adha, yang kita rayakan hari ini, selalu menjadi momen spesial bagi umat Islam sedunia. Setidaknya ada dua peristiwa utama di hari raya ‘Iedul Adha, atau riyoyo besar ini, yaitu ibadah haji dan ibadah kurban atau penyembelihan hewan kurban. Tepat tanggal 10 Dzulhijjah, saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji, sedang berada di Mina, melakukan salah satu rukun haji, yaitu lempar jumrah, setelah semalam bermalam di Muzdalifah yang sebelumnya, tanggal 9 Dzulhijjah menunaikan ibadah paling menentukan
syah-tidaknya ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah.
Surat Al Hajj
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh”. (QS. Al Hajj: 27)
Para jamaah haji ini sedang menunaikan rukun Islam ke-5 ini sedang melakukan “Muktamar Akbar”, memenuhi panggilan suci dari Allah Subhanahu wata’ala. Para tamu Allah ini sedang melakukan transendensi diri untuk menjadi manusia paripurna, yaitu menjadi kaum menjadi kaum Abrar (seperti doa yang dipanjatkan bagi setiap orang yang berhaji, yaitu hajjan mabruura - menjadi mabrur).
Menjadi kaum Abrar, artinya menjadi pribadi yang telah bebas dari kendala diri (internal) dan kandala alam (eksternal). Bebas dari kendali diri artinya, mereka dapat memiliki kecakapan emosi yang baik; mantap kesadaran dirinya, mampu menata/mengendalikan diri secara efektif, mampu menjaga kestabilan motivasi, empati dan keterampilan sosial yang baik. Malas, egois, iri, dengki, suka menunda-nunda pekerjaan, lalai/abai terhadap kewajiban, putus asa dan sebagainya merupakan bagian dari contoh kendala diri yang kadang dialami setiap diri, tidak terkecuali saudara-saudara kita yang sedang berhaji.
Sedangkan bebas dari kendala alam (eksternal) artinya pikiran, sikap dan perilakunya tidak lagi dikendalikan oleh budaya, gaya hidup, teknologi dan sebagainya yang berkembang di masyarakat.
Jamaah Idul Adha Rahimakumullah...
Menjadi kaum Abrar (mabrur), artinya menjadi pribadi yang berkelimpahan; kokoh imannya, kesadaran diri dan motivasi yang kuat, tertib ibadahnya, kaya hati, sabar, peduli kepada nasib orang lain, dan berani berkorban sebagaimana pengorbanan Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam. (Al Baqarah: 177) : Iman kepada
Allah...Memberi sebagian harta kepada karib-kerabat, anak yatim, orang miskin,
menunaikan sholat, zakat, menepati janji, sabar/kontrol diri yang baik dan sebagainya.
Di sinilah pertautan ibadah haji dengan peristiwa besar kedua dalam perayaanIdul Adha, yaitu ibadah Qurban. Bahwa ibadah Qurban yang kita tunaikan hari ini merupakan wujud “partisipasi spiritual” dalam hubungannya dengan ibadah haji.
Artinya bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu (istitha’ah), mampu secara ekonomi, juga mampu dan aman untuk melakukan perjalanan ke tanah suci, Tetapi karena faktor keterbatasan kesempatan (quota jumlah jamaah), serta bisa jadi ada sebagian dari kita yang belum mampu dan belum atau tidak ada kesempatan menunaikan ibadah haji, maka dituntunkan/disyariatkan melakukan ibadah qurban di tempatnya masing-masing.
Bahwa ibadah korban yang dilakukan dengan menyembelih hewan qurban, ini menggambarkan aktifitas yang menunjukkan kesetiaan atau mengandung makna kebaktian. Keberanian menunaikan ibadah qurban, juga sebagai wujud dari kesempurnaan diri yang kita persembahkan untuk menunjukkan pengagungan dan kebaktian kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Menunaikan ibadah qurban yang kita lakukan hari ini merupakan bagian dari ketaatan atas perintah Allah Subhanahu wata’ala.
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang
yang membenci kamu dialah yang terputus. (QS. Al Kautsar: 1-3)
Jamaah ‘Idul Adha yang dirahmati Allah
Prosesi penyembelihan hewan qurban itu, merupakan ibadah yang memiliki
beberapa pelajaran penting.
1. Sebagai ibadah atas kecintaan kepada Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Bahwa ibadah qurban itu sebagai wujud kecintaan kepada Allah yang melebihi kecintaan kita terhadap harta dunia apapun wujudnya dan seberapapun banyaknya.
2. Sebagai gambaran keberanian kita untuk menyembelih atau memutus segala bentuk ego ke “aku” an yang bisa saja muncul pada pribadi kita. Menyembelih binatang/hewan qurban ini menjadi gambaran sederhana bahwa kita sedang mengendalikan ego kita, menghilangkan sifat-sifat kebinatangan yang bisa jadi kadang atau malah sering muncul dalam diri kita, seperti: kesombongan, ketamakan, kesewenang-wenangan, ambisi yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan sebagainya.
3. Ibadah qurban mengajarkan pentingnya empati dan perhatian serius pada hewan/binatang. Bahwa memperlakukan hewan itu ada adab yang harus dijaga dan dilakukan. Saat kita menunaikan ibadah qurban, maka kita harus memahami bahwa hewan yang kita jadikan qurban juga makhluk Allah Subhanahu wata’ala, yang juga memiliki hak-haknya, seperti halnya kita makhluk manusia.
Ini artinya bahwa melalui ibadah korban, kita belajar untuk memahami rasa sakit dan penderitaan makhluk lain. Harapanya, kita dapat merasakan kebutuhan kepedulian terhadap mereka. Pemahaman dan sikap ini penting dalam rangka untuk mengembangkan sifat empati dan memperlakukan semua makhluk Allah dan tata lingkungan/ekologi di sekitarnya dengan penuh tanggungjawab dan bijaksana.
Jamaah Idul Adha, muslimin-muslimat yang berbahagia Perayaan hari raya Idul Qurban tahun ini, harapannya kita dapat terus belajar menjadi pribadi paripurna, pribadi yang semakin tulus dalam beribadah, memiliki kesadaran tinggi untuk belajar dari sejarah, belajar menjadi pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarganya dan masyarakatnya, seperti halnya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang dijuluki Awwahun halim.
Kamu bisa mengunduh versi lengkap khutbah ini di tautan ini.
Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At Taubah: 24)
Setiap orang ada kecenderungan menyenangi harta, anak, jabatan, popularitas dan sebagainya, ini tentu diperbolehkan, karena hal yang demikian itu merupakan bagian dari sunnatullah, itu bagian dari sifat kemanusiaan kita.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14)
Tetapi, kita harus ingat dan sadar bahwa kesenangan pada harta atau materi lainnya itu harus ada batasnya. Semua yang kita miliki tidak ada yang abadi, termasuk jazad kita ini juga cepat atau lambat akan kembali ke asal-muasalnya, yaitu tanah.
Lantas apa yang kita banggakan hari ini dari badan kita ini? Kekuatan, kecantikan, ketampanan, popularitas, jabatan dan lain-lainnya? Semua itu ada limit waktunya.
Semuanya akan selesai di saat takdir ajal/kematian telah tiba.
Semoga, kita semua yang menunaikan ibadah Qurban tahun ini, tetap dapat menjaga niat, tulus-ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah Subhanahu wata’ala.
Sementara yang belum berkesempatan, semoga tetap dapat menikmati daging qurban dengan rasa syukur – seberapapun adanya dan semoga di tahun-tahun mendatang masih ada kesempatan dan dimudahkan untuk dapat menunaikanya.
Semoga kita semua dapat menjadi pribadi paripurna, pribadi yang akan mendapatkan jaminan keselamatan dan kemuliaan dunia-akhirat. Untuk versi lengkap khutbah ini kamu bisa mengunduhnya melalui di sini.
Khutbah 2
Haji Mabrur Itu Berkualitas Transformatif
(Oleh: Agus Saeful Bahri, S.Ag, M.S.I Sumber: Kemenag Kota Yogyakarta)
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia
Dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, hari ini kita dapat merayakan Idul Adha, dinamakan pula Idul Qurban, „Idun Nahr, dan Idul Akbar. Hari raya yang menekankan semangat sosial dan berkorban.
Pagi ini saat kita berkumpul di lapangan/Masjid ini, saudara-saudara kitakaum muslimin yang sedang menunaikan rukun Islam yang kelima di tanah suci Mekah, dengan berbaik sangka berhusnudzhan kepada Allah SWT mereka berharap dan kita doakan hajinya diterima Allah sehingga mereka meraih kualitas haji mabrur.
Aamiin ya mujiibas saailiin.
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia Seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji dan dikualifikasikan atau digolongkan sebagai haji mabrur itu dicirikan dengan 2 (dua) hal. Pertama, membagikan makanan, dan kedua menebarkan salam. Hal ini ditegaskan dalam salah satu hadis ketika Nabi saw bersabda bahwa kualitas haji mabrur hanya pantas berbalaskan surga kemudian seorang sahabat bernama Jabir bertanya kepadanya:
”Wahai Nabi Allah apa haji mabrur itu?” Rosulullah saw pun menjawab:”haji mabrur
adalah ith’am ath-tha’aam dan ifsya as-salaam.
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia Dalam Islam praktek ritual ibadah tidak sebatas pengikat hubungan hamba dan Tuhannya, tetapi menuntut pembuktian dalam kehidupan sehari-hari sebagai ciri makhluk yang tidak bisa terlepas dari keterikatan dengan lingkungannya baik manusia, hewan, dan semesta alam seluruhnya.
Berdasarkan hadis tersebut di atas secara normatif seseorang yang telah menunaikan ibadah haji dan dikategorikan mencapai kualitas haji mabrur ketika dirinya senantiasa mampu berbagi makanan dan mengucapkan salam (assalamu’alaikum) kepada orang lain yang dikenal maupun tidak dikenal. Tetapi apakah pengertiannya sebatas itu? Dalam kesempatan khutbah yang singkat ini saya akan menguraikan satu ciri saja dari kualitas haji mabrur dimaksud yaitu ith’aam aththa’aam.
Kata “ith’aam ath-tha’aam” terdiri dari 2 (dua) kata yang berasal dari akar kata yang sama yaitu “tha’ama. Dan makna frase tersebut secara bahasa adalah memberikan segala sesuatu yang dapat dimakan untuk menghidupi dan menopang badan. Secara istilah dalam persfektif fiqih bermakna memberikan makan dalam jumlah tertentu dan berbeda kepada fakir miskin sesuai dengan kebutuhan.
Dalam pemaknaan moderan ith’aam ath-tha’aam diartikan sebagai kepedulian sosial. Adalah tidak keliru jika alumni haji apabila ingin meraih kemabruran dia senantiasa berbagi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hanya saja kiranya perlu difikirkan kembali bahwa aksi “berbagi makanan (ith’aam ath-tha’aam)” tidak saja bermakna harpiah membagikan makanan yang siap disantap tetapi juga menjadi sebuah gerakan pemberdayaan yang tepat sasaran dan menjadi solusi bagi persoalan persoalan sosial yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang diupayakan penyelesaiannya oleh pemerintah dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat termasuk para alumni haji.
Pun dalam konteks penyembelihan hewan qurban yang dilakukan oleh orangorang yang tidak berangkat haji, juga ditemukan anjuran yang sama yang disampaikan oleh Rosulullah saw terkait daging hewan qurban untuk dibagi-bagikan kepada orangorang miskin bahkan yang berada jauh di wilayah tempat tinggal shohibul qurban. Nabi saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari „Aisiyah radiyallahuanha:
Innamaa nahaitukum min ajli ad-daappati al-latii daffat ‘alaikum fakuluu wa
tashoddaquu wa ad-dakhoruu ya'ni’bi ad-daappati qauman masaakiina qadimuu almadiinata
“Saya melarang kalian karena adanya orang-orang yang datang. Makanlah daging tersebut, sedekahkanlah dan simpanlah sisanya, untuk diberikan kepada kaum miskin yang datang ke madinah”.
Dua bentuk ibadah yang berbeda tetapi outcome yang diharapakannya sama yaitu pribadi-pribadi yang melaksanaan kedua ibadah tersebut menjadi pribadi yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi bahkan mampu melakukan transformasi (perubahan) yang berdampak baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Sebagai misal karakter ith’aam ath-tha’am diwujudkan dalam penghimpunan dana secara rutin setiap bulan dari para alumni haji kemudian bersinergi dan berkolaborasi dengan stakeholder lainnya baik pemerintah, civil society atau ormas keagamaan, dan kelompok masyarakat lainnya dengan menyelenggarakan kegiatankegiatan atau memperkuat daya dorong dan daya jangkau program-program terutama yang sedang dikerjakan oleh pemerintah dalam percepatan penurunan angka stunting seperti pemenuhan gizi keluarga baik yang bersifat kuratif (pengobatan) maupun preventif (pencegahan). Bisa juga dengan membiayai kegiatan pelatihan keterampilan bagi orang-orang yang tidak mempunyai penghasilan tetap atau bahkan menganggur seperti cukur rambut, kemudian diberikan modal untuk membuka usahanya sendiri sehingga bisa hidup mandiri bahkan bisa menghidupi keluarganya, maka cara ini merupakan bagian dari ith’aam ath-tha’aam yang dapat menghantarkan ke surga.
Karena itu manakala seorang pulang haji lalu dia berusaha untuk memberdayakan orang di sekitarnya dengan harta atau keahlian yang dimilikinya termasuk bagian dari ith’aam ath-tha’aam, memberikan kail untuk memancing penghasilan sehingga beroleh makanan kemandirian, dan hal itu akan menambah keberkahan rejeki yang diperolehnya (ma naqasha maalun min shodaqotin bal yazdad, tidak akan berkurang harta karena sedekah sebaliknya akan bertambah). Perlu disadari juga terutama para alumni haji yang kaya, uangnya yang berlebih itu semestinya tidak dibayarkannya untuk melakukan haji yang kesekian kalinya tapi dia investasikan, misalnya untuk membiayai dana pendidikan siswa miskin, mahasiswa miskin sehingga dalam beberapa tahun ke depan akan lahir generasi anak bangsa dan keluarga yang cerdas dan terbebas dari kemiskinan. Itulah yang dimaksud dengan ith’aam ath-tha’aam.
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia
Salah satu cerita shufi malah menyebutkan bahwa kemabruran haji itu dapat diperoleh dengan tidak berhaji. Itu diturunkan pertamakali oleh Abdullah bin Mubarak dalam kisahnya bahwa dia diberitahu pada suatu tahun orang berhaji demikian melimpah ruah tetapi yang diterima hajinya sebagai haji mabrur oleh Allah SWT hanya beberapa gelintir orang saja. Diantara yang sedikit itu adalah seorang yang tidak pergi haji tetapi tercatat di sisi Allah seorang yang meraih haji mabrur. Dicarilah orang itu berhari-hari oleh Abdullah bin Mubarak. Tatkala ditemukan sang peraih haji hanya merasa aneh bagaimana mungkin ia meraih kemabruran tanpa berhaji?
Setelah didesak oleh Abdullah bin Mubarak apa yang dilakukannya selama musim haji tahun itu. Dia berkata,”saya tidak pergi haji tapi saya nyaris pergi haji. Saya kumpulkan
uang puluhan tahun untuk pergi haji dan saya hendak pergi haji tahun ini. Ketika hendak berangkat haji saya diberitahu bahwa tetangga-tetangga saya yang miskin itu ditimpa musibah penyakit mewabah. Saya pun batalkan pergi haji saya berikan uang yang semula untuk pergi haji itu buat pengobatan dan makanan saudara-saudara saya yang miskin itu.
Cerita di atas bukanlah hadis Nabi saw, tetapi spirit cerita itu mendapatkan dukungan ayat al-Qur?an surah al-Baqarah (2) ayat 177 ketika Allah berfirman:
Bukanlah mengahadapkan wajahmu kea rah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;dan (memerdekakan) hamba sahaya,mendidirkan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana diketahui kata mabrur seakar dengan kata al-birru yang disebutkan ayat di atas. Mabrur berasal dari kata barra yabirru birran fahuwa baarun wadzaaka mabruurun. Jika al-birru itu dimaknai sebagai kebajikan maka mabrur itu orang yang diluruskan oleh Alah hatinya untuk senantiasa dalam kebajikan. Ayat di atas sama sekali tidak menyebutkan menyebutkan kata haji tetapi ayat di atas menyebutkan bahwa kebajikan, keimanan, mendermakan harta terbaik kepada sesama, menegakkan shalat, tunaikan zakat secara istiqamah, memelihara janji, senantiasa bersabar saat diuji Allah sebagai orang yang benar imannya yang mereka dilabeli orang yang bertaqwa.
Jika saat orang yang berhaji disuruh Allah untuk berbekal taqwa, orang pelaku kebajikan ini sudah dicap muttaqin oleh Allah. Dalam konteks inilah bagi siapapun yang tidak pergi haji atau bukan alumni dapat berkontribusi dalam perubahan menuju peradaban yang berlandaskan pada kepedulian sehingga terjadi perbaikan sosial. Wallahu a’lam bish showab. Dari keseluruhan urain di atas kiranya terjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji dengan kualitas transformatif. Yaitu kualitas haji seseorang yang di dalam dirinya ada nilai-nilai perubahan menuju perbaikan. Suatu kualitas yang diperlukan oleh bangsa ini.
Kamu bisa mengunduh khutbah Iduladha 2025 PDF lainnya di tautan ini.
Jakarta:
Khutbah termasuk salah satu rangkaian ibadah salat Iduladha. Keberadaan khutbah dalam salat Id menjadi penanda bahwa shalat tersebut ada pada momen yang penting.
Umumnya
khutbah Iduladha menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Kisah ini menjadi inti dari perayaan Idul Adha dan menjadi pelajaran penting tentang ketaatan dan pengorbanan kepada Allah SWT.
Namun, khutbah Iduladha juga membahas tentang ibadah Haji. Termasuk tentang nilai-nilai dari rukun Islam kelima tersebut.
Khutbah Iduladha 2025
Berikut ini kumpulan khutbah Iduladha 2025 seperti Medcom rangkum dari laman resmi Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Khutbah 1
Berqurban Untuk Menjadi Pribadi Paripurna
(Oleh: M. Mahlani, S.Ag., M.Pd Sumber: Kemenag Kota Yogyakarta)
Muslimin-muslimat, jama’ah Sholat ‘Idul Adha yang dimuliakan Allah
subhanahu wata’ala …
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, di pagi hari ini, Jum’at,10 Dzulhijjah 1446/6 Juni 2025, kita baru saja menunaikan sholat sunah ‘Idul Adha dua raka’at sebagai ungkapan rasa syukur, sekaligus sebagai wujud ketaatan, kepasrahan dan pengabdian diri kita kepada Allah Subhanahu wata’ala, Dzat yang telah memberikan sekian banyak kenikmatan...kesehatan, kesempatan dan berbagai kemudahan dalam mencari penghidupan (ma’isyah) tanpa batas.
Sholawat – salam semoga selalu dilimpahkan, dicurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarganya, para shahabat, tabi’it-tabi’in dan seluruh ummatnya hingga hari akhir nanti.
Jamaah Idul Adha yang dimuliakan Allah
‘Idul Adha, yang kita rayakan hari ini, selalu menjadi momen spesial bagi umat Islam sedunia. Setidaknya ada dua peristiwa utama di hari raya ‘Iedul Adha, atau riyoyo besar ini, yaitu ibadah haji dan ibadah kurban atau penyembelihan hewan kurban. Tepat tanggal 10 Dzulhijjah, saudara-saudara kita yang menunaikan ibadah haji, sedang berada di Mina, melakukan salah satu rukun haji, yaitu lempar jumrah, setelah semalam bermalam di Muzdalifah yang sebelumnya, tanggal 9 Dzulhijjah menunaikan ibadah paling menentukan
syah-tidaknya ibadah haji, yaitu wukuf di Arafah.
Surat Al Hajj
“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari
segenap penjuru yang jauh”. (QS. Al Hajj: 27)
Para jamaah haji ini sedang menunaikan rukun Islam ke-5 ini sedang melakukan “Muktamar Akbar”, memenuhi panggilan suci dari Allah Subhanahu wata’ala. Para tamu Allah ini sedang melakukan transendensi diri untuk menjadi manusia paripurna, yaitu menjadi kaum menjadi kaum Abrar (seperti doa yang dipanjatkan bagi setiap orang yang berhaji, yaitu hajjan mabruura - menjadi mabrur).
Menjadi kaum Abrar, artinya menjadi pribadi yang telah bebas dari kendala diri (internal) dan kandala alam (eksternal). Bebas dari kendali diri artinya, mereka dapat memiliki kecakapan emosi yang baik; mantap kesadaran dirinya, mampu menata/mengendalikan diri secara efektif, mampu menjaga kestabilan motivasi, empati dan keterampilan sosial yang baik. Malas, egois, iri, dengki, suka menunda-nunda pekerjaan, lalai/abai terhadap kewajiban, putus asa dan sebagainya merupakan bagian dari contoh kendala diri yang kadang dialami setiap diri, tidak terkecuali saudara-saudara kita yang sedang berhaji.
Sedangkan bebas dari kendala alam (eksternal) artinya pikiran, sikap dan perilakunya tidak lagi dikendalikan oleh budaya, gaya hidup, teknologi dan sebagainya yang berkembang di masyarakat.
Jamaah Idul Adha Rahimakumullah...
Menjadi kaum Abrar (mabrur), artinya menjadi pribadi yang berkelimpahan; kokoh imannya, kesadaran diri dan motivasi yang kuat, tertib ibadahnya, kaya hati, sabar, peduli kepada nasib orang lain, dan berani berkorban sebagaimana pengorbanan Nabiyullah Ibrahim ‘Alaihissalam. (Al Baqarah: 177) : Iman kepada
Allah...Memberi sebagian harta kepada karib-kerabat, anak yatim, orang miskin,
menunaikan sholat, zakat, menepati janji, sabar/kontrol diri yang baik dan sebagainya.
Di sinilah pertautan ibadah haji dengan peristiwa besar kedua dalam perayaanIdul Adha, yaitu ibadah Qurban. Bahwa ibadah Qurban yang kita tunaikan hari ini merupakan wujud “partisipasi spiritual” dalam hubungannya dengan ibadah haji.
Artinya bahwa ibadah haji itu hukumnya wajib bagi setiap muslim yang mampu (istitha’ah), mampu secara ekonomi, juga mampu dan aman untuk melakukan perjalanan ke tanah suci, Tetapi karena faktor keterbatasan kesempatan (quota jumlah jamaah), serta bisa jadi ada sebagian dari kita yang belum mampu dan belum atau tidak ada kesempatan menunaikan ibadah haji, maka dituntunkan/disyariatkan melakukan ibadah qurban di tempatnya masing-masing.
Bahwa ibadah korban yang dilakukan dengan menyembelih hewan qurban, ini menggambarkan aktifitas yang menunjukkan kesetiaan atau mengandung makna kebaktian. Keberanian menunaikan ibadah qurban, juga sebagai wujud dari kesempurnaan diri yang kita persembahkan untuk menunjukkan pengagungan dan kebaktian kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Menunaikan ibadah qurban yang kita lakukan hari ini merupakan bagian dari ketaatan atas perintah Allah Subhanahu wata’ala.
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang
yang membenci kamu dialah yang terputus. (QS. Al Kautsar: 1-3)
Jamaah ‘Idul Adha yang dirahmati Allah
Prosesi penyembelihan hewan qurban itu, merupakan ibadah yang memiliki
beberapa pelajaran penting.
1. Sebagai ibadah atas kecintaan kepada Allah Yang Maha Rahman dan Rahim. Bahwa ibadah qurban itu sebagai wujud kecintaan kepada Allah yang melebihi kecintaan kita terhadap harta dunia apapun wujudnya dan seberapapun banyaknya.
2. Sebagai gambaran keberanian kita untuk menyembelih atau memutus segala bentuk ego ke “aku” an yang bisa saja muncul pada pribadi kita. Menyembelih binatang/hewan qurban ini menjadi gambaran sederhana bahwa kita sedang mengendalikan ego kita, menghilangkan sifat-sifat kebinatangan yang bisa jadi kadang atau malah sering muncul dalam diri kita, seperti: kesombongan, ketamakan, kesewenang-wenangan, ambisi yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan sebagainya.
3. Ibadah qurban mengajarkan pentingnya empati dan perhatian serius pada hewan/binatang. Bahwa memperlakukan hewan itu ada adab yang harus dijaga dan dilakukan. Saat kita menunaikan ibadah qurban, maka kita harus memahami bahwa hewan yang kita jadikan qurban juga makhluk Allah Subhanahu wata’ala, yang juga memiliki hak-haknya, seperti halnya kita makhluk manusia.
Ini artinya bahwa melalui ibadah korban, kita belajar untuk memahami rasa sakit dan penderitaan makhluk lain. Harapanya, kita dapat merasakan kebutuhan kepedulian terhadap mereka. Pemahaman dan sikap ini penting dalam rangka untuk mengembangkan sifat empati dan memperlakukan semua makhluk Allah dan tata lingkungan/ekologi di sekitarnya dengan penuh tanggungjawab dan bijaksana.
Jamaah Idul Adha, muslimin-muslimat yang berbahagia Perayaan hari raya Idul Qurban tahun ini, harapannya kita dapat terus belajar menjadi pribadi paripurna, pribadi yang semakin tulus dalam beribadah, memiliki kesadaran tinggi untuk belajar dari sejarah, belajar menjadi pribadi yang bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarganya dan masyarakatnya, seperti halnya Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam yang dijuluki Awwahun halim.
Kamu bisa mengunduh versi lengkap khutbah ini di
tautan ini.
Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. At Taubah: 24)
Setiap orang ada kecenderungan menyenangi harta, anak, jabatan, popularitas dan sebagainya, ini tentu diperbolehkan, karena hal yang demikian itu merupakan bagian dari sunnatullah, itu bagian dari sifat kemanusiaan kita.
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14)
Tetapi, kita harus ingat dan sadar bahwa kesenangan pada harta atau materi lainnya itu harus ada batasnya. Semua yang kita miliki tidak ada yang abadi, termasuk jazad kita ini juga cepat atau lambat akan kembali ke asal-muasalnya, yaitu tanah.
Lantas apa yang kita banggakan hari ini dari badan kita ini? Kekuatan, kecantikan, ketampanan, popularitas, jabatan dan lain-lainnya? Semua itu ada limit waktunya.
Semuanya akan selesai di saat takdir ajal/kematian telah tiba.
Semoga, kita semua yang menunaikan ibadah Qurban tahun ini, tetap dapat menjaga niat, tulus-ikhlas semata-mata mengharap ridha Allah Subhanahu wata’ala.
Sementara yang belum berkesempatan, semoga tetap dapat menikmati daging qurban dengan rasa syukur – seberapapun adanya dan semoga di tahun-tahun mendatang masih ada kesempatan dan dimudahkan untuk dapat menunaikanya.
Semoga kita semua dapat menjadi pribadi paripurna, pribadi yang akan mendapatkan jaminan keselamatan dan kemuliaan dunia-akhirat. Untuk versi lengkap khutbah ini kamu bisa mengunduhnya melalui di sini.
Khutbah 2
Haji Mabrur Itu Berkualitas Transformatif
(Oleh: Agus Saeful Bahri, S.Ag, M.S.I Sumber: Kemenag Kota Yogyakarta)
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia
Dengan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, hari ini kita dapat merayakan Idul Adha, dinamakan pula Idul Qurban, „Idun Nahr, dan Idul Akbar. Hari raya yang menekankan semangat sosial dan berkorban.
Pagi ini saat kita berkumpul di lapangan/Masjid ini, saudara-saudara kitakaum muslimin yang sedang menunaikan rukun Islam yang kelima di tanah suci Mekah, dengan berbaik sangka berhusnudzhan kepada Allah SWT mereka berharap dan kita doakan hajinya diterima Allah sehingga mereka meraih kualitas haji mabrur.
Aamiin ya mujiibas saailiin.
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia Seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji dan dikualifikasikan atau digolongkan sebagai haji mabrur itu dicirikan dengan 2 (dua) hal. Pertama, membagikan makanan, dan kedua menebarkan salam. Hal ini ditegaskan dalam salah satu hadis ketika Nabi saw bersabda bahwa kualitas haji mabrur hanya pantas berbalaskan surga kemudian seorang sahabat bernama Jabir bertanya kepadanya:
”Wahai Nabi Allah apa haji mabrur itu?” Rosulullah saw pun menjawab:”haji mabrur
adalah ith’am ath-tha’aam dan ifsya as-salaam.
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia Dalam Islam praktek ritual ibadah tidak sebatas pengikat hubungan hamba dan Tuhannya, tetapi menuntut pembuktian dalam kehidupan sehari-hari sebagai ciri makhluk yang tidak bisa terlepas dari keterikatan dengan lingkungannya baik manusia, hewan, dan semesta alam seluruhnya.
Berdasarkan hadis tersebut di atas secara normatif seseorang yang telah menunaikan ibadah haji dan dikategorikan mencapai kualitas haji mabrur ketika dirinya senantiasa mampu berbagi makanan dan mengucapkan salam (assalamu’alaikum) kepada orang lain yang dikenal maupun tidak dikenal. Tetapi apakah pengertiannya sebatas itu? Dalam kesempatan khutbah yang singkat ini saya akan menguraikan satu ciri saja dari kualitas haji mabrur dimaksud yaitu ith’aam aththa’aam.
Kata “ith’aam ath-tha’aam” terdiri dari 2 (dua) kata yang berasal dari akar kata yang sama yaitu “tha’ama. Dan makna frase tersebut secara bahasa adalah memberikan segala sesuatu yang dapat dimakan untuk menghidupi dan menopang badan. Secara istilah dalam persfektif fiqih bermakna memberikan makan dalam jumlah tertentu dan berbeda kepada fakir miskin sesuai dengan kebutuhan.
Dalam pemaknaan moderan ith’aam ath-tha’aam diartikan sebagai kepedulian sosial. Adalah tidak keliru jika alumni haji apabila ingin meraih kemabruran dia senantiasa berbagi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Hanya saja kiranya perlu difikirkan kembali bahwa aksi “berbagi makanan (ith’aam ath-tha’aam)” tidak saja bermakna harpiah membagikan makanan yang siap disantap tetapi juga menjadi sebuah gerakan pemberdayaan yang tepat sasaran dan menjadi solusi bagi persoalan persoalan sosial yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang diupayakan penyelesaiannya oleh pemerintah dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat termasuk para alumni haji.
Pun dalam konteks penyembelihan hewan qurban yang dilakukan oleh orangorang yang tidak berangkat haji, juga ditemukan anjuran yang sama yang disampaikan oleh Rosulullah saw terkait daging hewan qurban untuk dibagi-bagikan kepada orangorang miskin bahkan yang berada jauh di wilayah tempat tinggal shohibul qurban. Nabi saw bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari „Aisiyah radiyallahuanha:
Innamaa nahaitukum min ajli ad-daappati al-latii daffat ‘alaikum fakuluu wa
tashoddaquu wa ad-dakhoruu ya'ni’bi ad-daappati qauman masaakiina qadimuu almadiinata
“Saya melarang kalian karena adanya orang-orang yang datang. Makanlah daging tersebut, sedekahkanlah dan simpanlah sisanya, untuk diberikan kepada kaum miskin yang datang ke madinah”.
Dua bentuk ibadah yang berbeda tetapi outcome yang diharapakannya sama yaitu pribadi-pribadi yang melaksanaan kedua ibadah tersebut menjadi pribadi yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi bahkan mampu melakukan transformasi (perubahan) yang berdampak baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Sebagai misal karakter ith’aam ath-tha’am diwujudkan dalam penghimpunan dana secara rutin setiap bulan dari para alumni haji kemudian bersinergi dan berkolaborasi dengan stakeholder lainnya baik pemerintah, civil society atau ormas keagamaan, dan kelompok masyarakat lainnya dengan menyelenggarakan kegiatankegiatan atau memperkuat daya dorong dan daya jangkau program-program terutama yang sedang dikerjakan oleh pemerintah dalam percepatan penurunan angka stunting seperti pemenuhan gizi keluarga baik yang bersifat kuratif (pengobatan) maupun preventif (pencegahan). Bisa juga dengan membiayai kegiatan pelatihan keterampilan bagi orang-orang yang tidak mempunyai penghasilan tetap atau bahkan menganggur seperti cukur rambut, kemudian diberikan modal untuk membuka usahanya sendiri sehingga bisa hidup mandiri bahkan bisa menghidupi keluarganya, maka cara ini merupakan bagian dari ith’aam ath-tha’aam yang dapat menghantarkan ke surga.
Karena itu manakala seorang pulang haji lalu dia berusaha untuk memberdayakan orang di sekitarnya dengan harta atau keahlian yang dimilikinya termasuk bagian dari ith’aam ath-tha’aam, memberikan kail untuk memancing penghasilan sehingga beroleh makanan kemandirian, dan hal itu akan menambah keberkahan rejeki yang diperolehnya (ma naqasha maalun min shodaqotin bal yazdad, tidak akan berkurang harta karena sedekah sebaliknya akan bertambah). Perlu disadari juga terutama para alumni haji yang kaya, uangnya yang berlebih itu semestinya tidak dibayarkannya untuk melakukan haji yang kesekian kalinya tapi dia investasikan, misalnya untuk membiayai dana pendidikan siswa miskin, mahasiswa miskin sehingga dalam beberapa tahun ke depan akan lahir generasi anak bangsa dan keluarga yang cerdas dan terbebas dari kemiskinan. Itulah yang dimaksud dengan ith’aam ath-tha’aam.
Hadirin kaum muslimin wal muslimat yang berbahagia
Salah satu cerita shufi malah menyebutkan bahwa kemabruran haji itu dapat diperoleh dengan tidak berhaji. Itu diturunkan pertamakali oleh Abdullah bin Mubarak dalam kisahnya bahwa dia diberitahu pada suatu tahun orang berhaji demikian melimpah ruah tetapi yang diterima hajinya sebagai haji mabrur oleh Allah SWT hanya beberapa gelintir orang saja. Diantara yang sedikit itu adalah seorang yang tidak pergi haji tetapi tercatat di sisi Allah seorang yang meraih haji mabrur. Dicarilah orang itu berhari-hari oleh Abdullah bin Mubarak. Tatkala ditemukan sang peraih haji hanya merasa aneh bagaimana mungkin ia meraih kemabruran tanpa berhaji?
Setelah didesak oleh Abdullah bin Mubarak apa yang dilakukannya selama musim haji tahun itu. Dia berkata,”saya tidak pergi haji tapi saya nyaris pergi haji. Saya kumpulkan
uang puluhan tahun untuk pergi haji dan saya hendak pergi haji tahun ini. Ketika hendak berangkat haji saya diberitahu bahwa tetangga-tetangga saya yang miskin itu ditimpa musibah penyakit mewabah. Saya pun batalkan pergi haji saya berikan uang yang semula untuk pergi haji itu buat pengobatan dan makanan saudara-saudara saya yang miskin itu.
Cerita di atas bukanlah hadis Nabi saw, tetapi spirit cerita itu mendapatkan dukungan ayat al-Qur?an surah al-Baqarah (2) ayat 177 ketika Allah berfirman:
Bukanlah mengahadapkan wajahmu kea rah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;dan (memerdekakan) hamba sahaya,mendidirkan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Sebagaimana diketahui kata mabrur seakar dengan kata al-birru yang disebutkan ayat di atas. Mabrur berasal dari kata barra yabirru birran fahuwa baarun wadzaaka mabruurun. Jika al-birru itu dimaknai sebagai kebajikan maka mabrur itu orang yang diluruskan oleh Alah hatinya untuk senantiasa dalam kebajikan. Ayat di atas sama sekali tidak menyebutkan menyebutkan kata haji tetapi ayat di atas menyebutkan bahwa kebajikan, keimanan, mendermakan harta terbaik kepada sesama, menegakkan shalat, tunaikan zakat secara istiqamah, memelihara janji, senantiasa bersabar saat diuji Allah sebagai orang yang benar imannya yang mereka dilabeli orang yang bertaqwa.
Jika saat orang yang berhaji disuruh Allah untuk berbekal taqwa, orang pelaku kebajikan ini sudah dicap muttaqin oleh Allah. Dalam konteks inilah bagi siapapun yang tidak pergi haji atau bukan alumni dapat berkontribusi dalam perubahan menuju peradaban yang berlandaskan pada kepedulian sehingga terjadi perbaikan sosial. Wallahu a’lam bish showab. Dari keseluruhan urain di atas kiranya terjelaskan bahwa haji mabrur adalah haji dengan kualitas transformatif. Yaitu kualitas haji seseorang yang di dalam dirinya ada nilai-nilai perubahan menuju perbaikan. Suatu kualitas yang diperlukan oleh bangsa ini.
Kamu bisa mengunduh khutbah Iduladha 2025 PDF lainnya di
tautan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(RUL)