Ilustrasi bank tanah. Foto: Shutterstock
Ilustrasi bank tanah. Foto: Shutterstock

Eksistensi Bank Tanah Disebut Wujudkan Kepastian Hukum Hak Pengelolaan Atas Tanah

Siti Yona Hukmana • 26 Juli 2024 20:47
Jakarta: Pemerintah menghadirkan Bank Tanah yang tercantum dalam Pasal 125-135 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker). Kehadiran bank tanah disebut bisa mewujudkan kepastian hukum terhadap hak pengelolaan atas tanah.
 
"Dengan keberadaan Badan Bank Tanah dalam pelaksanaan pengelolaan hak atas tanah, untuk mewujudkan kepastian hukum terhadap pelaksanaan hak pengelolaan atas tanah merupakan sebuah konsep ideal dalam mewujudkan pengadaan tanah di Indonesia," kata Sekretaris Jenderal Brain Society Center (BSCenter) Dhifla Wiyani dalam keterangan tertulis, Jumat, 26 Juli 2024.
 
Politikus Golkar ini menyampaikan pendirian bank tanah juga bisa mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kemudian, mendorong investasi karena investor tidak akan terperangkap harga dari para spekulan tanah, dan memudahkan birokrasi ataupun perizinan.

Dhifla memandang pembentukan bank tanah memiliki urgensi di tengah intensitas kebutuhan tanah untuk pembangunan yang terus meningkat. Sedangkan, ketersediaan tanah semakin terbatas, harga tanah meroket, belum optimalnya pemanfaatan tanah khususnya untuk kepentingan umum, dan masih maraknya praktik spekulan serta penelantaran tanah.
 
Selain itu, dia menyebut pembangunan infrastruktur publik yang didedikasikan untuk kepentingan umum dan bernilai strategis, sering terkendala karena beberapa hambatan dalam penyediaan lahan. Antara lain ketidaksesuaian lokasi lahan, adanya resistensi atau penolakan dari warga masyarakat, ketidakjelasan hak atas tanah, penentuan besaran ganti rugi yang tidak menemui titik temu, munculnya spekulan, dan lain-lain.
 
Dhifla menyadari ada yang menganggap kehadiran bank tanah dikhawatirkan terjadi tumpang tindih tugas pokok dan fungsi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Kehadiran bank tanah, kata dia, juga dipandang berpotensi disalahgunakan untuk melegitimasi penguasaan tanah masyarakat adat yang belum memiliki kepastian hukum, serta meningkatkan eskalasi konflik agraria.
 
"Padahal kehadiran bank tanah menjadi bagian dari solusi untuk menjawab persoalan agraria dan bukan menambah persoalan baru," ungkap Dhifla Wiyani dalam paparannya pada ujian promosi doktoral di Universitas Trisakti.
 
Baca Juga: Bank Tanah Siapkan 360 Hektare Tanah untuk Pembangunan Bandara di IKN

Menurut Dhifla diperlukan sinergisitas dan keseimbangan dalam pengelolaan agraria, baik sebagai penopang kebutuhan dasar rakyat, sebagai sumber perekonomian rakyat. Maupun sebagai aset investasi pembangunan yang potensial.
 
Dhifla juga mengusulkan perlunya pengharmonisasian konsep soal keberadaan hak pengelolaan baik secara vertikal maupun horizontal. Yakni, perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Demikian pula antara sesama undang-undang lainnya yang sederajat.
 
Menurutnya, secara filosofi Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) ingin tanah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka itu, kata dia, secara normatif hukum tidak boleh menutup peluang kepada siapapun yang ingin berpartisipasi dalam pembangunan.
 
“Harus diakui secara jujur bahwa pemerintah belum profesional memanfaatkan aset tanahnya yang demikian banyak dan demikian luas. Namun, kunci dari aspek filosofis dan yuridis adalah harus ada asas keseimbangan atau keadilan dalam membagi tanah hak pengelolaan," ujar pengacara yang akrab dipanggil Ola ini.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan