medcom.id, Jakarta: Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan upaya pembangunan rendah karbon yang disusun pemerintah daerah untuk merespon perubahan iklim dilakukan salah kaprah. Tak ada hubungan timbal balik dengan perencanaan nasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Bahkan dalam beberapa hal cenderung bertentangan," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Nasional, Yuyun Harmono, seperti dilansir Antara, Jumat 8 September 2017.
Walhi menemukan fakta ini setelah melihat rencana aksi daerah penurunan emisi untuk gas rumah kaca (RAD GRK) dan RPJMD provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan untuk memantau dukungan pemerintah daerah terhadap program penurunan emisi di tingkat nasional.
Menurut Yuyun, dari lima provinsi yang diteliti, semua memiliki program penurunan emisi yang tak selaras dengan skema di tingkat nasional.
"Secara umum, belum terlihat inovasi ataupun inisiatif yang lebih maju untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berdaya ekonomi tinggi. Bahkan, kajian dokumen menunjukkan daerah tidak menjawab sumber emisi dari wilayah-wilayah tersebut," kata Yuyun.
Satu contoh, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Barat, sudah memasukkan target penurunan emisi gas rumah kaca, namun dilakukan secara salah kaprah.
Seharusnya penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan di dua sektor yaitu energi dan sektor berbasis lahan mengingat di provinsi tersebut banyak pembangkit listrik batu bara. Namun yang dilakukan adalah di sektor pengelolaan limbah karena pilihan sektor tersebut lebih murah.
Selain itu, Provinsi Sumatera Selatan dalam perencanaannya justru mendorong perubahan fungsi kawasan dan perluasan perkebunan sawit dan hutan taman industri di kawan-kawan gambut. Padahal, kawasan tersebut dinyatakan sangat rentan untuk bisa dilakukan upaya pembangunan daerah rendah karbon.
Masalah serupa juga ada di semua provinsi lain yang dijadikan wilayah kajian. Hal ini jelas membutuhkan perbaikan sehingga Indonesia konsisten menjadi salah satu pejuang penanganan perubahan iklim di forum-forum internasional seperti COP 23.
Baca: Indonesia jadi Tuan Rumah Pengurangan Emisi Karbon Dunia
Pidato Presiden Joko Widodo di COP 2015 di Paris, Prancis menyampaikan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional sampai 2030.
Pada akhir 2016, pemerintah telah menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Secretariat United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Perjanjian antarnegara di Paris tersebut juga telah dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 16 tahun 2016. Hal ini merupakan kebijakan kelanjutan dari periode pemerintahan sebelumnya yang menyatakan Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 2020 sebesar 26 persen dari kegiatan bisnis dengan sumber daya.
Upaya Indonesia menurunkan 41% emisi dengan bantuan internasional pernah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, 2009.
"Jika tidak ada perubahan kebijakan dalam RPJMD ke depan oleh pemerintah daerah baru paska pilkada serentak 2018, kami khawatir target penurunan emisi Indonesia tak akan tercapai," kata Yuyun.
medcom.id, Jakarta: Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan upaya pembangunan rendah karbon yang disusun pemerintah daerah untuk merespon perubahan iklim dilakukan salah kaprah. Tak ada hubungan timbal balik dengan perencanaan nasional dalam menurunkan emisi gas rumah kaca.
"Bahkan dalam beberapa hal cenderung bertentangan," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Nasional, Yuyun Harmono, seperti dilansir
Antara, Jumat 8 September 2017.
Walhi menemukan fakta ini setelah melihat rencana aksi daerah penurunan emisi untuk gas rumah kaca (RAD GRK) dan RPJMD provinsi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan untuk memantau dukungan pemerintah daerah terhadap program penurunan emisi di tingkat nasional.
Menurut Yuyun, dari lima provinsi yang diteliti, semua memiliki program penurunan emisi yang tak selaras dengan skema di tingkat nasional.
"Secara umum, belum terlihat inovasi ataupun inisiatif yang lebih maju untuk mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, rendah karbon, dan berdaya ekonomi tinggi. Bahkan, kajian dokumen menunjukkan daerah tidak menjawab sumber emisi dari wilayah-wilayah tersebut," kata Yuyun.
Satu contoh, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Jawa Barat, sudah memasukkan target penurunan emisi gas rumah kaca, namun dilakukan secara salah kaprah.
Seharusnya penurunan emisi gas rumah kaca dilakukan di dua sektor yaitu energi dan sektor berbasis lahan mengingat di provinsi tersebut banyak pembangkit listrik batu bara. Namun yang dilakukan adalah di sektor pengelolaan limbah karena pilihan sektor tersebut lebih murah.
Selain itu, Provinsi Sumatera Selatan dalam perencanaannya justru mendorong perubahan fungsi kawasan dan perluasan perkebunan sawit dan hutan taman industri di kawan-kawan gambut. Padahal, kawasan tersebut dinyatakan sangat rentan untuk bisa dilakukan upaya pembangunan daerah rendah karbon.
Masalah serupa juga ada di semua provinsi lain yang dijadikan wilayah kajian. Hal ini jelas membutuhkan perbaikan sehingga Indonesia konsisten menjadi salah satu pejuang penanganan perubahan iklim di forum-forum internasional seperti COP 23.
Baca: Indonesia jadi Tuan Rumah Pengurangan Emisi Karbon Dunia
Pidato Presiden Joko Widodo di COP 2015 di Paris, Prancis menyampaikan komitmen Pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional sampai 2030.
Pada akhir 2016, pemerintah telah menyerahkan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) kepada Secretariat United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Perjanjian antarnegara di Paris tersebut juga telah dilakukan melalui pengesahan UU Nomor 16 tahun 2016. Hal ini merupakan kebijakan kelanjutan dari periode pemerintahan sebelumnya yang menyatakan Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 2020 sebesar 26 persen dari kegiatan bisnis dengan sumber daya.
Upaya Indonesia menurunkan 41% emisi dengan bantuan internasional pernah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat, 2009.
"Jika tidak ada perubahan kebijakan dalam RPJMD ke depan oleh pemerintah daerah baru paska pilkada serentak 2018, kami khawatir target penurunan emisi Indonesia tak akan tercapai," kata Yuyun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)