medcom.id, Bogor: TNI bisa masuk ke Marawi, Filipina, untuk membantu menumpas terorisme. Hal itu ditegaskan Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan (FMP) Universitas Pertahanan (Unhan) Laksamana Muda TNI Amarulla Octavian.
Sejak Mei lalu, militer Filipina terlibat kontak senjata di Marawi dengan kelompok radikal Maute yang telah berafiliasi dengan kelompok radikal ISIS. Hingga kini, situasi belum juga reda.
"TNI bisa membantu menyelesaikan krisis di Filipina. Sama halnya saat Operasi Militer pembebasan sandera di Thailand pada 1981 dan pembebasan sandera di Somalia pada 2011," kata Octavian, dalam keterangan tertulis, Rabu 16 Agustus 2017.
Diskusi soal operasi militer ini mengemuka saat Pusat Studi Peperangan Asimetrik, Fakultas Strategi Pertahanan Unhan, mengadakan focus group discussion (FGD) bertema “Krisis Teror di Marawi dan Implikasinya terhadap Stabilitas Keamanan Nasional Indonesia”.
Baca: 3 Pintu Masuk Teroris Marawi ke Indonesia
Diskusi dilakukan untuk menganalisis kemajuan operasi militer Filipina di Marawi dan strategi militer apa yang seharusnya dapat digelar oleh TNI. Operasi militer, kata Octavian, efektif untuk mengantisipasi merembesnya gerilyawan Maute ke wilayah Indonesia.
Dalam diskusi itu juga dibahas dasar hukum penanggulangan teror oleh Polri dan TNI. Polri berpijak pada UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme. Kepolisian mengategorikan terorisme sebagai bentuk kejahatan.
Sedangkan TNI memandang terorisme melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Bagi TNI, terorisme dikategorikan ke dalam bentuk peperangan asimetris.
"Kedua UU itu memberikan kewenangan, baik kepada Polri maupun TNI, untuk memberantas terorisme," katanya.
Hanya, lanjut dia, yang membedakan adalah pelaku, sasaran, lokasi kejadian, dan yurisdiksinya. Ketika sasarannya negara dan lokasi kejadian dan yurisdiksinya lintas negara, maka TNI berwenang turun tangan.
FDG secara resmi dibuka Rektor Unhan Letjen TNI I Wayan Midhio. Diskusi ini dihadiri Wakil Rektor I Unhan Prof. Dadang Gunawan, Dekan Fakultas Stretegi Pertahanan Mayjen TNI Tri Legionosuko, dan para dosen serta peneliti Pusat Studi Peperangan Asimetrik serta para mahasiswa dan alumni.
Pembicara kunci dalam FGD ini adalah Andhika Chrisnayudhanto dengan narasumber Prof. Yanyan Mochamad Yani dan Andi Widjajanto.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/5b2joe2b" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Bogor: TNI bisa masuk ke Marawi, Filipina, untuk membantu menumpas terorisme. Hal itu ditegaskan Dekan Fakultas Manajemen Pertahanan (FMP) Universitas Pertahanan (Unhan) Laksamana Muda TNI Amarulla Octavian.
Sejak Mei lalu, militer Filipina terlibat kontak senjata di Marawi dengan kelompok radikal Maute yang telah berafiliasi dengan kelompok radikal ISIS. Hingga kini, situasi belum juga reda.
"TNI bisa membantu menyelesaikan krisis di Filipina. Sama halnya saat Operasi Militer pembebasan sandera di Thailand pada 1981 dan pembebasan sandera di Somalia pada 2011," kata Octavian, dalam keterangan tertulis, Rabu 16 Agustus 2017.
Diskusi soal operasi militer ini mengemuka saat Pusat Studi Peperangan Asimetrik, Fakultas Strategi Pertahanan Unhan, mengadakan focus group discussion (FGD) bertema “Krisis Teror di Marawi dan Implikasinya terhadap Stabilitas Keamanan Nasional Indonesia”.
Baca: 3 Pintu Masuk Teroris Marawi ke Indonesia
Diskusi dilakukan untuk menganalisis kemajuan operasi militer Filipina di Marawi dan strategi militer apa yang seharusnya dapat digelar oleh TNI. Operasi militer, kata Octavian, efektif untuk mengantisipasi merembesnya gerilyawan Maute ke wilayah Indonesia.
Dalam diskusi itu juga dibahas dasar hukum penanggulangan teror oleh Polri dan TNI. Polri berpijak pada UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teorisme. Kepolisian mengategorikan terorisme sebagai bentuk kejahatan.
Sedangkan TNI memandang terorisme melalui UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Bagi TNI, terorisme dikategorikan ke dalam bentuk peperangan asimetris.
"Kedua UU itu memberikan kewenangan, baik kepada Polri maupun TNI, untuk memberantas terorisme," katanya.
Hanya, lanjut dia, yang membedakan adalah pelaku, sasaran, lokasi kejadian, dan yurisdiksinya. Ketika sasarannya negara dan lokasi kejadian dan yurisdiksinya lintas negara, maka TNI berwenang turun tangan.
FDG secara resmi dibuka Rektor Unhan Letjen TNI I Wayan Midhio. Diskusi ini dihadiri Wakil Rektor I Unhan Prof. Dadang Gunawan, Dekan Fakultas Stretegi Pertahanan Mayjen TNI Tri Legionosuko, dan para dosen serta peneliti Pusat Studi Peperangan Asimetrik serta para mahasiswa dan alumni.
Pembicara kunci dalam FGD ini adalah Andhika Chrisnayudhanto dengan narasumber Prof. Yanyan Mochamad Yani dan Andi Widjajanto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)