Jakarta: World Health Organization (WHO) mencatat 703 ribu orang bunuh diri setiap tahunnya. Pada 2019, WHO mencatat bunuh diri terjadi sepanjang rentang usia dan merupakan penyebab kematian keempat terbanyak di kalangan individu berusia 15–29 tahun.
Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpendapatan tinggi, tetapi merupakan fenomena global di semua wilayah dunia. Bahkan, lebih dari 77 persen dari bunuh diri global terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Psikolog Novita Tandry mengungkapkan bunuh diri memiliki kaitan erat dengan kesehatan mental. Makanya, kesehatan mental tidak bisa dianggap sepele.
"Kesehatan mental jangan dianggap enteng, sama seriusnya dengan kesehatan fisik. Seperti kita terkena diabetes, kanker, tumor, apa pun harus diobati, dicari pertolongan,” kata Novita saat dihubungi, Sabtu, 16 Desember 2023.
Menurut dia, ada berbagai faktor yang memicu orang melakukan bunuh diri. Selain masalah ekonomi dan sosial seperti terlilit utang atau masalah keluarga, masalah lainnya yang dapat memicu bunuh diri ialah gangguan mental.
Novita menyebut, ada berbagai macam tanda akan bunuh diri yang bisa terlihat dari orang terdekat. Di antaranya gangguan makan, gangguan tidur dan fantasi yang berulang.
"Dalam kepala dia, saya akan mengakhiri nyawa dan hidup saya dengan cara seperti apa. Jadi sebenarnya bukan tidak ada gejala, pasti akan terlihat dari orang terdekat, kecuali orang yang gak serumah," bebernya.
Tanda-tanda itu bisa berlangsung selama beberapa tahun. Kemudian, akan meningkat menjadi mood disodrer atau suasana hati yang cukup membingungkan. Dari situ, perlu dilakukan diagnosis, apa yang telah dilaluinya.
"Bisa jadi dia baru kehilangan pekerjaan, enggak lulus kuliah. Semua akumulasi datang dalam waktu yang bersamaan, dan itu akan membuatnya nekat melakukan hal yang dianggap dia sebagai jalan keluar," ucap dia.
Menurut Novita, kasus bunuh diri dapat dicegah dengan intervensi yang tepat waktu, berbasis bukti, dan seringkali berbiaya rendah. Agar respons nasional efektif, diperlukan strategi pencegahan bunuh diri yang komprehensif dan melibatkan berbagai sektor.
"Budaya kita kadang memang tabu untuk menceritakan kalau ada masalah dan dianggap menjadi rahasia. Padahal setiap orang sebagai makhluk sosial butuh orang lain," ucap Novita.
Jakarta: World Health Organization (WHO) mencatat 703 ribu orang bunuh diri setiap tahunnya. Pada 2019, WHO mencatat bunuh diri terjadi sepanjang rentang usia dan merupakan penyebab kematian keempat terbanyak di kalangan individu berusia 15–29 tahun.
Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpendapatan tinggi, tetapi merupakan fenomena global di semua wilayah dunia. Bahkan, lebih dari 77 persen dari bunuh diri global terjadi di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Psikolog Novita Tandry mengungkapkan bunuh diri memiliki kaitan erat dengan kesehatan mental. Makanya, kesehatan mental tidak bisa dianggap sepele.
"Kesehatan mental jangan dianggap enteng, sama seriusnya dengan kesehatan fisik. Seperti kita terkena diabetes, kanker, tumor, apa pun harus diobati, dicari pertolongan,” kata Novita saat dihubungi, Sabtu, 16 Desember 2023.
Menurut dia, ada berbagai faktor yang memicu orang melakukan bunuh diri. Selain masalah ekonomi dan sosial seperti terlilit utang atau masalah keluarga, masalah lainnya yang dapat memicu bunuh diri ialah gangguan mental.
Novita menyebut, ada berbagai macam tanda akan bunuh diri yang bisa terlihat dari orang terdekat. Di antaranya gangguan makan, gangguan tidur dan fantasi yang berulang.
"Dalam kepala dia, saya akan mengakhiri nyawa dan hidup saya dengan cara seperti apa. Jadi sebenarnya bukan tidak ada gejala, pasti akan terlihat dari orang terdekat, kecuali orang yang gak serumah," bebernya.
Tanda-tanda itu bisa berlangsung selama beberapa tahun. Kemudian, akan meningkat menjadi mood disodrer atau suasana hati yang cukup membingungkan. Dari situ, perlu dilakukan diagnosis, apa yang telah dilaluinya.
"Bisa jadi dia baru kehilangan pekerjaan, enggak lulus kuliah. Semua akumulasi datang dalam waktu yang bersamaan, dan itu akan membuatnya nekat melakukan hal yang dianggap dia sebagai jalan keluar," ucap dia.
Menurut Novita, kasus
bunuh diri dapat dicegah dengan intervensi yang tepat waktu, berbasis bukti, dan seringkali berbiaya rendah. Agar respons nasional efektif, diperlukan strategi pencegahan bunuh diri yang komprehensif dan melibatkan berbagai sektor.
"Budaya kita kadang memang tabu untuk menceritakan kalau ada masalah dan dianggap menjadi rahasia. Padahal setiap orang sebagai makhluk sosial butuh orang lain," ucap Novita.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)