Jakarta: Panitia kurban adalah sekelompok orang tertentu yang pada umumnya dipersiapkan suatu organisasi (takmir masjid, musala, instansi, dan lain-lain) guna menerima kepercayaan (amanat) dari pihak mudhahi (yang berkurban) untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban dan membagikan dagingnya.
Dalam pandangan fikih, panitia ialah wakil yang pengemban amanah. Tugas pokok panitia kurban ialah menyembelih dan membagikan dagingnya kepada pihak yang berhak sesuai dengan pernyataan pihak mudhahi saat penyerahan hewan kurban.
Sebagai upah dalam pelaksanaan tugasnya, panitia kurban biasanya akan mendapatkan jumlah daging yang lebih banyak dari yang lainnya.
Apakah tindakan mendistribusikan jatah daging yang lebih banyak kepada pihak yang menyembelih atau panitia kurban diperbolehkan dalam Islam?
Hukum panitia kurban diberikan jatah daging lebih banyak
Melansir dari NU Online, untuk menjawab permasalahan ini, ada beberapa poin yang perlu diperjelas. Pertama, dalam pandangan fiqih, status panitia kurban adalah wakil dari orang yang berkurban, sehingga keputusan yang diambil harus mendapat persetujuan dari orang yang berkurban baik secara lisan maupun dari kebiasaan (‘urf), sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitab Al-Muhadzdzab (II/165).
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami jika pemberian jatah lebih kepada panitia sudah melalui persetujuan, maka tindakan itu dapat dibenarkan dari sudut pandang akadnya.
Kedua, larangan untuk memberi daging sebagai upah kepada pihak penyembelih ini berlaku jika memang di atas namakan upah sewa, artinya terjadi kesepakatan untuk melakukan pekerjaan dengan adanya pembayaran upah. Jika tidak ada kesepakatan apapun, maka pemberian tersebut bukan disebut upah (ujrah).
Artinya, “(Dan tidak ada upah) untuk pekerjaan seperti mencukur rambut, menjahit baju, mengguntingnya, dan mewarnainya dengan pewarna pemiliknya (tanpa ada syarat) upah. Maka jika seseorang menyerahkan kain bajunya kepada penjahit untuk dijahit. kemudian diapun melakukannya, dan tidak ada satupun di antara mereka yang menyebutkan upah atau apa yang dapat dipahami upah, maka tidak ada upah baginya karena dia orang yang melakukannya dengan cuma-cuma.” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1998] halaman 131).
Karena itu, meskipun menjadi panitia, ia tetap berhak menerima daging kurban atas nama sedekah jika tergolong fakir miskin, dan atas nama ith’am (pemberian hidangan) dalam kurban sunah, jika tergolong orang yang mampu atau kaya.
Artinya, “Dikecualikan dengan upah, adalah memberikannya dari daging qurban karena fakirnya, dan memberinya makanan dari qurban, jika dia kaya, maka keduanya diperbolehkan.” (Muhammad Mahfudz At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2023] juz VI, halaman 677)
Ketiga, dalam pembagian daging kurban, diperbolehkan untuk memberikannya kepada satu orang miskin saja, tidak ada keharusan untuk membagi rata daging kurban kepada seluruh orang miskin di daerahnya. Sehingga tidak ada larangan untuk memberikan jatah lebih kepada pihak tertentu seperti panitia, hanya saja alangkah baiknya juga mempertimbangkan dampak sosialnya.
Maka dari itu, kesimpulannya, hukum panitia kurban mendapatkan jatah daging dua kali lipat atau lebih banyak diperbolehkan, selama tidak diatasnamakan upah pekerjaan, yakni dapat diatasnamakan sedekah bagi orang miskin atau pemberian hidangan (ith’am) bagi orang yang mampu atau kaya.
Jakarta:
Panitia kurban adalah sekelompok orang tertentu yang pada umumnya dipersiapkan suatu organisasi (takmir masjid, musala, instansi, dan lain-lain) guna menerima kepercayaan (amanat) dari pihak mudhahi (yang berkurban) untuk melaksanakan penyembelihan hewan
kurban dan membagikan dagingnya.
Dalam pandangan fikih, panitia ialah wakil yang pengemban amanah. Tugas pokok panitia kurban ialah menyembelih dan membagikan dagingnya kepada pihak yang berhak sesuai dengan pernyataan pihak mudhahi saat penyerahan hewan kurban.
Sebagai upah dalam pelaksanaan tugasnya, panitia kurban biasanya akan mendapatkan jumlah daging yang lebih banyak dari yang lainnya.
Apakah tindakan mendistribusikan jatah daging yang lebih banyak kepada pihak yang menyembelih atau panitia kurban diperbolehkan dalam Islam?
Hukum panitia kurban diberikan jatah daging lebih banyak
Melansir dari
NU Online, untuk menjawab permasalahan ini, ada beberapa poin yang perlu diperjelas. Pertama, dalam pandangan fiqih, status panitia kurban adalah wakil dari orang yang berkurban, sehingga keputusan yang diambil harus mendapat persetujuan dari orang yang berkurban baik secara lisan maupun dari kebiasaan (‘urf), sebagaimana yang dinyatakan oleh Abu Ishaq As-Syirazi dalam kitab Al-Muhadzdzab (II/165).
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami jika pemberian jatah lebih kepada panitia sudah melalui persetujuan, maka tindakan itu dapat dibenarkan dari sudut pandang akadnya.
Kedua, larangan untuk memberi daging sebagai upah kepada pihak penyembelih ini berlaku jika memang di atas namakan upah sewa, artinya terjadi kesepakatan untuk melakukan pekerjaan dengan adanya pembayaran upah. Jika tidak ada kesepakatan apapun, maka pemberian tersebut bukan disebut upah (ujrah).
Artinya, “(Dan tidak ada upah) untuk pekerjaan seperti mencukur rambut, menjahit baju, mengguntingnya, dan mewarnainya dengan pewarna pemiliknya (tanpa ada syarat) upah. Maka jika seseorang menyerahkan kain bajunya kepada penjahit untuk dijahit. kemudian diapun melakukannya, dan tidak ada satupun di antara mereka yang menyebutkan upah atau apa yang dapat dipahami upah, maka tidak ada upah baginya karena dia orang yang melakukannya dengan cuma-cuma.” (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu’in, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1998] halaman 131).
Karena itu, meskipun menjadi panitia, ia tetap berhak menerima daging kurban atas nama sedekah jika tergolong fakir miskin, dan atas nama ith’am (pemberian hidangan) dalam kurban sunah, jika tergolong orang yang mampu atau kaya.
Artinya, “Dikecualikan dengan upah, adalah memberikannya dari daging qurban karena fakirnya, dan memberinya makanan dari qurban, jika dia kaya, maka keduanya diperbolehkan.” (Muhammad Mahfudz At-Tarmasi, Hasyiyah At-Tarmasi, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2023] juz VI, halaman 677)
Ketiga, dalam pembagian daging kurban, diperbolehkan untuk memberikannya kepada satu orang miskin saja, tidak ada keharusan untuk membagi rata daging kurban kepada seluruh orang miskin di daerahnya. Sehingga tidak ada larangan untuk memberikan jatah lebih kepada pihak tertentu seperti panitia, hanya saja alangkah baiknya juga mempertimbangkan dampak sosialnya.
Maka dari itu, kesimpulannya, hukum panitia kurban mendapatkan jatah daging dua kali lipat atau lebih banyak diperbolehkan, selama tidak diatasnamakan upah pekerjaan, yakni dapat diatasnamakan sedekah bagi orang miskin atau pemberian hidangan (ith’am) bagi orang yang mampu atau kaya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PRI)