medcom.id, Jakarta: Presiden Soekarno merasa perlu membikin barisan baru. Dalam benaknya, tak elok jika dunia cuma terbelah dua; Timur dan Barat.
Gagasan Bung Besar itu, melandasi lahirnya Conference of The New Emerging Forces (Conefo) pada 7 Januari 1965. Sebuah ruang bagi negara-negara berkembang di luar kekuatan Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Keberadaan Conefo digaungkan melalui penyelenggaraan pesta olahraga bertajuk Games of the New Emerging Forces, alias Ganefo. Soekarno pun menyilakan Jakarta sebagai tuan rumah. Gelanggang berbentuk kubah kura-kura, dibangun di sekitar Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Siapa kira, arah angin perpolitikan dunia berubah. Conefo yang bubar pada 11 Agustus 1966, menyisakan aset gedung yang kemudian dialih-fungsikan sebagai tempat merumuskan undang-undang.
Lebih karib, tempat itu disebut Kompleks Parlemen Senayan. Bangunan bekas Ganefo menjadi tempat berkumpul para anggota dewan. Dari gedung bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) inilah, aspirasi rakyat diperdengarkan dan ditimbang.
Tak tentu
Ada kecenderungan menarik dari kegiatan di gedung para wakil rakyat ini. Sesekali ramai, tak jarang pula sidang yang diselenggarakan tampak sepi.
Perbandingannya, tak perlu jauh-jauh hari. Ambil misal, Rapat Paripurna DPR yang membahas Rancangan Undang Undang Pemilu (RUU Pemilu) hari ini, Kamis, 20 Juli 2017, dihadiri 534 orang.
Sementara pada paripurna dua hari sebelumnya, hanya ada 311 anggota dewan yang turut bersidang. Padahal, agendanya tak kalah penting, membahas pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.
Keragaman suasana juga terekam pada lama pendeknya proses menuju keputusan. Pembahasan cukup singkat, misalnya, terdapat pada sidang RUU Pegampunan Pajak yang diajukan pertengahan April tahun lalu. Tidak sampai genap dua bulan, rancangan itu berhasil disahkan menjadi undang-undang pada 28 Juni 2016.
Hal itu, tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi dengan RUU Pemilu. Padahal, Panitia Khusus (Pansus) yang menangani rancangan ini sudah dibentuk dan bekerja sejak 9 bulan lalu, dan melewati sebanyak 67 kali rapat.
Selain RUU Pemilu, redaksi Metrotvnews.com setidaknya mencatat ada tiga pembahasan yang berlangsung alot di sepanjang tahun lalu. Yakni, Revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPDR, DPD, dan DPRD (UU MD3), RUU Pertembakauan, dan Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE).
Tarik ulur yang berlangsung, tak lekang menjadi sorotan publik. Bahkan tidak sedikit yang bilang, menimbulkan kesan gaduh.
Perdebatan, memang tak sepenuhnya buruk. Malah, boleh dibilang menjadi penanda yang biasa dalam alam demokrasi. Hanya saja, ketak-menentuan keseriusan itu terkesan tidak sebanding dengan produk yang dihasilkan.
Taruhlah, selama 2015, dari 40 RUU yang masuk program legislasi nasional prioritas (Prolegnas), cuma tiga UU saja yang berhasil dirampungkan.
Begitu pun di tahun selanjutnya, kurang lebih hanya 7 RUU yang selesai dari total 50 RUU yang diajukan.
Demi 2019
Khusus RUU Pemilu, sejak awal paling tidak ada lima isu krusial yang memancing perdebatan. Tentang ambang batas parlemen atau parliamentary threshold, ambang batas pencalonan Presiden (presidential threshold), alokasi kursi per dapil (district magnitude), sistem pemilu, juga metode konversi suara.
Dan hari ini, kelima isu strategis itu mengerucut pada sawala presidential threshold (PT). Secara garis besar, parlemen terbelah menjadi dua golongan. Satu kelompok di antaranya memandang bahwa ambang batas pencalonan Presiden itu tidak lagi layak diberlakukan, alias 0 persen. Sementara pemerintah dan partai pendukungnya, tetap ingin membanderol dengan syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Baca: Silang Pendapat, Paripurna RUU Pemilu Hujan Interupsi
Opsi tengah memang ada, yakni ambang batas sebesar 10 persen. Namun, pada prosesnya tidak begitu dilirik selain dua pertarungan tersebut.
Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, menjadi alasan tidak relevannya pemberlakuan ambang batas. Argumen ini, sebagaimana diungkapkan dalam pandangan Gerindra, PKS, dan Demokrat.
Sementara anggapan PT 0 persen sebagai kemunduran dan khawatir melahirkan kepemimpinan dengan dukungan parlemen yang lemah, disuarakan PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP dan PKB.
Tarik ulur tidak cuma seputar itu, perdebatan sengit juga terjadi pada teknis pengambilan keputusan sidang dengan cara voting atau musyawarah mufakat. Jika voting, tertutup atau terbuka.
Nyata saja, dalam paripurna pun, RUU ini masih berlangsung alot. Skorsing dilakukan dan belum menampakkan kejelasan akhir yang dihasilkan.
Tidak sedikit yang menerka, alotnya pembahasan RUU terkait kepentingan partai politik dalam memenangi Pemilu 2019. Tak peduli, misal, berapa lama lagi rakyat yang katanya tengah diwakilkan, mendapat kepastian dari Senayan.
Publik, terlebih penyelenggara Pemilu, tentu menunggu kabar Senayan; tempat dahulu Soekarno menggelorakan ketegasan.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/nN9VEM9b" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Presiden Soekarno merasa perlu membikin barisan baru. Dalam benaknya, tak elok jika dunia cuma terbelah dua; Timur dan Barat.
Gagasan Bung Besar itu, melandasi lahirnya Conference of The New Emerging Forces (Conefo) pada 7 Januari 1965. Sebuah ruang bagi negara-negara berkembang di luar kekuatan Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Keberadaan Conefo digaungkan melalui penyelenggaraan pesta olahraga bertajuk Games of the New Emerging Forces, alias Ganefo. Soekarno pun menyilakan Jakarta sebagai tuan rumah. Gelanggang berbentuk kubah kura-kura, dibangun di sekitar Kelurahan Gelora Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Siapa kira, arah angin perpolitikan dunia berubah. Conefo yang bubar pada 11 Agustus 1966, menyisakan aset gedung yang kemudian dialih-fungsikan sebagai tempat merumuskan undang-undang.
Lebih karib, tempat itu disebut Kompleks Parlemen Senayan. Bangunan bekas Ganefo menjadi tempat berkumpul para anggota dewan. Dari gedung bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) inilah, aspirasi rakyat diperdengarkan dan ditimbang.
Tak tentu
Ada kecenderungan menarik dari kegiatan di gedung para wakil rakyat ini. Sesekali ramai, tak jarang pula sidang yang diselenggarakan tampak sepi.
Perbandingannya, tak perlu jauh-jauh hari. Ambil misal, Rapat Paripurna DPR yang membahas Rancangan Undang Undang Pemilu (RUU Pemilu) hari ini, Kamis, 20 Juli 2017, dihadiri 534 orang.
Sementara pada paripurna dua hari sebelumnya, hanya ada 311 anggota dewan yang turut bersidang. Padahal, agendanya tak kalah penting, membahas pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.
Keragaman suasana juga terekam pada lama pendeknya proses menuju keputusan. Pembahasan cukup singkat, misalnya, terdapat pada sidang RUU Pegampunan Pajak yang diajukan pertengahan April tahun lalu. Tidak sampai genap dua bulan, rancangan itu berhasil disahkan menjadi undang-undang pada 28 Juni 2016.
Hal itu, tentu bertolak belakang dengan apa yang terjadi dengan RUU Pemilu. Padahal, Panitia Khusus (Pansus) yang menangani rancangan ini sudah dibentuk dan bekerja sejak 9 bulan lalu, dan melewati sebanyak 67 kali rapat.
Selain RUU Pemilu, redaksi
Metrotvnews.com setidaknya mencatat ada tiga pembahasan yang berlangsung alot di sepanjang tahun lalu. Yakni, Revisi Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPDR, DPD, dan DPRD (UU MD3), RUU Pertembakauan, dan Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi Elektronik (UU ITE).
Tarik ulur yang berlangsung, tak lekang menjadi sorotan publik. Bahkan tidak sedikit yang bilang, menimbulkan kesan gaduh.
Perdebatan, memang tak sepenuhnya buruk. Malah, boleh dibilang menjadi penanda yang biasa dalam alam demokrasi. Hanya saja, ketak-menentuan keseriusan itu terkesan tidak sebanding dengan produk yang dihasilkan.
Taruhlah, selama 2015, dari 40 RUU yang masuk program legislasi nasional prioritas (Prolegnas), cuma tiga UU saja yang berhasil dirampungkan.
Begitu pun di tahun selanjutnya, kurang lebih hanya 7 RUU yang selesai dari total 50 RUU yang diajukan.
Demi 2019
Khusus RUU Pemilu, sejak awal paling tidak ada lima isu krusial yang memancing perdebatan. Tentang ambang batas parlemen atau
parliamentary threshold, ambang batas pencalonan Presiden
(presidential threshold), alokasi kursi per dapil
(district magnitude), sistem pemilu, juga metode konversi suara.
Dan hari ini, kelima isu strategis itu mengerucut pada sawala
presidential threshold (PT). Secara garis besar, parlemen terbelah menjadi dua golongan. Satu kelompok di antaranya memandang bahwa ambang batas pencalonan Presiden itu tidak lagi layak diberlakukan, alias 0 persen. Sementara pemerintah dan partai pendukungnya, tetap ingin membanderol dengan syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Baca: Silang Pendapat, Paripurna RUU Pemilu Hujan Interupsi
Opsi tengah memang ada, yakni ambang batas sebesar 10 persen. Namun, pada prosesnya tidak begitu dilirik selain dua pertarungan tersebut.
Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019, menjadi alasan tidak relevannya pemberlakuan ambang batas. Argumen ini, sebagaimana diungkapkan dalam pandangan Gerindra, PKS, dan Demokrat.
Sementara anggapan PT 0 persen sebagai kemunduran dan khawatir melahirkan kepemimpinan dengan dukungan parlemen yang lemah, disuarakan PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP dan PKB.
Tarik ulur tidak cuma seputar itu, perdebatan sengit juga terjadi pada teknis pengambilan keputusan sidang dengan cara voting atau musyawarah mufakat. Jika voting, tertutup atau terbuka.
Nyata saja, dalam paripurna pun, RUU ini masih berlangsung alot. Skorsing dilakukan dan belum menampakkan kejelasan akhir yang dihasilkan.
Tidak sedikit yang menerka, alotnya pembahasan RUU terkait kepentingan partai politik dalam memenangi Pemilu 2019. Tak peduli, misal, berapa lama lagi rakyat yang katanya tengah diwakilkan, mendapat kepastian dari Senayan.
Publik, terlebih penyelenggara Pemilu, tentu menunggu kabar Senayan; tempat dahulu Soekarno menggelorakan ketegasan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)