medcom.id, Jakarta: Een koppige vent, koppig. Tak ada lagi yang ditakuti seorang Ali Sadikin.
Istilah Belanda yang disitir Presiden Soekarno itu, memang terbukti. Selama bekas Menteri Koordinator Kompartemen Kemaritiman Indonesia tersebut menjabat Gubernur DKI Jakarta, diterjangnya segala hal yang dianggap penghalang.
Dikenal sebagai sosok kontroversial, bukan urusan. Yang dipikirkan Ali, cuma suksesnya pembangunan.
Usai mengabdikan diri selama sepuluh tahun lebih, Bang Ali, mau tidak mau harus menyerahkan tongkat estafet kepada gubernur berikutnya, Tjokropranolo.
Dan Sabtu, 18 Juni 1977 itu, rupanya menjadi awal hari yang berat bagi para pecinta Bang Ali. Atau barangkali, untuk sang pengganti sendiri. Mantan pengawal Jenderal Sudirman itu pun sadar, membandingi Bang Ali tak akan segampang membalikkan telapak tangan.
Di setiap peralihan kekuasaan, seorang pejabat memang dibebani dua hal. Harus mampu lebih baik dari sebelumnya, sekaligus bisa menorehkan terobosan baru agar tak terkesan hanya mengekor dan melanjutkan.
Soal ini, DKI Jakarta punya segudang cerita. Selain perpindahan dari Bang Ali ke Tjokropranolo, sejak kemarin, pekerjaan rumah (PR) serupa menanti pula Gubernur dan Wakil Gubernur Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno.
Pasalnya, baik Joko Widodo, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama, maupun Djarot Saiful Hidayat, alias kinerja dan karya tiga penggawa dalam satu periode sebelumnya itu, memang sulit disepelekan.
Baca: Jakarta Butuh Pemimpin Tegas
Rekonsiliasi
Anies-Sandi memenangi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Sebuah pesta demokrasi daerah, yang tak cuma menghasilkan keputusan baik, namun juga menyisakan banyak koreksi yang penting dilakukan demi kedewasaan politik di Ibu Kota.
Polarisasi, salah satunya. Ia menjelma sebagai dampak paling awet, dan tak cukup mudah menyudahinya. Terkecuali, jika masing-masing dari siapa pun pihak yang pernah berseberangan lebih merelakan diri untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita Jakarta.
Kabar kurang baik tentang terkotak-kotaknya masyarakat Jakarta ini, bahkan masih terasa hingga sepekan lalu.
Pakar sains informatika sekaligus penemu peranti lunak Drone Emprit Ismail Fahmi menangkap potensi polarisasi sisa pertarungan Pilgub DKI Jakarta 2017 itu melalui aktivitas di dunia maya.
Sampai seminggu sebelum Anies-Sandi dilantik, warganet masih terbagi menjadi dua kelompok. Ismail menyebutnya, cluster kanan untuk pendukung gubernur dan wakil gubernur baru, dan kiri, sekelompok warganet yang dianggap belum sepenuhnya bisa beranjak dari kesan kepemimpinan Ahok-Djarot.
"Ada top influencer yang hilang, ada yang baru muncul. Namun sebagian besar masih sama dengan pada masa kampanye yang lalu," tulis Ismail di laman Facebooknya, Senin, 16 Oktober 2017.
Ismail menghimpun percakapan di media online dan media sosial dengan menggunakan beberapa kata kunci, yakni @aniesbaswedan, Anies, @sandiuno, Sandiaga Uno, Sandi.
Hasilnya, terkumpul 13 ribu sebutan (mention) di media online dan 80 ribu lebih percakapan di Twitter.
Di antara kicauan itu, mereka yang menulis tentang janji bertema reklamasi sebanyak 31%, rumah DP 0% sebesar 4%, OK OCE sejumlah 3%, penutupan Alexis 2%, KJP Plus 1%, dan sejumlah janji lainnya hingga memunculkan angka 19%.
Obrolan tentang reklamasi, terwujud berupa dukungan agar pemimpin baru DKI Jakarta itu tetap menolak proyek yang sejak awal masa kampanye banyak menuai pro-kontra.
Sementara ihwal Rumah DP 0%, lebih diperankan sebagai senjata oleh kelompok sebaliknya.
"Polarisasi dan pencitraan berlebihan bisa menjadi ancaman bagi demokrasi di DKI Jakarta. Ini harus diperhatikan baik-baik," tulis Ismail.
Sementara pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, PR Anies-Sandi mengenai rekonsiliasi ini bukan perkara mudah. Keduanya, harus terus menerus menampakkan gestur sebagai "gubernur untuk semua warga Jakarta", tanpa henti.
"Meskipun kenyataan di lapangan, dari Survei Indikator mencatat sebanyak 79% masyarakat sudah mengakui dan menerima keputusan KPU. Tapi, ada pula yang beranggapan luka di dalam kontestasi politik tersebut terlalu dalam," kata Burhanuddin dalam Live Event "Kawal Anies-Sandi" di Metro TV, Senin, 16 Oktober 2017.
Bisa juga sebaliknya, dari survei post-election yang dilakukan pada 10-17 Mei 2017 telah memunculkan kesimpulan bahwa kepercayaan masyarakat DKI Jakarta terhadap Anies-Sandi cukup baik. Ini, bisa menjadi peluang dan jalan bagi keduanya menggemakan rekonsiliasi.
"Amanat moral dan konstitusional yang diemban adalah gubernur untuk semua. Bukan cuma untuk pemilih, bukan untuk sekelompok orang," kata Burhanuddin.
Baca: Anies-Sandi Diminta Melakukan Rekonsiliasi
Godaan 2019
Amanat rekonsiliasi, sudah barang tentu bukan tanggungjawab tunggal Anies-Sandi. Jalan tempuh ini, mesti disepakati bersama seluruh warga DKI Jakarta.
Ketidak-hadiran Djarot dalam serah terima jabatan (Sertijab), perlu pula menjadi catatan. Jika boleh menilai, ini satu kelemahan yang disumbang seiring pengabdian yang sudah ia berikan.
Belum lagi, tak butuh waktu lama masyarakat akan kembali memasuki tahun-tahun politik. Dari Pilkada Serentak pada 2018, disambung Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang tak kalah panas.
DKI Jakarta, tak ketinggalan. Ada banyak yang bilang, menjadi Gubernur di Ibu Kota bak menjabat RI tiga. Artinya, tinggal satu langkah lagi jika ingin menduduki kursi kepresidenan.
Dari pengalaman Presiden Joko Widodo, misalnya, tak mustahil jika Anies pun berhasrat menempuh nasib yang sejalan.
"Apalagi, elektabilitas Anies sebagai capres sudah muncul. Meskipun kecil," kata Burhanuddin.
Dari kesemua itu, maka, jalan rekonsiliasi, kian mendapatkan tantangannya kembali.
Beruntung, dalam pelantikan Anies-Sandi juga menampilkan pemandangan saling temu yang terlihat hangat. Presiden Jokowi, Jusuf Kalla, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tampak duduk bareng dan seakan begitu kompak berpesan, "Selamat mengabdi, Anies-Sandi!"
Alhasil, Jika di pengujung usianya, Bang Ali pernah mengeluh adanya de-Ali Sadikin-isasi oleh Tjokropranolo, yang tak lain gubernur pilihan Soeharto. Maka, di tangan Anies-Sandi hal itu tak elok terjadi. Keduanya, justru tetap perlu merawat prestasi kemimpinan lalu, ditambah sebabak terobosan baru sebagai bagian dari; rekonsiliasi dan jalan mengabdi.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/ybJMXgaN" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Een koppige vent, koppig. Tak ada lagi yang ditakuti seorang Ali Sadikin.
Istilah Belanda yang disitir Presiden Soekarno itu, memang terbukti. Selama bekas Menteri Koordinator Kompartemen Kemaritiman Indonesia tersebut menjabat Gubernur DKI Jakarta, diterjangnya segala hal yang dianggap penghalang.
Dikenal sebagai sosok kontroversial, bukan urusan. Yang dipikirkan Ali, cuma suksesnya pembangunan.
Usai mengabdikan diri selama sepuluh tahun lebih, Bang Ali, mau tidak mau harus menyerahkan tongkat estafet kepada gubernur berikutnya, Tjokropranolo.
Dan Sabtu, 18 Juni 1977 itu, rupanya menjadi awal hari yang berat bagi para pecinta Bang Ali. Atau barangkali, untuk sang pengganti sendiri. Mantan pengawal Jenderal Sudirman itu pun sadar, membandingi Bang Ali tak akan segampang membalikkan telapak tangan.
Di setiap peralihan kekuasaan, seorang pejabat memang dibebani dua hal. Harus mampu lebih baik dari sebelumnya, sekaligus bisa menorehkan terobosan baru agar tak terkesan hanya mengekor dan melanjutkan.
Soal ini, DKI Jakarta punya segudang cerita. Selain perpindahan dari Bang Ali ke Tjokropranolo, sejak kemarin, pekerjaan rumah (PR) serupa menanti pula Gubernur dan Wakil Gubernur Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno.
Pasalnya, baik Joko Widodo, Basuki 'Ahok' Tjahaja Purnama, maupun Djarot Saiful Hidayat, alias kinerja dan karya tiga penggawa dalam satu periode sebelumnya itu, memang sulit disepelekan.
Baca: Jakarta Butuh Pemimpin Tegas
Rekonsiliasi
Anies-Sandi memenangi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017. Sebuah pesta demokrasi daerah, yang tak cuma menghasilkan keputusan baik, namun juga menyisakan banyak koreksi yang penting dilakukan demi kedewasaan politik di Ibu Kota.
Polarisasi, salah satunya. Ia menjelma sebagai dampak paling awet, dan tak cukup mudah menyudahinya. Terkecuali, jika masing-masing dari siapa pun pihak yang pernah berseberangan lebih merelakan diri untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita Jakarta.
Kabar kurang baik tentang terkotak-kotaknya masyarakat Jakarta ini, bahkan masih terasa hingga sepekan lalu.
Pakar sains informatika sekaligus penemu peranti lunak
Drone Emprit Ismail Fahmi menangkap potensi polarisasi sisa pertarungan Pilgub DKI Jakarta 2017 itu melalui aktivitas di dunia maya.
Sampai seminggu sebelum Anies-Sandi dilantik, warganet masih terbagi menjadi dua kelompok. Ismail menyebutnya,
cluster kanan untuk pendukung gubernur dan wakil gubernur baru, dan kiri, sekelompok warganet yang dianggap belum sepenuhnya bisa beranjak dari kesan kepemimpinan Ahok-Djarot.
"Ada
top influencer yang hilang, ada yang baru muncul. Namun sebagian besar masih sama dengan pada masa kampanye yang lalu," tulis Ismail di laman
Facebooknya, Senin, 16 Oktober 2017.
Ismail menghimpun percakapan di media online dan media sosial dengan menggunakan beberapa kata kunci, yakni @aniesbaswedan, Anies, @sandiuno, Sandiaga Uno, Sandi.
Hasilnya, terkumpul 13 ribu sebutan
(mention) di media
online dan 80 ribu lebih percakapan di
Twitter.
Di antara kicauan itu, mereka yang menulis tentang janji bertema reklamasi sebanyak 31%, rumah DP 0% sebesar 4%, OK OCE sejumlah 3%, penutupan Alexis 2%, KJP Plus 1%, dan sejumlah janji lainnya hingga memunculkan angka 19%.
Obrolan tentang reklamasi, terwujud berupa dukungan agar pemimpin baru DKI Jakarta itu tetap menolak proyek yang sejak awal masa kampanye banyak menuai pro-kontra.
Sementara ihwal Rumah DP 0%, lebih diperankan sebagai senjata oleh kelompok sebaliknya.
"Polarisasi dan pencitraan berlebihan bisa menjadi ancaman bagi demokrasi di DKI Jakarta. Ini harus diperhatikan baik-baik," tulis Ismail.
Sementara pengamat politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, PR Anies-Sandi mengenai rekonsiliasi ini bukan perkara mudah. Keduanya, harus terus menerus menampakkan gestur sebagai "gubernur untuk semua warga Jakarta", tanpa henti.
"Meskipun kenyataan di lapangan, dari Survei Indikator mencatat sebanyak 79% masyarakat sudah mengakui dan menerima keputusan KPU. Tapi, ada pula yang beranggapan luka di dalam kontestasi politik tersebut terlalu dalam," kata Burhanuddin dalam
Live Event "Kawal Anies-Sandi" di
Metro TV, Senin, 16 Oktober 2017.
Bisa juga sebaliknya, dari survei
post-election yang dilakukan pada 10-17 Mei 2017 telah memunculkan kesimpulan bahwa kepercayaan masyarakat DKI Jakarta terhadap Anies-Sandi cukup baik. Ini, bisa menjadi peluang dan jalan bagi keduanya menggemakan rekonsiliasi.
"Amanat moral dan konstitusional yang diemban adalah gubernur untuk semua. Bukan cuma untuk pemilih, bukan untuk sekelompok orang," kata Burhanuddin.
Baca: Anies-Sandi Diminta Melakukan Rekonsiliasi
Godaan 2019
Amanat rekonsiliasi, sudah barang tentu bukan tanggungjawab tunggal Anies-Sandi. Jalan tempuh ini, mesti disepakati bersama seluruh warga DKI Jakarta.
Ketidak-hadiran Djarot dalam serah terima jabatan (Sertijab), perlu pula menjadi catatan. Jika boleh menilai, ini satu kelemahan yang disumbang seiring pengabdian yang sudah ia berikan.
Belum lagi, tak butuh waktu lama masyarakat akan kembali memasuki tahun-tahun politik. Dari Pilkada Serentak pada 2018, disambung Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang tak kalah panas.
DKI Jakarta, tak ketinggalan. Ada banyak yang bilang, menjadi Gubernur di Ibu Kota bak menjabat RI tiga. Artinya, tinggal satu langkah lagi jika ingin menduduki kursi kepresidenan.
Dari pengalaman Presiden Joko Widodo, misalnya, tak mustahil jika Anies pun berhasrat menempuh nasib yang sejalan.
"Apalagi, elektabilitas Anies sebagai capres sudah muncul. Meskipun kecil," kata Burhanuddin.
Dari kesemua itu, maka, jalan rekonsiliasi, kian mendapatkan tantangannya kembali.
Beruntung, dalam pelantikan Anies-Sandi juga menampilkan pemandangan saling temu yang terlihat hangat. Presiden Jokowi, Jusuf Kalla, dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto tampak duduk bareng dan seakan begitu kompak berpesan, "Selamat mengabdi, Anies-Sandi!"
Alhasil, Jika di pengujung usianya, Bang Ali pernah mengeluh adanya
de-Ali Sadikin-isasi oleh Tjokropranolo, yang tak lain gubernur pilihan Soeharto. Maka, di tangan Anies-Sandi hal itu tak elok terjadi. Keduanya, justru tetap perlu merawat prestasi kemimpinan lalu, ditambah sebabak terobosan baru sebagai bagian dari; rekonsiliasi dan jalan mengabdi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)