medcom.id, Jakarta: Aransemen bom yang diciptakan Dr Azhari mulai mengalun pada 12 Oktober 2002. Legian, Bali, berguncang. Sebanyak 202 orang meninggal. Sekitar 300 orang terluka dan sebagian besarnya cacat permanen. Hingga 15 tahun berselang, luka akibat bom itu masih terngiang, terutama bagi keluarga korban.
Tulisan ini hendak mengenang kembali peristiwa mengerikan yang kemudian dikenal dengan peristiwa Bom Bali I. Sudut pandang tulisan ini adalah sosok Dr Azhari. Bagaimana kiprahnya berada di balik setiap bom yang meluluhlantakkan sebagian tempat strategis di Indonesia. Mulai dari pertama kali diminta meracik bom, menebar teror, hingga akhirnya ditangkap pukul 15.45 WIB pada 9 November 2005 di Batu, Malang, Jawa Timur.
Bukan untuk membuka trauma. Setidaknya untuk mengingat kembali betapa sosok ‘gila’ macam Azhari sudah merusak harmoni di negeri ini.
Tulisan merujuk pada buku yang dirajut Komisaris Jenderal Arif Wachjunadi berjudul Misi Walet Hitam 09.11.05 – 15.45: Menguak Misteri Teroris Dr Azhari yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Arif saat ini menjabat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Ia melakukan riset selama dua tahun dengan melakukan perjalanan ke semua lokasi terkait dengan Bom Bali I. Puluhan saksi, baik pelaku maupun pemburu teroris, dia wawancarai. Termasuk petugas lapangan yang menjadi ujung tombak penangkapan Dr Azhari.
Baca: Sidik Jari Dr Azhari di Bom Bali (1)
Rangkaian tulisan dibagi menjadi tiga bagian besar, yakni sebelum peristiwa Bom Bali I terjadi. Mengapa mereka mengincar Bali dan kenapa harus memilih Legian. Berlanjut ke detik-detik pengeboman. Lalu, tulisan mengorek kiprah Dr Azhari dan bagaimana kepolisian mencoba mengorek profilnya.
Sebagai pamungkas, tulisan akan menguak cerita bagaimana pasukan khusus berhasil meringkus Azhari—buron yang nyawanya sempat dihargai miliaran rupiah.
Rentetan Teror
Imbas kerusuhan Mei 1998 masih terasa hingga memasuki milenium kedua. Kekacauan saat itu berimbas pada gangguan keamanan di seantero Indonesia. Pada 2000 hingga 2003 terorisme mulai menampakkan diri secara terbuka. Mereka menebar bom di sejumlah tempat. Rentetan ledakan bom terjadi di malam natal pada 2000, terutama di gereja-gereja di Pekanbaru, Batam, Jakarta, Medan, dan Mojokerto.
Selain terorisme, konflik komunal juga muncul di Sanggoledo, Kalimantan Barat; Sampit, Kalimantan Tengah; Poso, Sulawesi Tengah; dan Ambon, Maluku. Di saat bersamaan separatisme di Papua dan Aceh juga belum bisa diredam. Peristiwa bom Bali I pada 12 Oktober 2002 menjadi puncak di antara kekacauan itu.
Imbas dari ledakan bom Bali amat terasa bagi Dai Bachtiar yang menjabat sebagai kepala Polri saat itu. Beruntung Tim Investigasi yang dia bentuk bisa menangkap Amrozi kurang dari sebulan (29 hari) usai ledakan. Dari keberhasilan ini tercetus ide membentuk tim khusus menghadapi terorisme. Dai merasa perlu membentuk detasemen khusus antiteror. Alasannya, ke depan tugas penanganan terorisme semakin kompleks.
Ide Dai, detasemen antiteror terdiri dari empat pilar, yakni intelijen, analisis, serse, dan penindak. Polri mengandalkan Sat 1 Gegana Korps Brimob yang memang memiliki kemampuan melawan teror untuk menjadi anggota tim ini.
Sejumlah negara, khususnya AS, berkeberatan dengan rencana pelibatan Brimob. Alasannya, Brimob dituding banyak melakukan pelanggaran HAM di Papua, Aceh, dan Timor Timur.
Dai mencetuskan ide mengubah nama Brimob menjadi Polisi Istimewa, Mobrig, atau Pelopor. Hanya sedikit yang setuju. Sebagian besar menentang. Mereka beralasan mengganti Brimob sama halnya menghapus jejak sejarah. Ide itu kemudian mentah.
Meski begitu, pembentukan detasemen antiteror tetap dilakukan. Kapolri resmi membentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror pada 20 Juli 2003 berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Jenderal Dai Bachtiar No 30/VI/2003. Kebijakan ini sesuai UU No 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Angka 88 diartikan sebagai lambang penegakan hukum yang diambil dari gambar borgol (pengikat tangan dan kaki). Angka 88 juga bisa bermakna Anti Terorism Act (ATA) yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi ‘ei ti ekt’ atau 88. Detasemen ini kemudian dikenal dengan sebutan Densus 88 AT.
Banyak yang mempertanyakan angka 88 di belakang Densus. Ada yang menghubungkan angka itu dengan jumlah korban ledakan bom Bali dari Australia yang berjumlah sama. Ada juga yang menyangka angka itu meniru Den 81 Kopassus milik TNI Angkatan Darat. Tak sedikit yang mengkritik jika pembentukan Densus mubazir karena Indonesia sudah punya Den 81.
Baca: Menjadi Misteri setelah Ledakan Bom Bali (3)
Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Dai menyatakan pembentukan Densus 88 perlu saat ancaman terorisme semakin nyata. Faktanya, teror dalam kadar rendah hingga tinggi bisa terjadi di masyarakat. Dan tugas kepolisian menanganinya.
Dai menegaskan tugas Densus 88 AT menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Densus 88 AT diresmikan pada 26 Agustus 2004 oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Firman Gani. Brigjen Pranomo Dahlan dipercaya sebagai kepala pertama Densus 88. Pertengahan 2005 posisinya diganti Brigjen Bekto Suprapto.
Pada 18 Oktober 2005 logo Densus ditetapkan, yakni berupa lingkaran dengan garis luar hitam bertuliskan “Detasemen Khusus 88 Anti Teror”. Di bagian dalam garis terdapat warna merah marun berhias kepala burung hantu. Latar belakangnya dipilih warna kuning terang.
Istimewa
Di awal pembentukannya anggota Densus sebanyak 75 orang. Sebanyak 60 orang di antaranya adalah anggota Gegana (Walet Hitam) Korps Brimob Polri yang dibawa Gories Mere menangani bom Bali. Sisanya berasal dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) dan Bareskrim Polri. Dilibatkan pula anggota dari Akademi Kepolisian, polwan, dan siswa sekolah kekhususan Polri. Kini jumlah personel Densus mencapai 450 orang.
Kehadiran densus didukung banyak negara, terutama negara yang terlibat dalam mengungkap kasus bom Bali I. AS secara khusus mendukung Densus 88 melalui program Diplomatic Security Service/Anti Terorism Act (DSS/ATA).
Baca: Kapolri: Sialan Lu! (5)
Eks Kasat I Gegana Komjen (purn) Imam Sudjarwo mengatakan Densus dirintis bersamaan dengan dibentukan Crisis Response Team (CRT), yakni pasukan pemukul berjumlah 12 orang yang diambil dari Sat Gegana Brimob. Usai terungkapnya para pelaku bom Bali, Brimob langsung membentuk dua tim CRT. Pasukan ini yang menjadi embrio lahirnya Densus. Tim CRT ini dipersiapkan secara khusus melawan teror.
Pembentukan Densus 88 tak lepas dari kiprah Gories Mere dan 60 anak buahnya yang memburu tanpa henti para teroris. Berkat kerja tim Gories ini pula Dr. Azhari bisa dilumpuhkan. (Bersambung)
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/ObzJ8D9b" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Aransemen bom yang diciptakan Dr Azhari mulai mengalun pada 12 Oktober 2002. Legian, Bali, berguncang. Sebanyak 202 orang meninggal. Sekitar 300 orang terluka dan sebagian besarnya cacat permanen. Hingga 15 tahun berselang, luka akibat bom itu masih terngiang, terutama bagi keluarga korban.
Tulisan ini hendak mengenang kembali peristiwa mengerikan yang kemudian dikenal dengan peristiwa Bom Bali I. Sudut pandang tulisan ini adalah sosok Dr Azhari. Bagaimana kiprahnya berada di balik setiap bom yang meluluhlantakkan sebagian tempat strategis di Indonesia. Mulai dari pertama kali diminta meracik bom, menebar teror, hingga akhirnya ditangkap pukul 15.45 WIB pada 9 November 2005 di Batu, Malang, Jawa Timur.
Bukan untuk membuka trauma. Setidaknya untuk mengingat kembali betapa sosok ‘gila’ macam Azhari sudah merusak harmoni di negeri ini.
Tulisan merujuk pada buku yang dirajut Komisaris Jenderal Arif Wachjunadi berjudul
Misi Walet Hitam 09.11.05 – 15.45: Menguak Misteri Teroris Dr Azhari yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas. Arif saat ini menjabat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).
Ia melakukan riset selama dua tahun dengan melakukan perjalanan ke semua lokasi terkait dengan Bom Bali I. Puluhan saksi, baik pelaku maupun pemburu teroris, dia wawancarai. Termasuk petugas lapangan yang menjadi ujung tombak penangkapan Dr Azhari.
Baca: Sidik Jari Dr Azhari di Bom Bali (1)
Rangkaian tulisan dibagi menjadi tiga bagian besar, yakni sebelum peristiwa Bom Bali I terjadi. Mengapa mereka mengincar Bali dan kenapa harus memilih Legian. Berlanjut ke detik-detik pengeboman. Lalu, tulisan mengorek kiprah Dr Azhari dan bagaimana kepolisian mencoba mengorek profilnya.
Sebagai pamungkas, tulisan akan menguak cerita bagaimana pasukan khusus berhasil meringkus Azhari—buron yang nyawanya sempat dihargai miliaran rupiah.
Rentetan Teror
Imbas kerusuhan Mei 1998 masih terasa hingga memasuki milenium kedua. Kekacauan saat itu berimbas pada gangguan keamanan di seantero Indonesia. Pada 2000 hingga 2003 terorisme mulai menampakkan diri secara terbuka. Mereka menebar bom di sejumlah tempat. Rentetan ledakan bom terjadi di malam natal pada 2000, terutama di gereja-gereja di Pekanbaru, Batam, Jakarta, Medan, dan Mojokerto.
Selain terorisme, konflik komunal juga muncul di Sanggoledo, Kalimantan Barat; Sampit, Kalimantan Tengah; Poso, Sulawesi Tengah; dan Ambon, Maluku. Di saat bersamaan separatisme di Papua dan Aceh juga belum bisa diredam. Peristiwa bom Bali I pada 12 Oktober 2002 menjadi puncak di antara kekacauan itu.
Imbas dari ledakan bom Bali amat terasa bagi Dai Bachtiar yang menjabat sebagai kepala Polri saat itu. Beruntung Tim Investigasi yang dia bentuk bisa menangkap Amrozi kurang dari sebulan (29 hari) usai ledakan. Dari keberhasilan ini tercetus ide membentuk tim khusus menghadapi terorisme. Dai merasa perlu membentuk detasemen khusus antiteror. Alasannya, ke depan tugas penanganan terorisme semakin kompleks.
Ide Dai, detasemen antiteror terdiri dari empat pilar, yakni intelijen, analisis, serse, dan penindak. Polri mengandalkan Sat 1 Gegana Korps Brimob yang memang memiliki kemampuan melawan teror untuk menjadi anggota tim ini.
Sejumlah negara, khususnya AS, berkeberatan dengan rencana pelibatan Brimob. Alasannya, Brimob dituding banyak melakukan pelanggaran HAM di Papua, Aceh, dan Timor Timur.
.jpg)
Dai mencetuskan ide mengubah nama Brimob menjadi Polisi Istimewa, Mobrig, atau Pelopor. Hanya sedikit yang setuju. Sebagian besar menentang. Mereka beralasan mengganti Brimob sama halnya menghapus jejak sejarah. Ide itu kemudian mentah.
Meski begitu, pembentukan detasemen antiteror tetap dilakukan. Kapolri resmi membentuk Detasemen Khusus 88 Anti Teror pada 20 Juli 2003 berdasarkan Surat Keputusan Kapolri Jenderal Dai Bachtiar No 30/VI/2003. Kebijakan ini sesuai UU No 15 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Angka 88 diartikan sebagai lambang penegakan hukum yang diambil dari gambar borgol (pengikat tangan dan kaki). Angka 88 juga bisa bermakna Anti Terorism Act (ATA) yang jika dilafalkan dalam bahasa Inggris berbunyi ‘ei ti ekt’ atau 88. Detasemen ini kemudian dikenal dengan sebutan Densus 88 AT.
Banyak yang mempertanyakan angka 88 di belakang Densus. Ada yang menghubungkan angka itu dengan jumlah korban ledakan bom Bali dari Australia yang berjumlah sama. Ada juga yang menyangka angka itu meniru Den 81 Kopassus milik TNI Angkatan Darat. Tak sedikit yang mengkritik jika pembentukan Densus mubazir karena Indonesia sudah punya Den 81.
Baca: Menjadi Misteri setelah Ledakan Bom Bali (3)
Mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, Dai menyatakan pembentukan Densus 88 perlu saat ancaman terorisme semakin nyata. Faktanya, teror dalam kadar rendah hingga tinggi bisa terjadi di masyarakat. Dan tugas kepolisian menanganinya.
Dai menegaskan tugas Densus 88 AT menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, dan ketertiban masyarakat.
Densus 88 AT diresmikan pada 26 Agustus 2004 oleh Kapolda Metro Jaya Irjen Firman Gani. Brigjen Pranomo Dahlan dipercaya sebagai kepala pertama Densus 88. Pertengahan 2005 posisinya diganti Brigjen Bekto Suprapto.
Pada 18 Oktober 2005 logo Densus ditetapkan, yakni berupa lingkaran dengan garis luar hitam bertuliskan “Detasemen Khusus 88 Anti Teror”. Di bagian dalam garis terdapat warna merah marun berhias kepala burung hantu. Latar belakangnya dipilih warna kuning terang.
Istimewa
Di awal pembentukannya anggota Densus sebanyak 75 orang. Sebanyak 60 orang di antaranya adalah anggota Gegana (Walet Hitam) Korps Brimob Polri yang dibawa Gories Mere menangani bom Bali. Sisanya berasal dari Badan Intelijen Keamanan (Baintelkam) dan Bareskrim Polri. Dilibatkan pula anggota dari Akademi Kepolisian, polwan, dan siswa sekolah kekhususan Polri. Kini jumlah personel Densus mencapai 450 orang.
Kehadiran densus didukung banyak negara, terutama negara yang terlibat dalam mengungkap kasus bom Bali I. AS secara khusus mendukung Densus 88 melalui program Diplomatic Security Service/Anti Terorism Act (DSS/ATA).
Baca: Kapolri: Sialan Lu! (5)
Eks Kasat I Gegana Komjen (purn) Imam Sudjarwo mengatakan Densus dirintis bersamaan dengan dibentukan Crisis Response Team (CRT), yakni pasukan pemukul berjumlah 12 orang yang diambil dari Sat Gegana Brimob. Usai terungkapnya para pelaku bom Bali, Brimob langsung membentuk dua tim CRT. Pasukan ini yang menjadi embrio lahirnya Densus. Tim CRT ini dipersiapkan secara khusus melawan teror.
Pembentukan Densus 88 tak lepas dari kiprah Gories Mere dan 60 anak buahnya yang memburu tanpa henti para teroris. Berkat kerja tim Gories ini pula Dr. Azhari bisa dilumpuhkan. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)