Dia menerangkan adanya aksi penculikan serta penhilangan orang itu merupakan eskalasi politik sejak 1996. Mulanya, kata dia, ada perebutan kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) saat itu.
"Kemudian menghasilkan gerakan perlawan yang tidak hanya dalam spektrum dalam politik formal, dalam arti partai politik ya waktu itu. Itu kan, waktu itu problem internal PDI," tutur Rahardjo kepada Medcom.id, Sabtu, 20 Mei 2023.
Tapi kemudian, tutur Rahardjo, masalah itu meluas menjadi sentimen politik yang ikut menyeret masyarakat umum. Menurut dia, hal itu memberi gambaran politik pada tahun tersebut masyarakat menginginkan perubahan rezim.
"Benar rezim Soeharto sejak 65 berhasil membuat beberapa capaian pembangunan hingga ekonomi fisik. Dari antre beras makan bulgur, kemudian jadi sembako tercukupi, kemudian pendidikan kesehatan itu semua berjalan," jelas dia.
Namun, seiring tumbuhnya proses kesadaran politik di masyarakat dari kemajuan itu. Masyarakat dinilai butuh ruang untuk berdemokrasi.
"Nah ruang itu, ruang demokrasi itu tidak diberikan oleh Soeharto waktu itu, tapi justru direpresi," kata Rahardjo.
Baca: 25 Tahun Reformasi, Pemerintah Maunya Apa? |
Dari hasil itu, kata dia, menelurkan perlawanan. Dia menyebut PDI dengan kasus internalnya menjadi awal mula dari masyarakat yang menginginkan perubahan.
"Nah kalau berangkat dari sana, maka saya dan teman-teman itu sudah cukup awal bergerak menjadi oposisi semenjak jadi mahasiswa. Kami turun melakukan pengorganisasian ke petani, perburuhan, ke teman seniman, dan mahasiswa," papar dia.
Pihaknya, kata dia, membangun jejaring. Sehingga saat muncul momentum, bisa langsung bergabung dan terhubung karena sama-sama menginginkan perubahan.
"Tapi dalam proses itu, rezim orba memilih, kelompok mana selain PDI yang dianggap membahayakan dan punya pengaruh politik. Pengaruh politik kn tidak sekedar orang harus punya struktur. Kalau punya struktur, itu SPSI lebih punya struktur dari pada saya dan teman-teman di PRD (Partai Rakyat Dmeokratik)," beber dia.
Tapi, masyarakat saat itu membutuhkan pihak yang dianggap bisa melakukan perlawanan. Salah satunya PDI. Kemudian, kata dia, kebetulan saat itu gerakan sosial dari PRD yang bisa menjadi satu contoh represi oleh orba dengan menarik pada trauma politik yaitu peristiawa 65.
"Makanya PRD diidentikan neo-PKI dan lain-lain. Jadi sebenarnya masih gaya lama dari orba untuk memberikan stigma bagi lawan politiknya supaya orang tidak berani bergabung, karen ada pengalaman sejarah di mana peristiwa 65 itu menjadi trauma, pelanggaran HAM yag luar biasa," jelas dia.
Baca: Seharusnya 25 Tahun Reformasi Menjadi Pengingat |
Namun, kata dia, apa yang dibayangkan dalam operasi orba tidak terjadi. Malah, gelombang massa tak surut untuk melawan.
"Dan justru makin bergelombang di semua sektor, terutama di daerah-daerah urban," ungkap Rahardjo.
Dia menerangkan situasi kala itu pun ada keretakan di tubuh pemerintah. Karena, kata dia, adanya gerakan adanya gerakan sosial politik oposisi besar.
"Sehingga banyak operasi yang bisa dibilang beberapa, kemudian justru yang terjadi kompetisi di antara kesatuan," ujar dia.
Sehingga pada tahun itu banyak tim yang melakukan operasi penghilangan orang secara paksa. Salah satunya, ungkap dia, tim yang ada di Kopasus yakni tim Penanggulangan Teror (gultor).
"Itu sebenarnya tim itu sudah dibentuk lama, tim mawar. Ada beberapa tim, nah yang ngambil saya ini mawar yang kemudian terbongkar ke publik. Tapi ada beberapa tim yang sudah bekerja sebelumnya juga," ungkap Rahardjo.
Baca: 25 Tahun Reformasi, Penegakan Hukum Pelanggaran HAM Malah Mundur |
Dia menyebut selain dirinya, jauh sebelum itu sudah ada aktivis dari PDI, Yani Afri, yang hingga kini masih hilang. Bukan cuma itu, tapi ada pula aktivis dari PPP bernama Dedi Hamdun.
"Dia diambil Bersama Noval Alkatiri. Sebenarnya dia bukan aktivis siapa-siapa dalam arti politik, dia hanya kebetulan meminjamkan mobilnya, kemudian Dedi Hamdun diambil, semua yang ada di situ di dalam mobil diambil, ada Dedi Hamdum, Noval Alkatiri, dan satu sopir namanya Sony kalau tidak salah. Itu semua hilang, nggak balik," jelas dia.
Rahardjo menerangkan kejadian-kejadian itu terjadi sebelum dirinya ditangkap dan disekap. Cerita itu, kata dia, didapat dari cerita berantai rekan satu lokasi penyekapan.
"Dari situ kita tahu ada nama Yani Afri, Dedi Hamdun, dan sony di tempat penyekapan yang sama," kata dia.
Rahardjo mengungkap bahwa ada beragam tim dalam peristiwa penculikan dan penghilangan orang saat itu. Sementara dirinya menyebut ditangkap oleh tim Mawar.
"Enggak ngerti juga dimana (disekap), karena enggak ada rekonstruksi, karena timnya itu Kopasus, maka dianggap penyekapannya di markas Kopasus. Klo ditanya saya enggak ngerti karena enggak pernah rekontruksi," ungkap dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News