Jakarta: Reformasi di Indonesia menginjak usia 25 tahun pada 21 Mei 2023. Jelang seperempat dekade reformasi, publik dibuat kebingungan dengan sikap pemerintah era Joko Widodo terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah mengakui pelanggaran HAM berat masa lalu, namun tidak meminta maaf dan hanya menyampaikan penyesalan. Pernyataan itu dibuat Mahfud pada 2 Mei 2023.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf menilai Mahfud menunjukkan sisi parsial pemerintah di mana seharusnya bersikap imparsial, atau tak memihak dan mengedepankan kesetaraan. "Dan sikap setengah hati pemerintahan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," ujar Al Araf kepada Medcom.id, dikutip Sabtu, 20 Mei 2023.
Dia menakar pernyataan Mahfud yang menegaskan pemerintah tak mau minta maaf. Menurut Al Araf, hal itu sama saja tak mengakui dosa masa lalu.
"Sama saja pemerintah tidak mengakui bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut bukan sebagai sebuah kesalahan politik yang harus dikoreksi," ujar dia.
Al Araf menilai pernyataan Mahfud MD terkait pemerintah yang tak mau minta maaf namun hanya menyesalkan peristiwa masa lalu itu tak relevan. Sebab, layaknya penyesalan, harus ada penyelesaian.
Langkah penyelesaian, kata dia, harus dimulai dengan mengungkap kebenaran terkait. Dilanjutkan dengan pengakuan dan pemintaan maaf dari negara kepada korban dan proses penghakiman pelaku oleh lembaga yudisial.
"Misalnya dari 12 kasus yang telah diakui oleh pemerintah, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 bisa didorong untuk masuk ke proses yudisial," kata Al Araf.
Mengaku, langkah progresif pemerintah
Perspektif berbeda diungkap peneliti Formappi Lucius Karus. Menurut dia, pengakuan dari pemerintah terkait pelanggaran HAM berat merupakan langkah progresif.
Minimal, kata dia, pengakuan itu menjadi angin segar bagi masyarakat yang menuntut jalan keluar. Apalagi, sudah ada tim khusus yang dibentuk pemerintah mencarikan penyelesaian atas pelanggaran HAM berat.
"Nah Tim ini yang seharusnya memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait solusi yang bakal ditempuh untuk menyelesaikan persoalan HAM berat tersebut," kata Lucius.
Di sisi lain, dia melihat upaya pemerintah butuh dukungan dari lembaga legislatif. Lucius meminta DPR berpartisipasi dengan melakukan pengawasan sekaligus membantu mencarikan solusi atas kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Dia mengakui solusi penyelesaian atas pelanggaran HAM berat tak mudah. Apalagi jika tuntutannya harus menyenangkan berbagai pihak.
Kesulitan menjadi bertambah karena sebagian pelaku mungkin masih hidup dan berkuasa. "Jadi bukan hal mudah mendapatkan solusi ketika pada saat yang sama para pelaku atau penanggung jawab perbuatan yang melanggar HAM juga berupaya meluputkan diri," kata dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Jakarta: Reformasi di Indonesia menginjak usia 25 tahun pada 21 Mei 2023. Jelang seperempat dekade
reformasi, publik dibuat kebingungan dengan sikap pemerintah era Joko Widodo terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan pemerintah mengakui
pelanggaran HAM berat masa lalu, namun tidak meminta maaf dan hanya menyampaikan penyesalan. Pernyataan itu dibuat Mahfud pada 2 Mei 2023.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf menilai Mahfud menunjukkan sisi parsial pemerintah di mana seharusnya bersikap imparsial, atau tak memihak dan mengedepankan kesetaraan. "Dan sikap setengah hati pemerintahan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu," ujar Al Araf kepada
Medcom.id, dikutip Sabtu, 20 Mei 2023.
Dia menakar pernyataan
Mahfud yang menegaskan pemerintah tak mau minta maaf. Menurut Al Araf, hal itu sama saja tak mengakui dosa masa lalu.
"Sama saja pemerintah tidak mengakui bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut bukan sebagai sebuah kesalahan politik yang harus dikoreksi," ujar dia.
Al Araf menilai pernyataan Mahfud MD terkait pemerintah yang tak mau minta maaf namun hanya menyesalkan peristiwa masa lalu itu tak relevan. Sebab, layaknya penyesalan, harus ada penyelesaian.
Langkah penyelesaian, kata dia, harus dimulai dengan mengungkap kebenaran terkait. Dilanjutkan dengan pengakuan dan pemintaan maaf dari negara kepada korban dan proses penghakiman pelaku oleh lembaga yudisial.
"Misalnya dari 12 kasus yang telah diakui oleh pemerintah, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997/1998 bisa didorong untuk masuk ke proses yudisial," kata Al Araf.
Mengaku, langkah progresif pemerintah
Perspektif berbeda diungkap peneliti Formappi Lucius Karus. Menurut dia, pengakuan dari pemerintah terkait pelanggaran HAM berat merupakan langkah progresif.
Minimal, kata dia, pengakuan itu menjadi angin segar bagi masyarakat yang menuntut jalan keluar. Apalagi, sudah ada tim khusus yang dibentuk pemerintah mencarikan penyelesaian atas pelanggaran HAM berat.
"Nah Tim ini yang seharusnya memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait solusi yang bakal ditempuh untuk menyelesaikan persoalan HAM berat tersebut," kata Lucius.
Di sisi lain, dia melihat upaya pemerintah butuh dukungan dari lembaga legislatif. Lucius meminta DPR berpartisipasi dengan melakukan pengawasan sekaligus membantu mencarikan solusi atas kasus pelanggaran HAM berat tersebut.
Dia mengakui solusi penyelesaian atas pelanggaran HAM berat tak mudah. Apalagi jika tuntutannya harus menyenangkan berbagai pihak.
Kesulitan menjadi bertambah karena sebagian pelaku mungkin masih hidup dan berkuasa. "Jadi bukan hal mudah mendapatkan solusi ketika pada saat yang sama para pelaku atau penanggung jawab perbuatan yang melanggar HAM juga berupaya meluputkan diri," kata dia.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)