"Ibaratnya kita mau mempersoalkan menangkap tikus tapi kita harus membakar rumahnya, itu kan terlalu berlebihan kalau itu terjadi," kata tokoh pers Suryopratomo atau Tommy dalam program Crosscheck by Medcom.id bertajuk 'Beres-Beres Bungkam Pers, Siasat Senyap di Akhir Kekuasaan?' di akun YouTube Medcom.id, Minggu sore, 19 Mei 2024.
Tommy mengatakan pada situasi mestinya membangun dan menata fungsi pers. Yakni, sebagai alat edukasi dan pemberi informasi yang berkualitas.
"Karena hal seperti itu harusnya kita perbaiki saja tidak perlu kemudian sekali lagi kita melebar kemana-mana sehingga kemudian out of context," ucap Tommy.
Baca juga: Daripada Revisi UU Penyiaran, Insan Pers Diajak Menerapkan Kaidah Jurnalistik |
Dubes RI untuk Singapura itu menilai persoalan yang dinilai DPR sehingga memerlukan revisi UU tentang Penyiaran, mestinya dibicarakan pada forum untuk merumuskan bersama. Sebab, Tommy menegaskan, tidak semua persoalan tidak harus diselesaikan dengan mengubah aturan perundang-undangan.
"Saya katakan analoginya, apakah mobil mogok ini karena kurang bensin ataukah karena sebetulnya akinya sudah batrenya sudah soak, atau starternya rusak atau apa yang harus diperbaiki. Tidak semua kemudian persoalannya adalah mengisi bensin, tidak semua persoalan itu kemudian diselesaikan dengan undang-undang," tegas Tommy.
Draf revisi UU tentang Penyiaran menuai kontroversi. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c):
“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:...(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News