Ilustrasi--Antara/Feny Selly
Ilustrasi--Antara/Feny Selly

FOKUS

Ironi Perjalanan Suci

Sobih AW Adnan • 28 April 2017 21:46
medcom.id, Jakarta: Man istathaa ilaihi sabila. Haji, menjadi satu-satunya perkara wajib yang lekat dengan kelonggaran; bagi yang mampu. 
 
Istita'ah alias kemampuan itu, mencakup fisik dan finansial. Tapi, kesanggupan memiliki ongkos ke Mekkah, Arab Saudi, tampaknya jadi pertimbangan utama bagi muslim di Indonesia. 
 
Tak cuma haji, begitu pun umrah. Untuk bisa menunaikan ibadah yang satu ini, jemaah mesti mengantongi sekurang-kurangnya Rp19 juta sebagai biaya ke Tanah Suci. Uang sejumlah itu pun, tak sampai menyentuh fasilitas berlebih. Alokasinya hanya cukup untuk tiket penerbangan, hotel, transportasi selama di lokasi, dan makan dengan kelas standar.  

Belakangan hari, hitung-hitungan ongkos diduga jadi pemicu kegaduhan antar-penyedia layanan jasa umrah dan haji. First Travel, salah satu di antara mereka, berani membanting banderol cukup Rp14,3 juta per orang. 
 
Geger First Travel dimulai ketika ratusan calon jemaah protes lantaran tak juga mendapat kabar keberangkatan yang jelas. Mereka yang mestinya bisa berhaji kecil pada akhir 2015 itu, masih banyak yang terkatung-katung hingga hari ini.
 
Dalih sementara, perusahaan jasa yang berkantor pusat di Jakarta Selatan ini mengalami hambatan dalam proses penerbitan visa jemaah. Bahkan, isu yang beredar, pengurusan visa jemaah First Travel diganjal empat asosiasi penyedia layanan umrah dan haji. Penyebabnya? Ya, karena First Travel dianggap telah merusak harga di pasaran.
 
Baca: Cerita Konsumen First Travel yang tak Kunjung Berangkat Umrah
 
Benar tidaknya, biar waktu yang menjawab. Tapi, kentalnya aroma persaingan bisnis dalam perjalanan suci, ini yang ironi. Betapa niat tulus dan pengorbanan jemaah demi mewujudkan perjalanan ibadah, seringkali paling merasakan imbas.
 
Ironi Perjalanan Suci
Suasana kantor First Travel saat pembayaran biaya tambahan, Jumat 21 April 2017. Foto-foto: Metrotvnews.com/Arga Sumantri
 
Mendulang uang dari ibadah
 
Ada yang berseloroh, tinggal syahadat saja; satu dari rukun Islam yang masih belum bisa dibisniskan. Mudah, cepat, dan tak kenal musim, menjadikan usaha dalam proses pelayanan ibadah menjadi mulus dengan untung yang sangat menggiurkan.
 
Tidak cuma itu, bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, tak jarang menjadikan dalih spiritual sebagai senjata dalam menutupi kinerja pelayanannya yang buruk. Terutama, penggunaan term ikhlas. 
 
Khusus dalam ibadah haji dan umrah, protes atau komplain jemaah terhadap pelayanan -terkecuali karena kesal tak lekas berangkat- amat jarang ditemukan. Sebab, sudah sangat mentradisi, di sepanjang prosesnya mereka dibayang-bayangi mitos tentang rusaknya nilai ibadah ketika berani mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya kurang sreg. Komplain, oleh kebanyakan orang Indonesia, masih dimaknai sebagai keluhan yang mengakibatkan anjloknya nilai keikhlasan dalam beribadah.
 
Intelektual muslim, Luthfi Assyaukanie dalam Islam Benar versus Islam Salah (2007) mengatakan, sikap fatalistik semacam itu, menjadikan manajemen haji dan umrah di Indonesia kian tak beres. Ya, karena tak ada dorongan dan kepentingan bergerak ke arah pelayanan yang lebih baik.
 
"Soal ikhlas memang jadi ironi. Di satu sisi, jemaah menginginkan servis yang baik, tapi di sisi lain, jika ada musibah (yang umumnya akibat kelalaian manusia), mereka cepat-cepat menganggapnya 'sebagian dari ujian' yang 'harus kita terima dengan ikhlas," tulis Luthfi dalam bab berjudul Perlunya Merombak Teologi Haji.
 
Jatuhnya, nyaris tak ada evaluasi mendalam terhadap kinerja pelayanan. Toh, konsumen yang menerima satu dua kali ketidak-cocokan pun akan diam. Sebab, ada kepercayaan -dan mungkin terus digaungkan-, yang sudah terjadi di Tanah Suci tak perlu diungkit-ungkit lagi sebab bisa menggugurkan pahala yang sudah diraih.
 
Barangkali, praktik-praktik semacam ini masuk dalam kategori komersialisasi agama. Dalam esai bertajuk Tragedi Komersialisasi Agama (2007), peneliti Center for Pesantren and Democracy Studies (CePDeS) Jakarta, Muhammadun AS menyebutkan ada dua faktor yang menjadi sebab merebaknya hal yang ia sebut sebagai 'tragedi' itu.
 
Pertama, masih terjebaknya sebagian muslim Indonesia dalam keberagamaan bersudut pandang formalistik. Dan yang kedua, ranah ibadah yang telah dijadikan komoditas kapitalistik.
 
"Penting bagi kita untuk menghadirkan kembali makna substantif agama dan meluruskan kembali makna dan nilai spiritual," tulis Muhammadun.
 
Maka, bagi publik, memisahkan unsur ibadah murni dengan hal-hal yang bersifat pendukung perlu dijadikan pakem dalam membangun kesadaran umat muslim di Indonesia. 
 
Dan, tak usah ragu, pengawasan terhadap pelayanan haji dan umrah harus ditingkatkan. Termasuk bagi Kementerian Agama (Kemenag) sendiri sebagai keterwakilan pemerintah, menekan kesan komersialisasi dalam pelayanan dua ibadah itu bisa dilakukan dengan proses yang terang dan gamblang. Contoh saja, porsi keberangkatan, apalagi, desas-desus ke mana saja mengalirnya Dana Abadi Umat (DAU).
 
Apalagi, gesekan persaingan bisnis yang seolah tanpa memikirkan dampak bagi calon jemaah itu, sudah barang tentu harus disudahi. Dalam kasus First Travel, jika bisa lebih murah, kenapa tidak? Namun jika ada faktor lain, prinsipnya, asal ada kepastian dan terbuka.
 
Ingat lho... Ini perjalanan ibadah. Ndak bagus ada dusta. Mesti suci sejak dari pikiran; apalagi hendak mengantarkan orang bersimpuh di Rumah Tuhan.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan