medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo meminta pemerintah dan DPR segera mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembahasan beleid ini kembali mengemuka setelah bom meledak di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu malam 24 Mei 2017.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan tak mudah menyelesaikan RUU Antiterorisme. Apalagi pembahasan RUU ini sudah dilakukan sejak setahun lalu dan mandek hingga kini. Seharusnya, aturan ini rampung pada April lalu.
"UU ini kan bukan seperti membuat kerajinan tangan. Butuh pengkajian yang dalam," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 26 Mei 2017.
Saat ini, kata Fadli, masukan dari sejumlah pihak sedang dikaji. Antara pemerintah dan DPR pun, kata dia, terus mencari titik temu untuk sejumlah pasal. "Hanya, hingga kini belum menemukan titik simpulan."
Politikus Partai Gerindra ini berharap UU ini tak disalahgunakan. "Kita tak mau UU ini dipakai sebagai alat politik. Alat kekuasaan untuk menangkap orang seenaknya," kata dia.
Baca: Jokowi Meminta Revisi UU Anti Terorisme Segera Diselesaikan
Presiden Joko Widodo meminta pemerintah dan DPR segera menyelesaikan RUU Antiterorisme. Presiden membahasnya usai mengunjungi tempat kejadian perkara (TKP) bom Kampung Melayu sekita pukul 21.45 WIB, Kamis 25 Mei.
"Saya perintahkan Menkopolhukam segera menyelesaikan UU Antiterorisme agar aparat hukum mempunyai landasan kuat untuk bertindak, utamanya dalam mencegah," kata Jokowi, di Terminal Kampung Melayu.
Ia juga membandingkan dengan negara lain yang sudah memiliki regulasi terkait antiteroris. Negara-negara yang telah memiliki regulasi antiteroris dianggap mampu mencegah lebih cepat.
"Terorisme sudah menjadi masalah semua negara, masalah dunia. Dan kalau kita melihat negara-negara yang lain memiliki UU dan memiliki regulasi yang memudahkan aparat untuk menyeselesaikan sebelumnya. Artinya pencegahan," tegas dia.
Sejak Februari lalu pembahasan RUU Antiterorisme belum mencapai 20 pasal dari total 118 daftar inventarisasi masalah (DIM).
Pasal-pasal yang masih diperdebatkan antara lain Pasal 46A mengenai sanksi pencabutan kewarganegaraan yang terlibat terorisme. Lalu Pasal 43B mengenai pelibatan TNI.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/5b2jA22b" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Presiden Joko Widodo meminta pemerintah dan DPR segera mengesahkan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembahasan beleid ini kembali mengemuka setelah bom meledak di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu malam 24 Mei 2017.
Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mengatakan tak mudah menyelesaikan RUU Antiterorisme. Apalagi pembahasan RUU ini sudah dilakukan sejak setahun lalu dan mandek hingga kini. Seharusnya, aturan ini rampung pada April lalu.
"UU ini kan bukan seperti membuat kerajinan tangan. Butuh pengkajian yang dalam," ujar Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat 26 Mei 2017.
Saat ini, kata Fadli, masukan dari sejumlah pihak sedang dikaji. Antara pemerintah dan DPR pun, kata dia, terus mencari titik temu untuk sejumlah pasal. "Hanya, hingga kini belum menemukan titik simpulan."
Politikus Partai Gerindra ini berharap UU ini tak disalahgunakan. "Kita tak mau UU ini dipakai sebagai alat politik. Alat kekuasaan untuk menangkap orang seenaknya," kata dia.
Baca: Jokowi Meminta Revisi UU Anti Terorisme Segera Diselesaikan
Presiden Joko Widodo meminta pemerintah dan DPR segera menyelesaikan RUU Antiterorisme. Presiden membahasnya usai mengunjungi tempat kejadian perkara (TKP) bom Kampung Melayu sekita pukul 21.45 WIB, Kamis 25 Mei.
"Saya perintahkan Menkopolhukam segera menyelesaikan UU Antiterorisme agar aparat hukum mempunyai landasan kuat untuk bertindak, utamanya dalam mencegah," kata Jokowi, di Terminal Kampung Melayu.
Ia juga membandingkan dengan negara lain yang sudah memiliki regulasi terkait antiteroris. Negara-negara yang telah memiliki regulasi antiteroris dianggap mampu mencegah lebih cepat.
"Terorisme sudah menjadi masalah semua negara, masalah dunia. Dan kalau kita melihat negara-negara yang lain memiliki UU dan memiliki regulasi yang memudahkan aparat untuk menyeselesaikan sebelumnya. Artinya pencegahan," tegas dia.
Sejak Februari lalu pembahasan RUU Antiterorisme belum mencapai 20 pasal dari total 118 daftar inventarisasi masalah (DIM).
Pasal-pasal yang masih diperdebatkan antara lain Pasal 46A mengenai sanksi pencabutan kewarganegaraan yang terlibat terorisme. Lalu Pasal 43B mengenai pelibatan TNI.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)