Politikus Golkar Hetifah Sjaifudian/Istimewa
Politikus Golkar Hetifah Sjaifudian/Istimewa

Kekerasan hingga Bullying jadi Tantangan Perempuan Indonesia

Kautsar Widya Prabowo • 27 Agustus 2024 18:31
Jakarta: Perilaku kekerasan, intoleransi, hingga bullying terhadap perempuan, mesti ditanggapi serius. Hal tersebut menjadi tantangan terbesar, di tengah upaya bersama memastikan kesetaraan gender.
 
Politikus Golkar Hetifah Sjaifudian, mencontohkan tantangan di bidang pendidikan. Selain ketiga hal di atas, ada pula pola pikir konservatif dan kesenjangan upah, yang menghambat perempuan menempati posisi puncak. 
 
“Hal ini dibuktikan dengan  Indeks ketimpangan Gender Indonesia yang berada di peringkat 110 dari 170 negara, merujuk data UNDP 2023," kata Ketua X DPR itu dalam keterangan yang dikutip Selasa, 27 Agustus 2024.

Hal tersebut diungkap Hetifah dalam bimbingan teknis kolaborasi antara Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek RI dan DPP Pengajian Al-Hidayah. Dia mengakui angka paritisipasi perempuan di segala lini cukup tinggi, merujuk pada data terkait. Namun, Hetifah mengingatkan ada hal yang tak bisa dipungkiri, yakni penyerapan tenaga kerja dari kalangan perempuan yang lebih rendah dari laki-laki.
 
"Hal ini dicontohkan dengan tingginya mahasiswa di bidang STEM namun ketika memasuki dunia kerja, 50% perempuan kurang tertarik di bidang STEM karena kuatnya sentiment dominasi laki-laki," ungkap Hetifah.
 
Baca: Jamin Pembangunan Berkelanjutan, Peningkatan Kompetensi Perempuan Dibutuhkan

Di sisi lain, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek RI Anindito Aditomo menyebut angka partisipasi perempuan di bidang pendidikan lebih tinggi dari laki-laki. Hal tersebut ditegaskan dalam Kurikulum Merdeka.
 
Menurut Anindito, sudah ada indikator kurikulum, apakah guru memiliki kesadaran akan kesetaraan gender. Jika guru-guru memiliki pemahaman ini, kata dia, maka skor penilaian guru akan meningkat. 
 
Pemerhati pendidikan Najelaa Shihab menyoroti bahwa kurangnya guru laki-laki di kelas rendah dan lebih banyak guru perempuan. Hal ini dapat menyebabkan pengajaran di kelas yang lebih feminism. Namun, Najelaa mengapresiasi Kemendikbudristek yang telah memperbaiki buku-buku pelajaran di sekolah yang lebih sensitif gender.
 
“Saat ini kita sudah tidak bicara lagi APM, kita harus naik level, bagaimana pemenuhan hak agar lebih setara, bagaimana perempuan dapat berdaya tanpa mengorbankan peran lainnya,” terang Najeela. 
 
Fasli Jalal, Rektor Universitas Yarsi, menyarankan perlunya evaluasi terhadap kebijakan berkeadilan gender; penyediaan data terpilah untuk mendukung kebijakan gender dan kebijakan berkeadilan gender; dan mendukung perubahan di tingkat sekolah dalam bentuk kebijakan, fasilitas, dan praktek pembelajaran di ruang kelas agar lebih gender-responsif, aman, dan mendukung lingkungan pembelajaran.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan