Jakarta: Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Daniel Murdiyarso, mengatakan visi Indonesia Emas 2045 bisa terwujud jika bertumpu pada produk hasil sains dan pengetahuan. Dia menyebut sains Indonesia membutuhkan sebuah desain ekosistem yang memungkinkan proses produksi pengetahuan tersebut.
Hal itu disampaikan Daniel dalam acara “Media Briefing: Navigasi Inovasi: Membahas Peta Jalan Sains menuju Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan The Conversation Indonesia.
“Komitmen pemerintah dalam membangun ekosistem sains sangat penting dalam pengembangan sains di Indonesia. Tanpa ada dorongan pemerintah, akan sulit membangun ekosistem riset dan inovasi yang bisa mengatasi berbagai persoalan. Akan semakin sulit jika tidak ada desain pendanaan riset yang berkelanjutan,” kata Daniel dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Mei 2024.
Sekretaris Jenderal AIPI yang juga anggota Tim Koordinasi Penyusunan Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Chairil Abdini, menyoroti peran pemerintah dalam pengembangan ekosistem sains dan riset. Dia mengatakan peran pemerintah dalam ekosistem riset ada pada konteks aturan dan regulasi.
"Tidak akan ada perubahan tanpa leadership, sehingga kita butuh pemimpin yang betul-betul paham pentingnya sains dalam menuju visi Indonesia Emas 2045. Di tingkat implementasi, setiap
aktor dalam ekosistem harus menjalankan perannya,” tutur Chairil.
Ilmuwan juga memberikan informasi dan pendidikan publik terkait rekomendasi pembenahan sistem riset, sains dan teknologi di Indonesia. Hal itu tertuang dalam seri artikel special features “Progress and Promise for Science in Indonesia” yang terbit pada April 2024 dalam salah satu jurnal ilmiah terbaik dunia Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).
Dalam seri artikel tersebut terdapat empat artikel riset terkait perencanaan konservasi terumbu karang, perhitungan emisi gas rumah kaca di lahan gambut dan bakau, keseimbangan fungsi ekonomis dan ekologis perkebunan sawit, dan dampak kebakaran dan prospek pemulihan ekosistem gambut tropis.
Artikel kelima merefleksikan peran sains dalam masa depan Indonesia. Editor tamu yang mengkurasi seri artikel tersebut, Sangkot Marzuki, menyoroti mundurnya sains Indonesia dibandingkan dengan masa Hindia Belanda.
Dia menyebut Indonesia pernah menjadi pusat berbagai penelitian global. Sangkot menekankan pentingnya penelitian sains dasar (basic science) di setiap penelitian ilmiah yang dilakukan.
“Kunci untuk meningkatkan basic science ini ada di perguruan tinggi. Banyak hambatan justru terjadi di tingkat perguruan tinggi dan susah sekali untuk mengubahnya di Indonesia. Sebab, perguruan tinggi di Indonesia adalah perpanjangan tangan dari pemerintah,” ujar Sangkot.
Anggota Kehormatan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Inaya Rakhmani, menyebut keberadaan sains dasar krusial. Hal itu untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masa depan.
“Mengimplementasikan basic science ke sains terapan akan lebih mudah untuk mendukung perubahan ke kebutuhan industri, tapi sayangnya di Indonesia belum banyak dukungan investasi untuk inisiatif ini,” ungkap dia.
Jakarta: Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Daniel Murdiyarso, mengatakan visi
Indonesia Emas 2045 bisa terwujud jika bertumpu pada produk hasil sains dan pengetahuan. Dia menyebut sains Indonesia membutuhkan sebuah desain ekosistem yang memungkinkan proses produksi pengetahuan tersebut.
Hal itu disampaikan Daniel dalam acara “Media Briefing: Navigasi Inovasi: Membahas Peta Jalan Sains menuju Indonesia Emas 2045” yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan The Conversation Indonesia.
“Komitmen pemerintah dalam membangun ekosistem sains sangat penting dalam pengembangan sains di Indonesia. Tanpa ada dorongan pemerintah, akan sulit membangun ekosistem riset dan inovasi yang bisa mengatasi berbagai persoalan. Akan semakin sulit jika tidak ada desain pendanaan riset yang berkelanjutan,” kata Daniel dalam keterangan tertulis, Selasa, 21 Mei 2024.
Sekretaris Jenderal AIPI yang juga anggota Tim Koordinasi Penyusunan Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Chairil Abdini, menyoroti peran pemerintah dalam pengembangan ekosistem sains dan riset. Dia mengatakan peran pemerintah dalam ekosistem riset ada pada konteks aturan dan regulasi.
"Tidak akan ada perubahan tanpa
leadership, sehingga kita butuh pemimpin yang betul-betul paham pentingnya sains dalam menuju visi Indonesia Emas 2045. Di tingkat implementasi, setiap
aktor dalam ekosistem harus menjalankan perannya,” tutur Chairil.
Ilmuwan juga memberikan informasi dan pendidikan publik terkait rekomendasi pembenahan sistem riset, sains dan teknologi di Indonesia. Hal itu tertuang dalam seri artikel special features “Progress and Promise for Science in Indonesia” yang terbit pada April 2024 dalam salah satu jurnal ilmiah terbaik dunia Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS).
Dalam seri artikel tersebut terdapat empat artikel riset terkait perencanaan konservasi terumbu karang, perhitungan emisi gas rumah kaca di lahan gambut dan bakau, keseimbangan fungsi ekonomis dan ekologis perkebunan sawit, dan dampak kebakaran dan prospek pemulihan ekosistem gambut tropis.
Artikel kelima merefleksikan peran sains dalam masa depan Indonesia. Editor tamu yang mengkurasi seri artikel tersebut, Sangkot Marzuki, menyoroti mundurnya sains Indonesia dibandingkan dengan masa Hindia Belanda.
Dia menyebut Indonesia pernah menjadi pusat berbagai penelitian global. Sangkot menekankan pentingnya penelitian sains dasar (
basic science) di setiap penelitian ilmiah yang dilakukan.
“Kunci untuk meningkatkan basic science ini ada di perguruan tinggi. Banyak hambatan justru terjadi di tingkat perguruan tinggi dan susah sekali untuk mengubahnya di Indonesia. Sebab, perguruan tinggi di Indonesia adalah perpanjangan tangan dari pemerintah,” ujar Sangkot.
Anggota Kehormatan Akademi
Ilmuwan Muda Indonesia, Inaya Rakhmani, menyebut keberadaan sains dasar krusial. Hal itu untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masa depan.
“Mengimplementasikan
basic science ke sains terapan akan lebih mudah untuk mendukung perubahan ke kebutuhan industri, tapi sayangnya di Indonesia belum banyak dukungan investasi untuk inisiatif ini,” ungkap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)