Jakarta: Majelis Masyayikh merumuskan dokumen standar mutu pendidikan nonformal pesantren. Kegiatan ini turut mengundang Dewan Masyayikh Ponpes dari hampir seluruh wilayah Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag) dan para akademisi.
Perumusan ini dilakukan dalam kegiatan Workshop Review Draf 2 tentang Standar Mutu pendidikan Nonformal Pesantren di Ancol, Jakarta. Kegiatan dilakukan selama tiga hari sejak Selasa, 2 Juli 2024.
"Pendidikan nonformal pesantren ini menjadi ruh (yang mendasari) pendidikan pesantren di kemudian hari dan ini menjadi kewajiban kita semua (untuk mewujudkannya)," kata Ketua Majelis Masyayikh Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin), Rabu, 3 Juli 2024.
Ia mengungkapkan para undangan diminta untuk menanggapi dan mereview dokumen yang telah disusun. Dokumen standar mutu pendidikan nonformal pesantren ini bertujuan agar lulusan pesantren yang menempuh pendidikan atau yang biasa dikenal dengan pengkajian kitab kuning, dapat diakui negara dan mendapatkan hak-hak sipilnya sebagaimana lulusan pendidikan lain.
"Ijazah atau syahadah pendidikan nonformal pesantren juga dapat diakui negara," ungkap dia.
Gus Rozin menegaskan upaya penyusunan dokumen ini bukan untuk menyeragamkan pendidikan pesantren. Melainkan, untuk melindungi kemandirian dan kekhasan pesantren, serta mewakili berbagai jenis pendidikan nonformal pesantren yang ada di seluruh Indonesia.
"(Lulusan pendidikan pondok pesantren nonformal) ada yang tasawuf saja, ada yang lughoh saja, ada yang hadis saja. Ini semua model pesantren harus dilindungi, sehingga lulusannya itu diakui oleh negara dan kemudian mendapatkan hak-hak sipilnya," jelasnya.
Selain itu, Gus Rozin menyampaikan bahwa dokumen yang dihasilkan dari diskusi-diskusi Majelis Masyayikh ini mendasarkan pada aspek keterbacaan dan keterpakaian. Dokumen itu sebaiknya gampang dibaca, dipahami, dan bukan yang memerlukan tafsir mendalam.
"Keterbacaan itu menjadi penting sehingga segala macam pesantren itu bisa membaca dan memahami dengan mudah. Tetapi itu saja tidak cukup, tentu dokumen ini bisa dipakai atau tidak (doable). Jangan-jangan dokumen yang kita bikin ini terbaca tetapi tidak terpakai. Ini menjadi prinsip yang penting ketika melakukan reviu," papar Gus Rozin.
Anggota Majelis Masyayikh bidang Divisi Kurikulum dan Pembelajaran Abdul Ghofur Maimoen atau Gus Ghofur menyatakan dokumen pendidikan nonformal pesantren ini jadi yang paling lama disusun karena tidak ada contoh sebelumnya. Sehingga, menjadi dokumen penting yang akan disahkan.
Dokumen ini nantinya meliputi kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren, kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren. Selain itu, memuat soal kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
"Karena ini belum ada contohnya, kalau Ma’had Aly sudah ada asosiasinya, sehingga penulisan tinggal kita serahkan kepada asosiasi, begitu juga Muadalah Salafiyyah dan Muallimin. Tetapi pendidikan nonformal itu belum ada pengakuannya dan belum ada drafnya, makanya diskusinya paling lama," ujar Gus Ghofur.
Dokumen ini rencananya diselesaikan pada September 2024. Gus Ghofur berharap dokumen ini bisa segera dilakukan uji publik dan finalisasi.
"Kemudian siap diluncurkan dan bisa diaplikasikan dengan baik pada bulan September," ucap Gus Ghofur.
Jakarta: Majelis Masyayikh merumuskan dokumen standar mutu pendidikan nonformal pesantren. Kegiatan ini turut mengundang Dewan Masyayikh
Ponpes dari hampir seluruh wilayah Indonesia, Kementerian Agama (Kemenag) dan para akademisi.
Perumusan ini dilakukan dalam kegiatan Workshop Review Draf 2 tentang Standar Mutu pendidikan Nonformal Pesantren di Ancol, Jakarta. Kegiatan dilakukan selama tiga hari sejak Selasa, 2 Juli 2024.
"Pendidikan nonformal pesantren ini menjadi ruh (yang mendasari) pendidikan pesantren di kemudian hari dan ini menjadi kewajiban kita semua (untuk mewujudkannya)," kata Ketua Majelis Masyayikh Abdul Ghaffar Rozin (Gus Rozin), Rabu, 3 Juli 2024.
Ia mengungkapkan para undangan diminta untuk menanggapi dan mereview dokumen yang telah disusun. Dokumen standar mutu pendidikan nonformal
pesantren ini bertujuan agar lulusan pesantren yang menempuh pendidikan atau yang biasa dikenal dengan pengkajian kitab kuning, dapat diakui negara dan mendapatkan hak-hak sipilnya sebagaimana lulusan pendidikan lain.
"Ijazah atau
syahadah pendidikan nonformal pesantren juga dapat diakui negara," ungkap dia.
Gus Rozin menegaskan upaya penyusunan dokumen ini bukan untuk menyeragamkan pendidikan pesantren. Melainkan, untuk melindungi kemandirian dan kekhasan pesantren, serta mewakili berbagai jenis pendidikan nonformal pesantren yang ada di seluruh Indonesia.
"(Lulusan pendidikan pondok pesantren nonformal) ada yang tasawuf saja, ada yang lughoh saja, ada yang hadis saja. Ini semua model pesantren harus dilindungi, sehingga lulusannya itu diakui oleh negara dan kemudian mendapatkan hak-hak sipilnya," jelasnya.
Selain itu, Gus Rozin menyampaikan bahwa dokumen yang dihasilkan dari diskusi-diskusi Majelis Masyayikh ini mendasarkan pada aspek keterbacaan dan keterpakaian. Dokumen itu sebaiknya gampang dibaca, dipahami, dan bukan yang memerlukan tafsir mendalam.
"Keterbacaan itu menjadi penting sehingga segala macam pesantren itu bisa membaca dan memahami dengan mudah. Tetapi itu saja tidak cukup, tentu dokumen ini bisa dipakai atau tidak (doable). Jangan-jangan dokumen yang kita bikin ini terbaca tetapi tidak terpakai. Ini menjadi prinsip yang penting ketika melakukan reviu," papar Gus Rozin.
Anggota Majelis Masyayikh bidang Divisi Kurikulum dan Pembelajaran Abdul Ghofur Maimoen atau Gus Ghofur menyatakan dokumen pendidikan nonformal pesantren ini jadi yang paling lama disusun karena tidak ada contoh sebelumnya. Sehingga, menjadi dokumen penting yang akan disahkan.
Dokumen ini nantinya meliputi kriteria mutu lembaga dan lulusan pesantren, kerangka dasar dan struktur kurikulum pesantren. Selain itu, memuat soal kompetensi dan profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
"Karena ini belum ada contohnya, kalau Ma’had Aly sudah ada asosiasinya, sehingga penulisan tinggal kita serahkan kepada asosiasi, begitu juga Muadalah Salafiyyah dan Muallimin. Tetapi pendidikan nonformal itu belum ada pengakuannya dan belum ada drafnya, makanya diskusinya paling lama," ujar Gus Ghofur.
Dokumen ini rencananya diselesaikan pada September 2024. Gus Ghofur berharap dokumen ini bisa segera dilakukan uji publik dan finalisasi.
"Kemudian siap diluncurkan dan bisa diaplikasikan dengan baik pada bulan September," ucap Gus Ghofur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AGA)