medcom.id, Jakarta: SEA Games 2017 telah usai. Apesnya, Indonesia cuma bisa bertahan di posisi kelima dengan total raihan 191 keping medali saja.
Membawa pulang 38 medali emas, tentu masih jauh dari harapan. Paling tidak, batal mempertahankan prestasi Indonesia yang sudah diperoleh dalam SEA Games sebelumnya, yakni sebanyak 47 keping emas.
SEA Games di Kuala Lumpur, Malaysia, memang menghasilkan banyak cerita. Dari mulai geger terbaliknya bendera Indonesia, desas-desus kecurangan si tuan rumah, hingga timnas U-22 yang gagal masuk ke final.
Selebihnya, dunia olahraga Indonesia mesti mewawas diri. Jelas, ada faktor akut yang menahun dan menjadikan pertarungan demi pertarungan diakhiri kisah murung.
Dari atlet hingga duit
Atlet menjadi serba salah. Berangkat penuh harap dan dukungan, namun pulang dirundung beban.
Semua bebas menerka-nerka, mengapa belakangan Indonesia nyaris tak pernah mampu jadi raja dalam perhelatan olahraga. Ada yang bilang, soal mental. Ada pula yang berkata, teknik dan sistem pembinaan yang salah kaprah.
Orang-orang pun akan mengakurkannya dengan prestasi cemerlang yang mampu diraih zaman dulu. Dalam rentang pelaksanaan SEA Games 1977 hingga 1997, misalnya, urutan Indonesia tak pernah terpelanting jauh. Jika tidak juara umum, setidaknya, runner up.
Pengamat olahraga Anton Sanjaya berpendapat, musababnya, tak lain dan tak bukan; persoalan orientasi. Berbicara olahraga di Indonesia, melulu tentang target dan raihan dalam kompetisi. Tapi soal pengembangan dari bawah alias regenerasi, nihil.
"Sistem di negara kita tidak dibentuk untuk mendapatkan atlet yang elite," kata Anton dalam Sportline di Metro TV, Kamis, 31 Agustus 2017.
Contohnya, ketika menafsirkan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Dua dari tiga pilar yang dimuat dalam aturan itu terkesan diabaikan. Pilar olahraga pendidikan dan rekreasi, kalah urus dibanding olahraga prestasi yang dinilai terlalu berambisi.
"Di pendidikan, olahraga cuma ada dua jam dalam sepekan. Di rekreasi, tak ada sarana dan kompetisi," kata Anton.
Perbandingan masa lalu, dan pascareformasi yang kian merosot ini, amat menarik jika mengutip kritik yang pernah dilontarkan Tony D. Widiastono dalam Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik (2009). Katanya, atlet yang dihasilkan dari pembinaan yang instan itu, bisa diketahui dengan cara membaginya menjadi tiga zaman.
Pertama, tulis Tony, zaman Baby Boomers. Pada masa ini, seseorang yang masuk pemusatan latihan nasional (Pelatnas) akan berlatih mati-matian. Ia merasa benar-benar menjelma pilihan dari sekian ratus juta orang penduduk di Indonesia.
"Tidak mengherankan bila dalam Ganefo, Indonesia menduduki peringkat kedua," tulis dia.
Zaman berikutnya, masa Keluarga Berencana (KB). Pada generasi ini, semangat berlatih dikatakan sudah merosot satu tingkat. "Ketika atlet dipanggil masuk pelatnas untuk menghadapi ajang olahraga internasional, sang atlet segera bertanya 'berapa uang sakunya'?" tulis Tony.
Terakhir, era millenium. Mirip masa KB, generasi ini lebih bawel dalam soal apakah negara akan memberikan jaminan pendidikan dan aneka beasiswa atau tidak.
Tulisan Tony, boleh serius, bisa juga dianggap kelakar. Namun muncul pertanyaan, jika ada atlet peraih emas namun akomodasi yang mestinya ditanggung negara tak kunjung tiba, berarti kita sedang berada di zaman apa?
Baca: Akomodasi Atlet Belum Terbayarkan, Kemenpora Akui Kecolongan
Peta kekuatan
Sepakbola memang seksi sejak dulu kala. Dibanding yang lainnya, olahraga ini memiliki penggemar yang tak kira-kira.
Mengutip laporan Pledge Sports 2017, permainan si kulit bundar disukai sekaligus diikuti paling tidak sebanyak 3,5 milyar orang di dunia.
Termasuk Indonesia. Meski Sang Merah Putih berkibar di kancah dunia lantaran cabang olahraga ini, sungguh jauh dari harapan.
Gemar, tentu boleh. Namun, jangan sampai negara turut mabuk kepayang. Memuja-muja satu cabang, lalu abai mengembangkan yang memang seharusnya patut dibanggakan.
Pun dukungan masyarakat. Ambil misal, dalam pelaksanaan SEA Games kemarin. Riuh rendah dan perhatian untuk sepakbola, nyaris tak didapatkan cabang-cabang lainnya.
Bulu tangkis, ateltik, renang, dan panahan, yang lebih potensial mendulang emas, tampak sepi dari ingar bingar dukungan. Padahal, menurut Singgih D. Gunarsa dalam Psikologi Olahraga Prestasi (2008), dukungan memiliki andil besar dalam membangkitkan kegairahan memenangkan pertandingan.
Hal ini pula yang dicap Anton sebagai bagian dari permasalahan olahraga di Indonesia. Hampir semuanya, tidak mampu memetakan kekuatan yang sebenarnya dimiliki atlet Tanah Air, termasuk pemerintah.
"Sejak 1999, permasalahan ini sudah ada," kata dia.
Keterpurukan Indonesia dalam SEA Games 2017, memang layak menjadi cambuk. Sudah mestinya, seluruh yang terlibat dalam pengembangan atlet, benar-benar melakukan evaluasi.
Jika birokrasi mengenal kata reformasi, mengapa sistem keolahragaan Indonesia seakan enggan?
medcom.id, Jakarta: SEA Games 2017 telah usai. Apesnya, Indonesia cuma bisa bertahan di posisi kelima dengan total raihan 191 keping medali saja.
Membawa pulang 38 medali emas, tentu masih jauh dari harapan. Paling tidak, batal mempertahankan prestasi Indonesia yang sudah diperoleh dalam SEA Games sebelumnya, yakni sebanyak 47 keping emas.
SEA Games di Kuala Lumpur, Malaysia, memang menghasilkan banyak cerita. Dari mulai geger terbaliknya bendera Indonesia, desas-desus kecurangan si tuan rumah, hingga timnas U-22 yang gagal masuk ke final.
Selebihnya, dunia olahraga Indonesia mesti mewawas diri. Jelas, ada faktor akut yang menahun dan menjadikan pertarungan demi pertarungan diakhiri kisah murung.
Dari atlet hingga duit
Atlet menjadi serba salah. Berangkat penuh harap dan dukungan, namun pulang dirundung beban.
Semua bebas menerka-nerka, mengapa belakangan Indonesia nyaris tak pernah mampu jadi raja dalam perhelatan olahraga. Ada yang bilang, soal mental. Ada pula yang berkata, teknik dan sistem pembinaan yang salah kaprah.
Orang-orang pun akan mengakurkannya dengan prestasi cemerlang yang mampu diraih zaman dulu. Dalam rentang pelaksanaan SEA Games 1977 hingga 1997, misalnya, urutan Indonesia tak pernah terpelanting jauh. Jika tidak juara umum, setidaknya,
runner up.
Pengamat olahraga Anton Sanjaya berpendapat, musababnya, tak lain dan tak bukan; persoalan orientasi. Berbicara olahraga di Indonesia, melulu tentang target dan raihan dalam kompetisi. Tapi soal pengembangan dari bawah alias regenerasi, nihil.
"Sistem di negara kita tidak dibentuk untuk mendapatkan atlet yang elite," kata Anton dalam
Sportline di
Metro TV, Kamis, 31 Agustus 2017.
Contohnya, ketika menafsirkan UU Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Dua dari tiga pilar yang dimuat dalam aturan itu terkesan diabaikan. Pilar olahraga pendidikan dan rekreasi, kalah urus dibanding olahraga prestasi yang dinilai terlalu berambisi.
"Di pendidikan, olahraga cuma ada dua jam dalam sepekan. Di rekreasi, tak ada sarana dan kompetisi," kata Anton.
Perbandingan masa lalu, dan pascareformasi yang kian merosot ini, amat menarik jika mengutip kritik yang pernah dilontarkan Tony D. Widiastono dalam
Negara Minus Nurani: Esai-esai Kritis Kebijakan Publik (2009). Katanya, atlet yang dihasilkan dari pembinaan yang instan itu, bisa diketahui dengan cara membaginya menjadi tiga zaman.
Pertama, tulis Tony, zaman
Baby Boomers. Pada masa ini, seseorang yang masuk pemusatan latihan nasional (Pelatnas) akan berlatih mati-matian. Ia merasa benar-benar menjelma pilihan dari sekian ratus juta orang penduduk di Indonesia.
"Tidak mengherankan bila dalam Ganefo, Indonesia menduduki peringkat kedua," tulis dia.
Zaman berikutnya, masa Keluarga Berencana (KB). Pada generasi ini, semangat berlatih dikatakan sudah merosot satu tingkat. "Ketika atlet dipanggil masuk pelatnas untuk menghadapi ajang olahraga internasional, sang atlet segera bertanya 'berapa uang sakunya'?" tulis Tony.
Terakhir, era millenium. Mirip masa KB, generasi ini lebih bawel dalam soal apakah negara akan memberikan jaminan pendidikan dan aneka beasiswa atau tidak.
Tulisan Tony, boleh serius, bisa juga dianggap kelakar. Namun muncul pertanyaan, jika ada atlet peraih emas namun akomodasi yang mestinya ditanggung negara tak kunjung tiba, berarti kita sedang berada di zaman apa?
Baca: Akomodasi Atlet Belum Terbayarkan, Kemenpora Akui Kecolongan
Peta kekuatan
Sepakbola memang seksi sejak dulu kala. Dibanding yang lainnya, olahraga ini memiliki penggemar yang tak kira-kira.
Mengutip laporan
Pledge Sports 2017, permainan si kulit bundar disukai sekaligus diikuti paling tidak sebanyak 3,5 milyar orang di dunia.
Termasuk Indonesia. Meski Sang Merah Putih berkibar di kancah dunia lantaran cabang olahraga ini, sungguh jauh dari harapan.
Gemar, tentu boleh. Namun, jangan sampai negara turut mabuk kepayang. Memuja-muja satu cabang, lalu abai mengembangkan yang memang seharusnya patut dibanggakan.
Pun dukungan masyarakat. Ambil misal, dalam pelaksanaan SEA Games kemarin. Riuh rendah dan perhatian untuk sepakbola, nyaris tak didapatkan cabang-cabang lainnya.
Bulu tangkis, ateltik, renang, dan panahan, yang lebih potensial mendulang emas, tampak sepi dari ingar bingar dukungan. Padahal, menurut Singgih D. Gunarsa dalam
Psikologi Olahraga Prestasi (2008), dukungan memiliki andil besar dalam membangkitkan kegairahan memenangkan pertandingan.
Hal ini pula yang dicap Anton sebagai bagian dari permasalahan olahraga di Indonesia. Hampir semuanya, tidak mampu memetakan kekuatan yang sebenarnya dimiliki atlet Tanah Air, termasuk pemerintah.
"Sejak 1999, permasalahan ini sudah ada," kata dia.
Keterpurukan Indonesia dalam SEA Games 2017, memang layak menjadi cambuk. Sudah mestinya, seluruh yang terlibat dalam pengembangan atlet, benar-benar melakukan evaluasi.
Jika birokrasi mengenal kata reformasi, mengapa sistem keolahragaan Indonesia seakan enggan?
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)