Jakarta: Rasa kemanusiaan yang ditunjukkan perempuan kelahiran Temanggung, 52 tahun silam ini patut diacungi jempol. Begitu pedulinya terhadap sesama manusia, seorang biarawati Katolik ini menentang keras praktik perdagangan manusia atau human trafficking.
Ya, Suster Laurentina atau yang akrab disapa Suster Lauren memberikan perhatian serius untuk kasus-kasus human trafficking di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Bagi Suster Laurentina karakteristik human trafficking bersifat represif dengan tujuan eksploitasi manusia. Luasnya pengaruh dan dampak ancaman yang ditimbulkannya, membuat ia terus semangat melawan bentuk kejahatan yang luar biasa tersebut.
Namun, sebelum aktif mengurusi kasus human trafficking, Suster Lauren mengenyam pendidikan diploma Akademi Pekerja Sosial di Kupang, NTT pada 2004 hingga 2007. Sejak saat itulah, Suster Lauren mulai tertarik dengan isu-isu sosial. Setelah lulus, ia pun mengabdi di Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang untuk mengurus anak-anak jalanan, tepatnya pada 2007.
Asal mula menjadi biarawati
Menjalani kehidupan sebagai biarawati bukanlah mimpi Lauren sejak kecil, bahkan hingga remaja. Ia mengaku menjalani masa-masa remaja layaknya remaja normal, bahkan juga sempat mempunyai pacar.
Namun, hal itu justru membesit dalam pikiran Lauren ketika mengabdi Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang. Di sana, ia berpikir ingin menjadi biarawati ketika berusia 25 tahun.
"Sebenarnya, keinginan saya menjadi seorang biarawati pas di panti jompo itu. Saya bekerja di panti jompo itu dari umur 20- 27 tahun, artinya 7 tahun. Dalam hati kecil saya, ada target ketika menginjak umur 25 tahun kelak, saya harus berani untuk memutuskan pilihan hidup," ujar Suster Lauren.
Suster Lauren butuh usaha ekstra untuk bisa menjadi biarawati. Sebab, keinginannya itu sempat tidak direstui ayahnya.
"Mungkin kehawatirannya begitu besar, karena kan tidak boleh mempunyai keturunan dan hidupnya di persembahkan hanya untuk mengabdi ke umat. Tapi diam-diam saya mempelajari syaratnya itu. Ternyata, minimal harus lulus SMA," lanjutnya.
Namun, hal itu tidak memadamkan tekad Lauren untuk menjadi biarawati. Ia diam-diam mencari informasi dan mempelajari syarat-syarat agar bisa menjadi biarawati.
Tekad Lauren menjadi biarawati semakin bulat setelah kehilangan dua nenek yang disayanginya di panti jompo. Sebab, sebelumnya, ia sempat berjanji kepada mereka ingin menjadi biarawati saat mereka meninggal.
"Saya berjanji kalau mereka meninggal nanti, saya akan menjadi seorang biarawati, ketika tes menjadi biarawati ternyata nenek tersebut meninggal. Setelah itu, begitu pengumuman tiba, yang satunya lagi menyusul meninggal. Kejadian tersebut menjadikan tekad saya semakin bulat untuk menjadi biarawati," ungkap Suster Lauren.
Momen meninggalnya kedua nenek itu ternyata meninggalkan rasa kehilangan yang luar biasa bagi Suster Lauren. Tak berselang lama, ia pun mulai mengikuti pendidikan biarawati di Solo, Jawa Tengah. Di kota tersebut, ia pun menelpon bapaknya agar segera menemuinya.
"Nah, waktu di Solo saya bilang ke bapak untuk datang ke Solo, karena ada hal yang penting yang ingin saya bicarakan. Di situ akhirnya saya bilang, diizinkan atau tidak untuk menjadi biarawati. Saya akan tetap menjadi biarawati, tidak bisa diganggu gugat. Bapak hanya bilang, ya sudah itung-itung kehilangan telur satu, mungkin maksudnya kehilangan anak yang ingin mengabdikan diri," tutur Suster Lauren.
Tak butuh waktu lama, Suster Lauren pun akhirnya mendapat izin dari sang ayah.
Mengurus kasus human trafficking di Kupang
Pada 2010, Lauren yang dijuluki Suster Kargo ini ditempatkan di Maubesi, NTT dan dipercaya untuk mengurus kasus human trafficking. Dan untuk pertama kalinya saat ditugaskan di NTT, ia dikontak oleh jejaring pekerja kemanusiaan di Jakarta dan diminta membantu memulangkan jenazah korban perdagangan manusia asal Desa Tuamau, Kecamatan Maubesi.
Jenazah tersebut berasal dari Malaysia. Ia meninggal akibat dianiaya majikannya. Sejak saat itulah, Suster Lauren memulai pelayanan sosial dalam upaya anti perdagangan manusia hingga saat ini.
Jakarta: Rasa kemanusiaan yang ditunjukkan perempuan kelahiran Temanggung, 52 tahun silam ini patut diacungi jempol. Begitu pedulinya terhadap sesama manusia, seorang biarawati Katolik ini menentang keras praktik perdagangan manusia atau
human trafficking.
Ya, Suster Laurentina atau yang akrab disapa Suster Lauren memberikan perhatian serius untuk kasus-kasus
human trafficking di wilayah Nusa Tenggara Timur.
Bagi Suster Laurentina karakteristik
human trafficking bersifat represif dengan tujuan eksploitasi manusia. Luasnya pengaruh dan dampak ancaman yang ditimbulkannya, membuat ia terus semangat melawan bentuk kejahatan yang luar biasa tersebut.
Namun, sebelum aktif mengurusi kasus
human trafficking, Suster Lauren mengenyam pendidikan diploma Akademi Pekerja Sosial di Kupang, NTT pada 2004 hingga 2007. Sejak saat itulah, Suster Lauren mulai tertarik dengan isu-isu sosial. Setelah lulus, ia pun mengabdi di Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang untuk mengurus anak-anak jalanan, tepatnya pada 2007.
Asal mula menjadi biarawati
Menjalani kehidupan sebagai biarawati bukanlah mimpi Lauren sejak kecil, bahkan hingga remaja. Ia mengaku menjalani masa-masa remaja layaknya remaja normal, bahkan juga sempat mempunyai pacar.
Namun, hal itu justru membesit dalam pikiran Lauren ketika mengabdi Yayasan Sosial Soegijapranata Semarang. Di sana, ia berpikir ingin menjadi biarawati ketika berusia 25 tahun.
"Sebenarnya, keinginan saya menjadi seorang biarawati pas di panti jompo itu. Saya bekerja di panti jompo itu dari umur 20- 27 tahun, artinya 7 tahun. Dalam hati kecil saya, ada target ketika menginjak umur 25 tahun kelak, saya harus berani untuk memutuskan pilihan hidup," ujar Suster Lauren.
Suster Lauren butuh usaha ekstra untuk bisa menjadi biarawati. Sebab, keinginannya itu sempat tidak direstui ayahnya.
"Mungkin kehawatirannya begitu besar, karena kan tidak boleh mempunyai keturunan dan hidupnya di persembahkan hanya untuk mengabdi ke umat. Tapi diam-diam saya mempelajari syaratnya itu. Ternyata, minimal harus lulus SMA," lanjutnya.
Namun, hal itu tidak memadamkan tekad Lauren untuk menjadi biarawati. Ia diam-diam mencari informasi dan mempelajari syarat-syarat agar bisa menjadi biarawati.
Tekad Lauren menjadi biarawati semakin bulat setelah kehilangan dua nenek yang disayanginya di panti jompo. Sebab, sebelumnya, ia sempat berjanji kepada mereka ingin menjadi biarawati saat mereka meninggal.
"Saya berjanji kalau mereka meninggal nanti, saya akan menjadi seorang biarawati, ketika tes menjadi biarawati ternyata nenek tersebut meninggal. Setelah itu, begitu pengumuman tiba, yang satunya lagi menyusul meninggal. Kejadian tersebut menjadikan tekad saya semakin bulat untuk menjadi biarawati," ungkap Suster Lauren.
Momen meninggalnya kedua nenek itu ternyata meninggalkan rasa kehilangan yang luar biasa bagi Suster Lauren. Tak berselang lama, ia pun mulai mengikuti pendidikan biarawati di Solo, Jawa Tengah. Di kota tersebut, ia pun menelpon bapaknya agar segera menemuinya.
"Nah, waktu di Solo saya bilang ke bapak untuk datang ke Solo, karena ada hal yang penting yang ingin saya bicarakan. Di situ akhirnya saya bilang, diizinkan atau tidak untuk menjadi biarawati. Saya akan tetap menjadi biarawati, tidak bisa diganggu gugat. Bapak hanya bilang, ya sudah itung-itung kehilangan telur satu, mungkin maksudnya kehilangan anak yang ingin mengabdikan diri," tutur Suster Lauren.
Tak butuh waktu lama, Suster Lauren pun akhirnya mendapat izin dari sang ayah.
Mengurus kasus human trafficking di Kupang
Pada 2010, Lauren yang dijuluki Suster Kargo ini ditempatkan di Maubesi, NTT dan dipercaya untuk mengurus kasus
human trafficking. Dan untuk pertama kalinya saat ditugaskan di NTT, ia dikontak oleh jejaring pekerja kemanusiaan di Jakarta dan diminta membantu memulangkan jenazah korban perdagangan manusia asal Desa Tuamau, Kecamatan Maubesi.
Jenazah tersebut berasal dari Malaysia. Ia meninggal akibat dianiaya majikannya. Sejak saat itulah, Suster Lauren memulai pelayanan sosial dalam upaya anti perdagangan manusia hingga saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(PAT)