Jakarta: Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia berencana melaporkan sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ke Majelis Kehormatan MK (MKMK). Laporan tersebut menyusul putusan MK yang berpeluang membuat Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
Putusan itu dinilai menciderai independensi MK sehingga memumculkan istilah mahkamah keluarga. Sebab, Gibran merupakan keponakan Ketua MK Anwar Usman setelah menikahi adik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tim Advokasi menilai hakim MK tidak objektif dalam memeriksa perkara tersebut.
"Kan ada dasar hukumnya dalam mengawasi Hakim MK adalah Dewan Etik (MKMK) sehingga kami akan laporkan 9 Hakim MK ini dalam waktu dekat" kata perwakilan tim advokasi, Yogi Pajar Suprayogi melalui keterangan tertulis, Rabu, 18 Oktober 2023.
Yogi menyayangkan putusan MK itu justru menimbulkan kontroversi. Padahal hukum mengenai usia capres dan cawapres telah secara eksplisit diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yogi menyinggung MK mestinya tak berkutat pada hal yang bukan menjadi wewenangnya.
"Publik berharap banyak terobosan hukum untuk hal-hal yang belum diatur (kekosongan hukum) bukan malah membuat memperluas ketentuan sehingga menimbulkan kontroversi," ujar Yogi.
Sementara itu, anggota tim advokasi, Zentoni menegaskan 9 hakim MK pantas dievaluasi akibat putusan kontroversial ini. Menurut dia, MK pantas dibubarkan kalau pada akhirnya 9 hakim MK gagal dievaluasi atau diperiksa dalam proses etik.
"Evaluasi ini penting dan kalau evaluasi MK tidak dilakukan juga maka tidak ada salahnya MK dibubarkan karena tidak objektif," ujar Zentoni.
Sedangkan anggota tim advokasi, Johan Imanuel menyayangkan para hakim MK tidak cermat saat mengambil putusan yang pro Gibran. Menurutnya, dampak putusan tersebut sebenarnya tak berdampak luas bagi masyarakat. Sehingga putusan ini patut diduga hanya demi menggolkan pencawapresan Gibran.
"Makanya seharusnya MK ini berhati-hati dalam memutus perkara jangan sampai karena frasa 'atau' seperti putusan MK 90 ini malah menimbulkan dampak luas ke masyarakat yang tidak semua merasa dirugikan adanya permohonan tersebut," ujar Johan.
Jakarta: Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia berencana melaporkan sembilan orang hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) ke Majelis Kehormatan MK (MKMK). Laporan tersebut menyusul putusan MK yang berpeluang membuat Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (
cawapres) di
Pilpres 2024.
Putusan itu dinilai menciderai independensi MK sehingga memumculkan istilah mahkamah keluarga. Sebab,
Gibran merupakan keponakan Ketua MK Anwar Usman setelah menikahi adik
Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tim Advokasi menilai hakim MK tidak objektif dalam memeriksa perkara tersebut.
"Kan ada dasar hukumnya dalam mengawasi Hakim MK adalah Dewan Etik (MKMK) sehingga kami akan laporkan 9 Hakim MK ini dalam waktu dekat" kata perwakilan tim advokasi, Yogi Pajar Suprayogi melalui keterangan tertulis, Rabu, 18 Oktober 2023.
Yogi menyayangkan putusan MK itu justru menimbulkan kontroversi. Padahal hukum mengenai usia capres dan cawapres telah secara eksplisit diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yogi menyinggung MK mestinya tak berkutat pada hal yang bukan menjadi wewenangnya.
"Publik berharap banyak terobosan hukum untuk hal-hal yang belum diatur (kekosongan hukum) bukan malah membuat memperluas ketentuan sehingga menimbulkan kontroversi," ujar Yogi.
Sementara itu, anggota tim advokasi, Zentoni menegaskan 9 hakim MK pantas dievaluasi akibat putusan kontroversial ini. Menurut dia, MK pantas dibubarkan kalau pada akhirnya 9 hakim MK gagal dievaluasi atau diperiksa dalam proses etik.
"Evaluasi ini penting dan kalau evaluasi MK tidak dilakukan juga maka tidak ada salahnya MK dibubarkan karena tidak objektif," ujar Zentoni.
Sedangkan anggota tim advokasi, Johan Imanuel menyayangkan para hakim MK tidak cermat saat mengambil putusan yang pro Gibran. Menurutnya, dampak putusan tersebut sebenarnya tak berdampak luas bagi masyarakat. Sehingga putusan ini patut diduga hanya demi menggolkan pencawapresan Gibran.
"Makanya seharusnya MK ini berhati-hati dalam memutus perkara jangan sampai karena frasa 'atau' seperti putusan MK 90 ini malah menimbulkan dampak luas ke masyarakat yang tidak semua merasa dirugikan adanya permohonan tersebut," ujar Johan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABK)