Jakarta: Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 menjadi momentum persatuan yang mengikat etnis, suku, dan agama berbeda demi Nusantara. Bahasa Indonesia menjadi perekat seluruh elemen bangsa di Tanah Air.
"Sempat ada pemikiran untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa yang dijunjung tinggi atau bahasa persatuan saat itu," kata Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam kepada Medcom.id, Senin, 26 Oktober 2020.
Asvi membeberkan sejarah Bahasa Indonesia muncul. Semua bermula ketika penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu menuai perdebatan pada Kongres Pemuda I pada 30 April hingga 2 Mei 1926.
Penolakan datang lantaran Bahasa Melayu dinilai hanya mewakili suku atau kelompok tertentu. Alhasil, kongres yang digelar di Batavia tersebut kandas dan nihil hasil.
Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 kemudian digelar dengan harapan tercetus sebuah ikrar yang menjadi tombak sejarah bangsa. Terutama agar perbedaan suku, agama, dan etnis memiliki satu pengikat kuat.
Secarik kertas penentu sejarah
Sebuah peristiwa bersejarah muncul dalam penyelenggaraan kongres kedua tersebut. Mohammad Yamin selaku Sekretaris Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) mencetuskan ide menarik soal rumusan ikrar sumpah pemuda.
Meski isi rumusan tidak diketahui persis, kata Asvi, Yamin menyodorkan sebuah kertas yang menjadi cikal bakal ikrar Sumpah Pemuda. Kertas diberikan kepada Ketua Kongres Pemuda II Sugondo Djojopuspito.
Kertas itu berisi kata satu nusa, satu bangsa, dan satu Bahasa Indonesia. Trilogi ini tercetus secara misterius dari Yamin.
Ide pria kelahiran Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, yang tidak diduga itu sangat menentukan sejarah dan bangsa. Dari selembar kertas, tercetus Bahasa Indonesia sebagai pemersatu.
"Kita tidak tahu persis apa yang disampaikan Yamin itu apa hanya tiga kata itu saja. Tapi yang jelas Yamin itu menyampaikan istilah Bahasa Indonesia dan mengganti yang tadi diperdebatkan dalam kongres 1926," terang Asvi.
Kongres yang dihadiri 700 tokoh Nusantara itu menyepakati penggunaan Bahasa Indonesia sebagai pemersatu. Bahasa Indonesia dapat dengan mudah diterima karena tidak melenyapkan bahasa daerah.
"Ketika Bahasa Melayu itu tidak disetujui dan itu menjadi serempak diakui menjadi Bahasa Indonesia. Tekad mereka untuk menjadi kan bahasa menjunjung tinggi itu jelas sesuatu yang luar biasa," ucap Asvi.
Membiasakan Bahasa Indonesia
Asvi mengungkapkan adanya peristiwa unik ketika ikrar Bahasa Indonesia digaungkan. Rupanya, butuh proses bagi tokoh-tokoh saat itu untuk membiasakan diri berbahasa Indonesia.
Beberapa sudah kadung berbahasa Belanda atau Bahasa Jawa. "Kemudian bahasa daerah. Tapi ketika harus berbahasa Indonesia ya mereka harus menyesuaikan diri dan tidak langsung fasih," ucap Asvi.
Kendati begitu, mereka sejatinya menerima penggunaan Bahasa Indonesia. Tekad berkomunikasi antarsesama menggunakan Bahasa Indonesia tak goyah walau mereka tak terbiasa.
Asvi pernah mencatat sejumlah tipo dalam dokumen karena tokoh pemuda belum terbiasa berbahasa Indonesia. Misalnya, kata 'bersikap' ditulis 'bersiap'. Padahal, kedua kata tersebut memiliki arti berbeda dalam konteks temuannya.
"Tetapi bahwa Indonesia beruntung memilih Bahasa Indonesia itu sebagai bahasa persatuan. Karena bahasa itu kan bisa menyebabkan kita bisa berkomunikasi di mana pun di Indonesia," tegas Asvi.
Jakarta:
Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928 menjadi momentum persatuan yang mengikat etnis, suku, dan agama berbeda demi Nusantara. Bahasa Indonesia menjadi perekat seluruh elemen bangsa di Tanah Air.
"Sempat ada pemikiran untuk menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa yang dijunjung tinggi atau bahasa persatuan saat itu," kata Peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam kepada
Medcom.id, Senin, 26 Oktober 2020.
Asvi membeberkan sejarah Bahasa Indonesia muncul. Semua bermula ketika penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa pemersatu menuai perdebatan pada Kongres Pemuda I pada 30 April hingga 2 Mei 1926.
Penolakan datang lantaran Bahasa Melayu dinilai hanya mewakili suku atau kelompok tertentu. Alhasil, kongres yang digelar di Batavia tersebut kandas dan nihil hasil.
Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 kemudian digelar dengan harapan tercetus sebuah ikrar yang menjadi tombak
sejarah bangsa. Terutama agar perbedaan suku, agama, dan etnis memiliki satu pengikat kuat.
Secarik kertas penentu sejarah
Sebuah peristiwa bersejarah muncul dalam penyelenggaraan kongres kedua tersebut. Mohammad Yamin selaku Sekretaris Persatuan Pemuda Indonesia (PPI) mencetuskan ide menarik soal rumusan ikrar sumpah pemuda.
Meski isi rumusan tidak diketahui persis, kata Asvi, Yamin menyodorkan sebuah kertas yang menjadi cikal bakal ikrar Sumpah Pemuda. Kertas diberikan kepada Ketua Kongres Pemuda II Sugondo Djojopuspito.
Kertas itu berisi kata satu nusa, satu bangsa, dan satu Bahasa Indonesia. Trilogi ini tercetus secara misterius dari Yamin.
Ide pria kelahiran Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, yang tidak diduga itu sangat menentukan sejarah dan bangsa. Dari selembar kertas, tercetus Bahasa Indonesia sebagai pemersatu.