Ditjen Dikdasmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Any Sayeti--Medcom.id/Achmad Zulfikar Fazli.
Ditjen Dikdasmen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Any Sayeti--Medcom.id/Achmad Zulfikar Fazli.

Penerapan AKSI untuk Pengganti UN Baru Sebatas Wacana

Achmad Zulfikar Fazli • 13 Maret 2019 16:15
Jakarta: Sistem Ujian Nasional (UN) dipastikan masih digunakan sebagai sistem penilaian untuk pemetaan kualitas pendidikan. Pasalnya, AKSI (Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia) yang akan menggantikan UN masih dalam tahap wacana.
 
"Itu memang baru sebatas wacana. Akan tetapi untuk realisasinya belum ke situ," kata Kasubag Hukum Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Any Sayeti di kantornya, Jakarta, Rabu, 13 Maret 2019.
 
Any menjelaskan wacana tersebut muncul lantaran mutu pendidikan di Indonesia tergolong rendah. Hal itu berdasarkan penilaian dari Programme for International Student Assessment (PISA).

PISA merupakan sistem penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga tahun sekali, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun. PISA diselenggarakan oleh Organisasi untuk Kerja sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD).
 
Baca: Kemendikbud Siapkan Sistem Penilaian Baru Gantikan UN
 
Tujuan studi ini untuk menguji dan membandingkan prestasi anak-anak sekolah di seluruh dunia, supaya meningkatkan metode-metode pendidikan dan hasil-hasilnya.
 
Menurut dia, AKSI ini juga nantinya tidak membebani anak didik. Sebab, tidak mempengaruhi hasil belajar.
 
Sistem itu digunakan untuk higher order thinking skills (HOTS) anak didik dalam menghadapi tes PISA. Soal yang digunakan, terang dia, juga tak berbeda jauh dengan PISA.
 
"Memang meningkatkan kompetensi siswa itu PR-nya ada di meningkatkan kompetensi guru. Kita harus meningkatkan kompetensi guru dulu, baru siswanya meningkat. Tapi kalau siswanya pintar, guru yang biasa pun bisa membuat siswanya (berhasil)," ujar dia.
 
Meningkatkan kualitas guru, lanjut dia, memang tak semuda membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh proses. Karenanya, ada penerapan redistribusi guru lewat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), untuk pemerataan kualitas dan kuantitas pendidikan dasar dan menengah nasional. "PPDB tidak hanya untuk zonasi, tapi pemerataan guru," ucap dia.
 
Sebelumnya, Kemendikbud merekomendasikan agar UN dihapuskan. Hal itu mempertimbangkan saat ini nilai kegunaan UN semakin rendah, dan manfaatnya tidak sebanding dengan tingginya anggaran yang dikeluarkan negara.
 
Kemendikbud pun berencana mengganti UN dengan AKSI. "UN ini sudah tidak bisa digunakan apa-apa lagi, masuk PTN sudah tidak dianggap, PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) dulu masih pakai sistem kompetisi, jadi UN masih digunakan, tapi sekarang sudah pakai sistem zonasi. Jadi tidak dipakai lagi UN," papar Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud, Hamid Muhammad, Senin, 11 Maret 2019.
 
Sistem AKSI ini, kata Hamid, sudah dirintis sejak beberapa waktu lalu. Untuk sementara sama dengan PISA, menguji siswa dengan tiga kompetensi dasar siswa, yakni Matematika, Membaca, dan Sains.
 
"Daerah yang diuji ditentukan secara acak, tapi memperhitungkan keterwakilan daerah di setiap provinsi, tidak seperti PISA," ujar Hamid.
 
AKSI ini juga telah disiapkan sejak adanya rencana penghapusan UN di awal pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) 2014.  
 
"AKSI kita persiapkan, in case siapapun nanti yang jadi Presiden dan mendikbud sudah kita siapkan (sistem asesmennya).  Kalau UN jadi dihapuskan, kita ganti AKSI, tapi kalau pun UN masih jalan, kita tetap gunakan AKSI untuk pemetaan," paparnya
 
AKSI ini nantinya akan diujikan di kelas 3, 4, 8 dan 11. Tujuannya agar sekolah dan guru memiliki kesempatan yang memadai untuk memperbaiki kekurangan siswa.
 
"Kalau UN kan hanya untuk mengukur kompetensi siswa saat berada di tingkat itu. Kalau AKSI lebih banyak ke diagnosa apa kelemahan siswa di kelas 3, 5, 8 dan 11, sehingga basis AKSI dapat menjadi instrumen mengoreksi bagi guru juga," terangnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(YDH)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan