CEO Media Group Mohammad Mirdal Akib. (tangkapan layar)
CEO Media Group Mohammad Mirdal Akib. (tangkapan layar)

CEO Media Group Jelaskan Urgensi UU Penyiaran Perlu Direvisi

Imanuel R Matatula • 24 Mei 2024 20:29
Jakarta: Pro dan kontra menghiasi draf Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Terlepas dari narasi kontra yang beredar di masyarakat, CEO Media Group Mohammad Mirdal Akib memaparkan alasan mengapa UU Penyiaran perlu untuk direvisi.
 
Jika melihat pada 2000-an saat UU penyiaran dibuat, kondisi saat itu terjadi monopoli dalam dunia media televisi khususnya terestrial, sehingga lahirnya UU No. 32, Tahun 2002 untuk terjadi pemerataan penyiaran, dan asasnya adalah keadilan.
 
“Tahun 2002 itu ada semangat bagaimana TV tidak tersentralisasi di pusat, tidak tersentralisasi di satu tangan, waktu itu ada sekelompok yang menguasai TV nasional,” ucap Mirdal dalam tayangan YouTube Media Indonesia, Jumat, 24 Mei 2024.

Stasiun televisi yang dimonopoli sekelompok orang tertentu berpotensi mengerahkan opini masyarakat, sehingga munculnya UU Penyiaran sebagai solusi atas masalah ini. Dengan begitu, dunia penyiaran lebih demokratis.
 
“Siapapun boleh memiliki TV, daerah juga diperhatikan kebutuhannya, karena tidak semuanya jawa sentris, lahirnya kemudian konsep TV jaringan saat ini, ” ucap Mirdal.
 
Baca: Mirdal Akib: Isi Konten Bukan Ranah UU Penyiaran

Dengan konsep TV jaringan, stasiun televisi yang sebelumnya bersifat nasional harus menyesuaikan diri dengan konten lokal, dan kepemilikan tidak lagi di monopoli. Sehingga keleluasaan diberikan bagi siapapun dalam mengembangkan bisnis televisi.
 
“Pranatanya memang melihat infrastruktur penyiaran saat itu, cuma ada terestrial, kita belum kenal cable semasif ini sekarang, TV satelit semasif ini, apalagi streaming, OTT dan segala macam” ucap Mirdal.

Masuknya Teknologi Digital

Seiring berjalannya waktu, masuklah teknologi digital dalam industri pertelevisian, satu frekuensi bisa dialokasikan menjadi beberapa siaran. Mirdal menyebut jika ingin mengubah UU Penyiaran, perlu juga dilakukan perubahan UU Telekomunikasi.
 
“Dengan masuknya digital, frekuensi yang dipakai televisi terestrial selama ini harus dikembalikan ke negara. Artinya ada perubahan, berarti harus segera diubah  UU Penyiarannya, tetapi selama ini berjalan tanpa struktur aturan yang semestinya, ” ucap Mirdal.
 
Mirdal mengakui saat ini industri media mengalami kemunduran, hal ini juga dapat disebabkan karena banyaknya persyaratan jika industri televisi nasional ingin mengembangkan medianya di suatu daerah. Berbeda dengan industri media asing yang ingin masuk.
 
“Kita harus berhadapan dengan institusi entitas(media asing) yang sahamnya melonjak terus karena masuk dalam market 270 juta tanpa proses yang pemain lokal lakukan, ” tutur Mirdal.
 
Mirdal menyebut persaingan antara media nasional dan asing khususnya dalam konteks penyiaran perlu dibenahi dari segi aturan, karena zaman terus berubah dan televisi terestrial semakin ditinggalkan masyarakat. Jika persyaratan lebih dibebankan kepada industri nasional sedangkan asing tidak, yang terjadi adalah ketidakadilan. 
 
“Harus ada redefinisi ulang tentang definisi penyiaran, bukan lagi sebatas terestrial,” ungkap Mirdal.
 
Fakta yang terjadi saat ini adalah platform penyiaran semakin beragam. Antara lain streaming serta OTT,  semua itu, menurut dia, tanpa regulasi yang jelas. 
 
“Mereka tidak punya UU pokok Pers yang harus diikuti, tidak punya UU Tenaga Kerja, gak ikut sistem perpajakan yang baku, entitasnya kemungkinan juga tidak ada,” sebut Mirdal.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(LDS)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan