Jakarta: Pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, menyatakan perempuan Indonesia rentan menjadi target radikalisasi. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh faktor agama, sosial, dan kultural yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marginal dan subordinat.
"Kultur patriarki di Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat, membuat mereka lebih mudah terpapar radikalisme," kata Susaningtyas, di dalam acara Dialog Merajut Kebhinekaan di Jakarta, Kamis, 20 Juni 2018.
Modus yang banyak terjadi, kata dia, perempuan direkrut dan 'diinvestasikan' melalui tali pernikahan. Di titik ini, perempuan dipandang sekadar objek yang harus patuh dan tunduk sepenuhnya terhadap pasangannya.
"Kemudian, mereka mendapat indoktrinasi bahwa ideologi Pancasila dan sistem demokrasi adalah buatan thoghut. Pandangan itu sebagai faktor untuk meneguhkan legitimasi agama," kata Nuning, sapaan Susaningtyas.
Lebih lanjut, Nuning berpendapat perempuan di perdesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah jauh lebih mudah terpapar radikalisme. Di perkotaan pun jaringan teroris terbangun dan melakukan cipta kondisi melalui media sosial. Modusnya sama, melanggengkan kultur patriarki melalui kampanye terstruktur dan masif mengenai poligami dan gerakan lainnya.
"Hal ini juga didorong oleh fenomena post-truth dan hoaks di media sosial. Narasi radikal diproduksi secara besar-besaran, multichannel, cepat, serta bias konfirmasi dan manipulatif," katanya.
Baca juga: Kelompok Islam Eksklusif Terdeteksi Berkembang di Delapan PTN
Sebagai langkah awal penanganan, Nuning meminta Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) berfokus pada faktor pencegahan arus radikalisasi di kalangan perempuan Indonesia. "Stakeholder lainnya juga perlu meningkatkan upaya internalisasi nilai kesetaraan dan keadilan gender. Agar perempuan Indonesia dapat lebih berdaya melawan dominasi kultur patriarki," katanya.
Hal ini dapat dilakukan dalam prinsip kerja sama dengan organisasi keagamaan moderat yang memproduksi counter narasi radikalisasi. "Untuk pencegahan di media sosial, pembatasan tidak efektif untuk menangkal radikalisme. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan literasi masyarakat Indonesia," ujar Nuning.
Jakarta: Pengamat militer dan intelijen, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, menyatakan perempuan Indonesia rentan menjadi target radikalisasi. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh faktor agama, sosial, dan kultural yang cenderung menempatkan perempuan dalam posisi marginal dan subordinat.
"Kultur patriarki di Indonesia yang menempatkan perempuan dalam posisi marjinal dan subordinat, membuat mereka lebih mudah terpapar radikalisme," kata Susaningtyas, di dalam acara Dialog Merajut Kebhinekaan di Jakarta, Kamis, 20 Juni 2018.
Modus yang banyak terjadi, kata dia, perempuan direkrut dan 'diinvestasikan' melalui tali pernikahan. Di titik ini, perempuan dipandang sekadar objek yang harus patuh dan tunduk sepenuhnya terhadap pasangannya.
"Kemudian, mereka mendapat indoktrinasi bahwa ideologi Pancasila dan sistem demokrasi adalah buatan
thoghut. Pandangan itu sebagai faktor untuk meneguhkan legitimasi agama," kata Nuning, sapaan Susaningtyas.
Lebih lanjut, Nuning berpendapat perempuan di perdesaan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang rendah jauh lebih mudah terpapar radikalisme. Di perkotaan pun jaringan teroris terbangun dan melakukan cipta kondisi melalui media sosial. Modusnya sama, melanggengkan kultur patriarki melalui kampanye terstruktur dan masif mengenai poligami dan gerakan lainnya.
"Hal ini juga didorong oleh fenomena post-truth dan hoaks di media sosial. Narasi radikal diproduksi secara besar-besaran, multichannel, cepat, serta bias konfirmasi dan manipulatif," katanya.
Baca juga: Kelompok Islam Eksklusif Terdeteksi Berkembang di Delapan PTN
Sebagai langkah awal penanganan, Nuning meminta Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) berfokus pada faktor pencegahan arus radikalisasi di kalangan perempuan Indonesia. "Stakeholder lainnya juga perlu meningkatkan upaya internalisasi nilai kesetaraan dan keadilan gender. Agar perempuan Indonesia dapat lebih berdaya melawan dominasi kultur patriarki," katanya.
Hal ini dapat dilakukan dalam prinsip kerja sama dengan organisasi keagamaan moderat yang memproduksi counter narasi radikalisasi. "Untuk pencegahan di media sosial, pembatasan tidak efektif untuk menangkal radikalisme. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan kemampuan literasi masyarakat Indonesia," ujar Nuning.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(UWA)