Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai draf revisi Undang-Undang Penyiaran problematik. Perubahan beleid itu berpotensi mencederai demokrasi; memberangus kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi.
Dalam unggahan di akun Instagram resmi AJI Indonesia @aji.indonesia, membeberkan alasan kenapa draf revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 problematik dan layak ditolak. Berikut ini poin-poin dari AJI Indonesia kenapa Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia layak ditolak.
Larangan Penayangan Konten Eksklusif Jurnalisme Investigasi
Larangan dalam rancangan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pelarangan ini juga berpotensi membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.
Dalam unggahan tersebut disertakan pernyataan dari Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Prasetya Utomo yang menyebut pembatasan konten jurnalisme investigasi sebagai pasal yang absurd. Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi ini termaktub dalam Pasal 50B ayat (2).
Dijelaskan juga pelarangan konten jurnalisme investigasi ini bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
“Dampak lainnya, larangan tersebut akan membungkam kemerdekaan pers,” tulis AJI Indonesia.
Perluasan Definisi Penyiaran
AJI Indonesia menyebut poin ini juga layak mendapatkan perhatian. Di antaranya pasal soal ruang lingkup yang memasukkan "Platform Digital Penyiaran". Diperluasnya definisi penyiaran ini dinilai bisa menjadi potensi ancaman terhadap kebebasan per dan kebebasan berekspresi di platform digital.
Ketua AJI Indonesia Nany Afrida meminta agar DPR menangguhkan hingga periode mendatang. Ia juga meminta proses pembahasan legislasi ini melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat.
"Kami melihat bahwa rencana untuk menegasikan jurnalisme investigasi itu benar-benar di luar nalar saya dan teman-teman yang lain sebagai jurnalis," kata Nany.
Sebelumnya, draf rancangan RUU Penyiaran menuai kritik dari publik, terutama para pegiat dan pelakon jurnalistik. Revisi yang sedianya diharapkan menciptakan asas keadilan bagi industri penyiaran di tengah era kemunculan media-media baru berbasis digital itu, justru dikhawatirkan menjadi pintu masuk pembungkaman pers.
Salah satu yang menjadi sorotan ialah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dari draf yang beredar di masyarakat, hal itu tertangkap jelas pada Pasal 56 Ayat 2 yang memuat larangan-larangan standar isi siaran. Terutama pada poin C yang menjelaskan larangan itu mencakup 'penayangan eksklusif jurnalistik investigasi'.
Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menilai
draf revisi Undang-Undang Penyiaran problematik. Perubahan beleid itu berpotensi mencederai demokrasi; memberangus kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi.
Dalam unggahan di akun Instagram resmi AJI Indonesia @aji.indonesia, membeberkan alasan kenapa draf revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002
problematik dan layak ditolak. Berikut ini poin-poin dari AJI Indonesia kenapa Revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia layak ditolak.
Larangan Penayangan Konten Eksklusif Jurnalisme Investigasi
Larangan dalam rancangan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pelarangan ini juga berpotensi membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.
Dalam unggahan tersebut disertakan pernyataan dari Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Wisnu Prasetya Utomo yang menyebut pembatasan konten jurnalisme investigasi sebagai pasal yang absurd. Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi ini termaktub dalam Pasal 50B ayat (2).
Dijelaskan juga pelarangan konten jurnalisme investigasi ini bertentangan dengan Pasal 4 Ayat 2 UU Pers yang menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran,pembredelan, atau pelarangan penyiaran.
“Dampak lainnya, larangan tersebut akan membungkam kemerdekaan pers,” tulis AJI Indonesia.
Perluasan Definisi Penyiaran
AJI Indonesia menyebut poin ini juga layak mendapatkan perhatian. Di antaranya pasal soal ruang lingkup yang memasukkan "Platform Digital Penyiaran". Diperluasnya definisi penyiaran ini dinilai bisa menjadi potensi ancaman terhadap kebebasan per dan kebebasan berekspresi di platform digital.
Ketua AJI Indonesia Nany Afrida meminta agar DPR menangguhkan hingga periode mendatang. Ia juga meminta proses pembahasan legislasi ini melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat.
"Kami melihat bahwa rencana untuk menegasikan jurnalisme investigasi itu benar-benar di luar nalar saya dan teman-teman yang lain sebagai jurnalis," kata Nany.
Sebelumnya, draf rancangan RUU Penyiaran menuai kritik dari publik, terutama para pegiat dan pelakon jurnalistik. Revisi yang sedianya diharapkan menciptakan asas keadilan bagi industri penyiaran di tengah era kemunculan media-media baru berbasis digital itu, justru dikhawatirkan menjadi pintu masuk pembungkaman pers.
Salah satu yang menjadi sorotan ialah pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Dari draf yang beredar di masyarakat, hal itu tertangkap jelas pada Pasal 56 Ayat 2 yang memuat larangan-larangan standar isi siaran. Terutama pada poin C yang menjelaskan larangan itu mencakup 'penayangan eksklusif jurnalistik investigasi'.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(RUL)