medcom.id, Jakarta: Dua bulan sebelum berpulang, Ki Hadjar Dewantara berpesan;
Kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar itu seorang nasionalis, radikalis, sosialis, demokrat, humanis, ataukah tradisionalis, maka katakanlah; bahwa aku hanyalah orang Indonesia biasa saja, yang bekerja untuk bangsa Indonesia, dengan cara Indonesia.
Menjelmakan diri sebagai Indonesia, jadi sesuatu yang amat diwanti-wanti oleh pelopor pendidikan nasional ini. Itu makanya, kian aneh jika makin ke sini, dunia pendidikan kita malah menunjukkan watak sektarianisme berlebih.
Mengejutkan, misalnya, dari hasil penelitian Kementerian Pendidikan dan Budaya tentang tingkat toleransi di sekolah di Singkawang dan Salatiga yang dirilis pekan lalu; ada keengganan siswa untuk dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama.
Faktornya, bisa dua sumber. Pertama, dari luar. Semacam imbas dari bisingnya sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) selama perhelatan Pilkada DKI Jakarta. Sebagaimana dimafhum bersama, hajat demokrasi itu tidak cuma menguras energi warga Ibukota, tapi juga merangsek hingga ke pelosok daerah.
Baca: Isu SARA Pilkada DKI Dinilai Menjalar ke Sektor Pendidikan
Kedua, bisa jadi, dari lingkungan sekolah itu sendiri. Soal ini, bagus juga saran yang dilontarkan aktivis pendidikan Henny Supolo Sitepu. Katanya, dalam melaksanakan akreditasi sekolah, perlu juga memasukkan variabel yang mendukung terciptanya situasi yang inklusif dalam ruang pendidikan.
"Seberapa jauh sekolah memiliki program yang memperlihatkan keragaman dengan toleransi, keikutsertaraan dan kerjasama. Toleransi bisa dilihat konkretnya dengan adanya kerjasama," kata Henny di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Selasa 2 Mei 2017.
Sikap eksklusif, bahkan intoleran, sebenarnya bukan perkara baru dalam dunia pendidikan nasional. Hal ini sudah menjangkit sejak dulu, terutama dalam satu dekade terakhir.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, menunjukkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Sementara, jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa. Gilanya, sebesar 14,2% membenarkan serangan bom.
Mengembalikan khitah pendidikan
Toleransi, sejatinya begitu penting dalam membangun proses pendidikan yang baik. Keragaman tradisi, budaya, serta identitas lainnya di Indonesia justru merupakan peluang sekaligus trik dalam mengembangkan pengetahuan.
Maka, pendidikan, sangat tidak lazim mempermasalahkan perbedaan yang hadir. Dalam Teologi Pendidikan (2001), Jalaluddin menyebut ada tiga pandangan, yang dua di antaranya dianggap sebagai penghambat pendidikan.
Pertama, pandangan kaum primordialis. Mereka menganggap bahwa perbedaan SARA adalah sumber utama yang melahirkan benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis. SARA ditafsiri sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan materil maupun non-materiil.
Kasarnya, pandangan ini adalah gaya para politisi dan para elite yang memanfaatkan sensitivitas kelompok untuk mencapai tujuan.
Berbeda dengan yang ketiga, padangan konstruktivis. Sebuah perspektif yang lebih memaklumi bahwa identitas kelompok bersifat dinamis dan tidak kaku. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.
Ya, jangan-jangan, masih banyak pendidik di Indonesia yang belum menempatkan perbedaan dalam konstruksi pandangan yang baik.
Dua tahun lalu, peneliti Wahid Foundation Alamsyah M. Djafar menulis esai berjudul Intoleransi Kaum Pelajar. Di dalamnya disebut; lemahnya penerjemahan visi penyemaian toleransi di sekolah-sekolah menjadi akar masalah. Praktiknya, sebagian pimpinan sekolah dan guru abai terhadap benih-benih diskriminasi dan intoleransi.
"Sekolah negeri yang semestinya menjadi lumbung persemaian toleransi, malah ditemukan fakta-fakta yang berpunggungan," tulis Alamsyah.
Atau, tantangan itu mungkin juga dipengaruhi bias tafsir terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terutama, pemaknaan terhadap tujuan pendidikan nasional dalam pasal 1 ayat 2.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dalam praktiknya, kata 'nilai-nilai agama' dalam pasal itu justru digiring kepada penerapan nilai satu agama, khususnya agama mayoritas. Padahal, tulis Alamsyah, yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai universal dari beragam agama.
Jika memang iya seperti itu, sungguh, jangan sampai tujuan pendidikan ini bergeser terlampau jauh.
Baca: Ki Hadjar Dewantara, Finlandia & Bisnis Pendidikan
Pendidikan, sejatinya dicita-citakan menjadi ruang yang memerdekakan. Tanpa diskriminasi, tidak membeda-bedakan. Persis kritik yang pernah dilontarkan Ki Hadjar terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda. Bukan pendidikan, bila tak membebaskan.
“Di sekolah ini aku bertemu dengan sahabat-sahabat dari Andalas, Sulawesi, Ambon, Timor, bahwa bukan hanya Pakualaman, tetapi seluruh Nusantara ini sedang menanti datangnya pembebas,” tulis Ki Hajar dalam surat yang ditujukan kepada R.A Suhartinah pada 2 Mei 1889.
Pendidikan, sepatutnya kembali meng-Indonesia. Bukan sekadar membangun intelektualitas, tapi juga moral yang unggul dalam menghargai kemajemukan.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/yKX84O9K" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Dua bulan sebelum berpulang, Ki Hadjar Dewantara berpesan;
Kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu, apakah Ki Hadjar itu seorang nasionalis, radikalis, sosialis, demokrat, humanis, ataukah tradisionalis, maka katakanlah; bahwa aku hanyalah orang Indonesia biasa saja, yang bekerja untuk bangsa Indonesia, dengan cara Indonesia.
Menjelmakan diri sebagai Indonesia, jadi sesuatu yang amat diwanti-wanti oleh pelopor pendidikan nasional ini. Itu makanya, kian aneh jika makin ke sini, dunia pendidikan kita malah menunjukkan watak sektarianisme berlebih.
Mengejutkan, misalnya, dari hasil penelitian Kementerian Pendidikan dan Budaya tentang tingkat toleransi di sekolah di Singkawang dan Salatiga yang dirilis pekan lalu; ada keengganan siswa untuk
dipimpin ketua OSIS yang berbeda agama.
Faktornya, bisa dua sumber.
Pertama, dari luar. Semacam imbas dari bisingnya sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) selama perhelatan Pilkada DKI Jakarta. Sebagaimana dimafhum bersama, hajat demokrasi itu tidak cuma menguras energi warga Ibukota, tapi juga merangsek hingga ke pelosok daerah.
Baca: Isu SARA Pilkada DKI Dinilai Menjalar ke Sektor Pendidikan
Kedua, bisa jadi, dari lingkungan sekolah itu sendiri. Soal ini, bagus juga saran yang dilontarkan aktivis pendidikan Henny Supolo Sitepu. Katanya, dalam melaksanakan akreditasi sekolah, perlu juga memasukkan variabel yang mendukung terciptanya situasi yang inklusif dalam ruang pendidikan.
"Seberapa jauh sekolah memiliki program yang memperlihatkan keragaman dengan toleransi, keikutsertaraan dan kerjasama. Toleransi bisa dilihat konkretnya dengan adanya kerjasama," kata Henny di Kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Selasa 2 Mei 2017.
Sikap eksklusif, bahkan intoleran, sebenarnya bukan perkara baru dalam dunia pendidikan nasional. Hal ini sudah menjangkit sejak dulu, terutama dalam satu dekade terakhir.
Survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) pada Oktober 2010 hingga Januari 2011, menunjukkan hampir 50% pelajar setuju tindakan radikal. Data itu menyebutkan 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Sementara 84,8% siswa dan 76,2% guru setuju dengan penerapan syariat Islam di Indonesia.
Sementara, jumlah yang menyatakan setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama mencapai 52,3% siswa. Gilanya, sebesar 14,2% membenarkan serangan bom.
Mengembalikan khitah pendidikan
Toleransi, sejatinya begitu penting dalam membangun proses pendidikan yang baik. Keragaman tradisi, budaya, serta identitas lainnya di Indonesia justru merupakan peluang sekaligus trik dalam mengembangkan pengetahuan.
Maka, pendidikan, sangat tidak lazim mempermasalahkan perbedaan yang hadir. Dalam
Teologi Pendidikan (2001), Jalaluddin menyebut ada tiga pandangan, yang dua di antaranya dianggap sebagai penghambat pendidikan.
Pertama, pandangan kaum primordialis. Mereka menganggap bahwa perbedaan SARA adalah sumber utama yang melahirkan benturan-benturan kepentingan etnis maupun agama.
Kedua, pandangan kaum instrumentalis. SARA ditafsiri sebagai alat yang digunakan individu atau kelompok tertentu untuk mencapai tujuan materil maupun non-materiil.
Kasarnya, pandangan ini adalah gaya para politisi dan para elite yang memanfaatkan sensitivitas kelompok untuk mencapai tujuan.
Berbeda dengan yang
ketiga, padangan konstruktivis. Sebuah perspektif yang lebih memaklumi bahwa identitas kelompok bersifat dinamis dan tidak kaku. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah hingga membentuk jaringan relasi pergaulan sosial.
Ya, jangan-jangan, masih banyak pendidik di Indonesia yang belum menempatkan perbedaan dalam konstruksi pandangan yang baik.
Dua tahun lalu, peneliti Wahid Foundation Alamsyah M. Djafar menulis esai berjudul
Intoleransi Kaum Pelajar. Di dalamnya disebut; lemahnya penerjemahan visi penyemaian toleransi di sekolah-sekolah menjadi akar masalah. Praktiknya, sebagian pimpinan sekolah dan guru abai terhadap benih-benih diskriminasi dan intoleransi.
"Sekolah negeri yang semestinya menjadi lumbung persemaian toleransi, malah ditemukan fakta-fakta yang berpunggungan," tulis Alamsyah.
Atau, tantangan itu mungkin juga dipengaruhi bias tafsir terhadap UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Terutama, pemaknaan terhadap tujuan pendidikan nasional dalam pasal 1 ayat 2.
Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
Dalam praktiknya, kata 'nilai-nilai agama' dalam pasal itu justru digiring kepada penerapan nilai satu agama, khususnya agama mayoritas. Padahal, tulis Alamsyah, yang dimaksud di sana adalah nilai-nilai universal dari beragam agama.
Jika memang iya seperti itu, sungguh, jangan sampai tujuan pendidikan ini bergeser terlampau jauh.
Baca: Ki Hadjar Dewantara, Finlandia & Bisnis Pendidikan
Pendidikan, sejatinya dicita-citakan menjadi ruang yang memerdekakan. Tanpa diskriminasi, tidak membeda-bedakan. Persis kritik yang pernah dilontarkan Ki Hadjar terhadap sistem pendidikan kolonial Belanda. Bukan pendidikan, bila tak membebaskan.
“Di sekolah ini aku bertemu dengan sahabat-sahabat dari Andalas, Sulawesi, Ambon, Timor, bahwa bukan hanya Pakualaman, tetapi seluruh Nusantara ini sedang menanti datangnya pembebas,” tulis Ki Hajar dalam surat yang ditujukan kepada R.A Suhartinah pada 2 Mei 1889.
Pendidikan, sepatutnya kembali meng-Indonesia. Bukan sekadar membangun intelektualitas, tapi juga moral yang unggul dalam menghargai kemajemukan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)