Suasana sidang pairpurna parlemen di DPR RI, Jakarta. (foto: MI/Susanto Santo )
Suasana sidang pairpurna parlemen di DPR RI, Jakarta. (foto: MI/Susanto Santo )

Nasib Anggota Legislatif dalam UU Pilkada

Sobih AW Adnan • 01 Juni 2016 22:41
medcom.id, Jakarta: Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) rampung dilaksanakan. Beberapa poin yang sebelumnya dianggap krusial berhasil disepakati. Namun ihwal apakah konsekuensi mundur sebagai keanggotaan diwajibkan bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), atau anggota DPRD yang dinyatakan resmi sebagai calon peserta Pilkada masih mengalami tarik ulur.
 
Saat sesi pandangan mini fraksi dalam rapat kerja Komisi II DPR RI bersama pemerintah Selasa (31/5/2016), kemarin, delapan dari sepuluh fraksi menyepakati saran pemerintah untuk mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) berupa keharusan mundur bagi yang turut dalam pertarungan pemilihan kepala daerah. Sementara dua fraksi yang tersisa, yakni Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberikan pandangan berbeda.
 
"Karena elected official, maka cukup cuti di luar tanggungan atau mundur dari posisi AKD (Alat Kelengkapan Dewan)," kata anggota Komisi II DPR RI Fraksi Gerindra Endro Hermono.

Baca: 8 Fraksi Sekapat Anggota DPR Mundur Saat Nyalon di Pilkada
 
Kesepakatan tak jua mewujud hingga pandangan mini fraksi tuntas digelar. Baik Fraksi Partai Gerindera maupun Fraksi PKS beranggapan, keharusan mundur sebagai anggota bagi peserta Pilkada sebagai anggota legislatif menunjukkan ketidak-pastian hukum atas putusan MK.
 
Putusan MK
 
Keharusan mundurnya dari keanggotaan bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang secara resmi dinyatakan menjadi peserta Pilkada diatur dalam putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Putusan itu disahkan pada 6 Juli 2015 setelah beberapa kali dilakukan pengujian.
 
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan bahwa putusan MK yang disarankan pemerintah untuk diikuti memang bersifat mengikat. Namun, menurut Refly, bukan berarti hal itu menutup peluang untuk melakukan judicial review alias hak uji materi di MK.
 
"Secara fakta itu pernah terjadi pada syarat domisili calon anggota DPD. Awalnya menjelang Pemilu 2009, anggota DPD mengajukan judical review, mempermasalahkan soal domisili di mana tertulis berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mereka mengatakan tidak bisa, harus berdomisili di provinsi masing-masing. Kemudian MK mengabulkan. Maka jika menjadi anggota DPD harus berdomisili di provinsi masing-masing dengan menunjukan kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP)," kata Refly dalam siaran Metro Pagi di Metro TV, Rabu (1/6/2016).
 

 
Namun setelah itu, lanjut Refly, permasalahan muncul di saat berlakunya KTP tunggal menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Anggota DPD yang berdomisili di Jakarta merasa kesulitan untuk menunjukkan keterwakilan mereka di provinsi masing-masing.
 
"Sehingga klausul berdomisili di wilayah NKRI itu hidup kembali dan tidak ada yang mempermasalahkan. Padahal pasal itu sebelumnya sudah dibatalkan MK," kata dia.
 
Refly menilai, proses itu memiliki kemungkinan yang sama dengan apa yang dihasilkan dalam sidang pembahasan revisi UU Pilkada kemarin. Hal yang telah dibatalkan atau diputuskan MK masih sangat berkemungkinan untuk ditinjau ulang.
 
"Apakah hal yang dibatalkan MK tersebut akan dihidupkan kembali oleh DPR?, kalau dihidupkan apakah kemudian akan dibatalkan kembali oleh MK jika ada yang mengajukan permohonan tersebut," ujar Refly.
 
Dari pandangan hukum tata negara, Refly mengatakan putusan MK khusus pada poin mundur tidaknya anggota legislatif saat Pilkada ini juga boleh disoal. Menurut dia MK semestinya tidak membatasi ruang gerak dan karir politik para kader partai, termasuk yang tengah menjabat sebagai anggota dewan untuk mengikuti pencalonan kepala daerah.
 
"Dari sisi materi apa yang diperjuangkan DPR itu benar. Karena kita harus membagi jabatan dalam ranah politik dan nonpolitik. Kalau mau fair, maka sesungguhya yang tidak boleh dilakukan anggota-anggota partai politik itu menyeberang ke jabatan nonpolitik, semisal menjadi hakim MK, hakim Komisi Yudisial (KY), BPK, atau lembaga setingkat lainnya. Tapi sebaliknya mereka juga harus dibiarkan dalam mencari karir politiknya dalam jabatan-jabatan di ranah politik," ujar Refly.
 
Terkait adanya kesan diskriminasi bagi calon peserta Pilkada dari Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), atau Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang secara otomatis mundur dari keanggotaan, mantan Ketua Tim Anti Mafia MK ini berpendapat kedua hal itu tidak bisa disamakan. Menurut Refly, hal itu memang tidak diperbolehkan rangkap jabatan karena melintasi status jabatan publik non politis menuju ranah politik.
 
"Karena (sesama jalur politik) umum sekali, misal Barack Obama ketika mencalonkan diri sebagai Presiden juga masih menjabat sebagai senator. Atau Presiden Jokowi sendiri ketika menjadi calon Presiden masih menjabat Gubernur DKI. Karena ini adalah jabatan ranah politik di mana meningkatkan karir politik adalah bagian dari orang yang membangun karir di sana," ujar dia.
 
Niat awal
 
Keharusan mundur anggota legislatif saat menjadi peserta Pilkada tidak hanya bisa diukur dari pandangan hukum belaka. Pengaman politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat pentingnya mengikuti apa yang sudah diputuskan MK lebih menekankan pada aspek substansional yang mencakup profesionalitas dan niat awal yang positif bagi para pejabat publik sebagai pengabdi negara.
 
"Kemudian dampaknya kalau persyaratan itu dihapuskan nanti menciptakan banyak politisi petualang. Bukankah mereka sudah berjanji dan bersumpah kesetiaan tugas (sebagai anggota legislatif)?. Tapi baru dua tahun misalnya mereka beralih. Artinya, nanti sirkulasi kader di partai itu juga terhambat, kader-kader tidak mendapatkan porsinya, karena hanya mengandalkan PAW (pergantian antarwaktu) atau lainnya," kata Zuhro kepada Metrotvnews.com, Rabu (1/6/2016).
 
Zuhro mengaku dilibatkan sebagai tim harmonisasi saat perumusan draf UU tersebut berada di wilayah pemerintah. Perbincangan yang hadir saat itu, kata dia, lebih condong pada pertimbangan putusan MK untuk mengurangi ketidak-konsistenan pejabat publik, terutama bagi para anggota legislatif di saat berlangsungnya pesta demokrasi di daerah.
 
"Kami memandang lebih pada substansi. Yang jadi masalah di negara kita sekarang sudah terlalu banyak petualang politik. Mereka itu pejabat publik, semestinya mereka bernawaitu (niat) di bidang itu. Mereka tidak konsentrasi," kata dia.
 
Ihwal peluang judicial review yang masih mungkin dilakukan, Zuhro menyarankan DPR menyepakati UU Pilkada bersama pemerintah dengan berdasarkan kepentingan umum. Zurho mengatakan, MK tidak tebang pilih. Pentingnya komitmen dan profesionalisme pejabat publik juga ditekan di semua ruang.
 
Baca: Tarik Ulur Revisi UU Pilkada
 
"Petahana juga sama, sudah dibahas di DPR. Kita lihat hasilnya di paripurna besok," ujar Zuhro.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ADM)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan