medcom.id, Jakarta: Pembahasan mengenai perubahan kedua Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memasuki tahap akhir. Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengagendakan UU tersebut agar bisa disahkan dalam sidang paripurna yang akan digelar 2 Juni besok.
Pembahasan peraturan yang akrab disebut UU Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) ini sebelumnya mendapatkan sorotan dari Presiden Joko Widodo karena terkesan lambat karena hanya bertumpu pada beberapa persoalan yang dianggap krusial. Melalui rapat terbatas yang dilangsungkan pada 30 Mei kemarin, Presiden mewanti-wanti DPR agar setiap usulan yang ada harus bertumpu pada kepentingan bersama dan tidak hanya bersifat sesaat.
UU Pilkada ini sebelumnya telah menjalani 25 kali uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari rangkaian sedang sebanyak itu, tujuh poin telah dikabulkan. Berdasarkan pada fakta tersebut, Presiden juga berharap agar DPR bisa menuntaskan dan segera mengesahkan peraturan tersebut sesuai dengan hasil keputusan yang diamanatkan konstitusi sesuai putusan MK.
"Jangan sampai, setelah disepakati bersama dengan DPR lalu berubah lagi karena dibatalkan Mahkamah Konstitusi," kata Presiden.
Baca: Bahas RUU Pilkada, Jokowi Ogah Terjebak Politik Jangka Pendek
Terganjal
Persidangan RUU Pilkada hampir saja rampung. Namun tiba-tiba muncul beberapa poin yang dianggap krusial dan menyita waktu persidangan hingga mengobral waktu lebih lama. Dalam sidang yang juga dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo itu, DPR masih tarik ulur pada soal kewajiban legislatif untuk melepas jabatan saat dinyatakan resmi sebagai calon dalam Pilkada, serta terkait hal yang sama untuk calon yang merupakan petahana.
Baca: Besok Komisi II Ketok Revisi RUU Pilkada
Secara bertahap persidangan dapat berlanjut, akhirnya pemerintah melalui perwakilan Kemendagri memutuskan anggota DPR, DPD, DPRD, termasuk TNI dan Polri yang resmi menjadi peserta Pilkada dinyatakan mundur. Keputusan ini sebenarnya telah sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun akhirnya diikuti juga dengan kesepakatan DPR, namun lambatnya pembahasan pada poin ini banyak menyorot perhatian publik.
Baca: Maju Pilkada, Pemerintah Wajibkan Anggota Dewan Mundur
Koordinator Program Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Yusfitriadi menyatakan tarik ulur yang terjadi di DPR pada pembahasan UU Pilkada itu bukan hal aneh. Menurut dia, proses tersebut cukup memberikan gambaran seperti apa wajah anggota legislatif sekarang ini.
"Ini semakin mempertegas bahwa regulasi dibentuk bukan untuk kepentingan rakyat, tapi hanya untuk kepentingan kelembagaan dan pribadi," kata Yusfitriadi kepada Metrotvnews.com, Senin (31/5/2016).
Menurut Yus, sepanjang perjalanan sidang terkait isu Pilkada, DPR tidak berhasil memosisikan dirinya sebagai keterwakilan rakyat. Kesan DPR ini, kata Yus, sudah lekat sejak munculnya gagasan untuk mengembalikan pemilihan secara tertutup atau melalui DPRD pada 2014 lalu.
"Pada aspek sistem, tertutup atau terbuka. Kalau kita kembali ke tertutup maka akan banyak kerugiannya," kata dia.
Ihwal calon perseorangan
Sorotan publik terhadap sikap DPR di persidangan UU Pilkada juga tampak saat mengembusnya isu untuk memperberat syarat yang ditetapkan. Syarat yang ditawarkan dalam revisi UU ini adalah calon perseorangan bisa mengikuti Pilkada jika mendapat dukungan sebesar 6,5 sampai 10 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Terkait syarat perseorangan juga hanya untuk menyorot soal Ahok. Ini juga bisa dibaca bahwa DPR terkesan ingin mengebiri calon perseorangan," kata Yusfitriadi.
Menurut Yus, guyubnya dukungan terhadap calon perseorangan sesuai dengan konstitusi. Dia menyebutkan bahwa setiap masyarakat berhak untuk memilih dan dipilih.
"Kedua jalur parpol dan perorangan itu tetap mesti dipertahankan sebagai konsepsi yang baik, agar berimbang. Akan tetapi tak perlu aneh juga jika dukungan calon perseorangan lebih unggul, karena bisa jadi kepercayaan publik terhadap parpol sudah benar-benar hilang. Ini semestinya jadi bahan evaluasi bagi para politisi dan partai tempat mereka bernaung," kata dia.
Sementara itu, pengamat politik Para Syndicate Toto Sugiarto menilai perkembangan tak menyenangkan terkait dasar pembahasan UU Pilkada pasal calon perseorangan ini disertai dengan kekhawatiran munculnya gejala deparpolisasi. Meskipun kini sudah di titik aman, Toto menyarankan agar publik tetap mengawal hingga pengesahan di sidang paripurna besok.
"Isu deparpolisasi itu sangat menyesatkan. Justru dengan jalur perseorangan adalah cambuk dan dorongan bagi parpol untuk memperbaiki diri, melakukan pengkaderan, dan membentuk sosok calon pemimpin yang ideal yang bisa menarik publik," kata Toto.
Perkembangan kurang menyenangkan pada poin ini juga masih muncul hingga jelang rampungnya pembahasan, hal tersebut menurut Toto sangat tampak ketika DPR melalui beberapa fraksi masih ada yang ingin mengurangi dan membandingkan syarat yang ditetapkan untuk jalur partai politik berupa 20-25 persen jumlah kursi.
"Sebenarnya kan sudah cukup imbang syarat untuk semua jalur. Justru saya kira pengurangan calon perseorangan itu masih lebih layak, misal cukup lima persen saja. Itu sudah menunjukkan bahwa orang itu calon yang didukung publik," kata dia.
Yang lebih layak diapresiasi, kata Toto, masih adanya partai politik yang mendukung majunya calon perseorangan. Meskipun pada sisi ini memungkinkan juga dilandasi beberapa tujuan yang berbeda.
"Parpol yang mendukung calon perseorangan itu memiliki motif tersendiri. Ada yang pragmatis, berharap bisa membangun hubungan yang erat dan membentuk konsesi pasca pemilihan. Ada juga memang didasari motif ideologis, di mana mereka merasa satu misi dan satu cita-cita politik dengan calon perseorangan yang diusung. Kemudian ada juga yang menganggap calon tersebut telah mampu membuktikan kinerjanya dan menunjukkan keseriusannya sehingga mendapat dukungan publik sehingga memiliki peluang besar untuk memenangkan pertarungan," kata Toto.
medcom.id, Jakarta: Pembahasan mengenai perubahan kedua Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memasuki tahap akhir. Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengagendakan UU tersebut agar bisa disahkan dalam sidang paripurna yang akan digelar 2 Juni besok.
Pembahasan peraturan yang akrab disebut UU Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) ini sebelumnya mendapatkan sorotan dari Presiden Joko Widodo karena terkesan lambat karena hanya bertumpu pada beberapa persoalan yang dianggap krusial. Melalui rapat terbatas yang dilangsungkan pada 30 Mei kemarin, Presiden mewanti-wanti DPR agar setiap usulan yang ada harus bertumpu pada kepentingan bersama dan tidak hanya bersifat sesaat.
UU Pilkada ini sebelumnya telah menjalani 25 kali uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari rangkaian sedang sebanyak itu, tujuh poin telah dikabulkan. Berdasarkan pada fakta tersebut, Presiden juga berharap agar DPR bisa menuntaskan dan segera mengesahkan peraturan tersebut sesuai dengan hasil keputusan yang diamanatkan konstitusi sesuai putusan MK.
"Jangan sampai, setelah disepakati bersama dengan DPR lalu berubah lagi karena dibatalkan Mahkamah Konstitusi," kata Presiden.
Baca:
Bahas RUU Pilkada, Jokowi Ogah Terjebak Politik Jangka Pendek
Terganjal
Persidangan RUU Pilkada hampir saja rampung. Namun tiba-tiba muncul beberapa poin yang dianggap krusial dan menyita waktu persidangan hingga mengobral waktu lebih lama. Dalam sidang yang juga dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo itu, DPR masih tarik ulur pada soal kewajiban legislatif untuk melepas jabatan saat dinyatakan resmi sebagai calon dalam Pilkada, serta terkait hal yang sama untuk calon yang merupakan petahana.
Baca:
Besok Komisi II Ketok Revisi RUU Pilkada
Secara bertahap persidangan dapat berlanjut, akhirnya pemerintah melalui perwakilan Kemendagri memutuskan anggota DPR, DPD, DPRD, termasuk TNI dan Polri yang resmi menjadi peserta Pilkada dinyatakan mundur. Keputusan ini sebenarnya telah sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota serta Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Meskipun akhirnya diikuti juga dengan kesepakatan DPR, namun lambatnya pembahasan pada poin ini banyak menyorot perhatian publik.
Baca:
Maju Pilkada, Pemerintah Wajibkan Anggota Dewan Mundur
Koordinator Program Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Yusfitriadi menyatakan tarik ulur yang terjadi di DPR pada pembahasan UU Pilkada itu bukan hal aneh. Menurut dia, proses tersebut cukup memberikan gambaran seperti apa wajah anggota legislatif sekarang ini.
"Ini semakin mempertegas bahwa regulasi dibentuk bukan untuk kepentingan rakyat, tapi hanya untuk kepentingan kelembagaan dan pribadi," kata Yusfitriadi kepada Metrotvnews.com, Senin (31/5/2016).
Menurut Yus, sepanjang perjalanan sidang terkait isu Pilkada, DPR tidak berhasil memosisikan dirinya sebagai keterwakilan rakyat. Kesan DPR ini, kata Yus, sudah lekat sejak munculnya gagasan untuk mengembalikan pemilihan secara tertutup atau melalui DPRD pada 2014 lalu.
"Pada aspek sistem, tertutup atau terbuka. Kalau kita kembali ke tertutup maka akan banyak kerugiannya," kata dia.
Ihwal calon perseorangan
Sorotan publik terhadap sikap DPR di persidangan UU Pilkada juga tampak saat mengembusnya isu untuk memperberat syarat yang ditetapkan. Syarat yang ditawarkan dalam revisi UU ini adalah calon perseorangan bisa mengikuti Pilkada jika mendapat dukungan sebesar 6,5 sampai 10 persen dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT).
"Terkait syarat perseorangan juga hanya untuk menyorot soal Ahok. Ini juga bisa dibaca bahwa DPR terkesan ingin mengebiri calon perseorangan," kata Yusfitriadi.
Menurut Yus, guyubnya dukungan terhadap calon perseorangan sesuai dengan konstitusi. Dia menyebutkan bahwa setiap masyarakat berhak untuk memilih dan dipilih.
"Kedua jalur parpol dan perorangan itu tetap mesti dipertahankan sebagai konsepsi yang baik, agar berimbang. Akan tetapi tak perlu aneh juga jika dukungan calon perseorangan lebih unggul, karena bisa jadi kepercayaan publik terhadap parpol sudah benar-benar hilang. Ini semestinya jadi bahan evaluasi bagi para politisi dan partai tempat mereka bernaung," kata dia.
Sementara itu, pengamat politik Para Syndicate Toto Sugiarto menilai perkembangan tak menyenangkan terkait dasar pembahasan UU Pilkada pasal calon perseorangan ini disertai dengan kekhawatiran munculnya gejala deparpolisasi. Meskipun kini sudah di titik aman, Toto menyarankan agar publik tetap mengawal hingga pengesahan di sidang paripurna besok.
"Isu deparpolisasi itu sangat menyesatkan. Justru dengan jalur perseorangan adalah cambuk dan dorongan bagi parpol untuk memperbaiki diri, melakukan pengkaderan, dan membentuk sosok calon pemimpin yang ideal yang bisa menarik publik," kata Toto.
Perkembangan kurang menyenangkan pada poin ini juga masih muncul hingga jelang rampungnya pembahasan, hal tersebut menurut Toto sangat tampak ketika DPR melalui beberapa fraksi masih ada yang ingin mengurangi dan membandingkan syarat yang ditetapkan untuk jalur partai politik berupa 20-25 persen jumlah kursi.
"Sebenarnya kan sudah cukup imbang syarat untuk semua jalur. Justru saya kira pengurangan calon perseorangan itu masih lebih layak, misal cukup lima persen saja. Itu sudah menunjukkan bahwa orang itu calon yang didukung publik," kata dia.
Yang lebih layak diapresiasi, kata Toto, masih adanya partai politik yang mendukung majunya calon perseorangan. Meskipun pada sisi ini memungkinkan juga dilandasi beberapa tujuan yang berbeda.
"Parpol yang mendukung calon perseorangan itu memiliki motif tersendiri. Ada yang pragmatis, berharap bisa membangun hubungan yang erat dan membentuk konsesi pasca pemilihan. Ada juga memang didasari motif ideologis, di mana mereka merasa satu misi dan satu cita-cita politik dengan calon perseorangan yang diusung. Kemudian ada juga yang menganggap calon tersebut telah mampu membuktikan kinerjanya dan menunjukkan keseriusannya sehingga mendapat dukungan publik sehingga memiliki peluang besar untuk memenangkan pertarungan," kata Toto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(ADM)