Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut efektif mengurangi deforestasi. Pernyataan itu membantah laporan Greenpeace Indonesia yang menilai moratorium hutan tidak mampu menekan deforestasi.
"Soal tutupan lahan yang hilang disebut lebih besar di periode moratorium, KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpeace untuk mendasarinya. Begitu pun tidak jelas metode yang dipakai dalam melakukan interpretasi atau apa yang mereka lakukan," kata Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono, dalam keterangan pers, Minggu, 11 Agustus 2019.
Sejak 2011 pemerintah menyetop sementara izin baru di hutan primer dan lahan gambut melalui instruksi presiden yang diperbarui setiap dua tahun sekali. Baru-baru ini, moratorium tersebut dipermanenkan.
Dalam laporannya, Greenpeace menyebut selama tujuh tahun sebelum moratorium (periode 2005-2011) total deforestasi sekitar 800 ribu hektare (ha). Tujuh tahun sejak moratorium diberlakukan (2012-2018), deforestasi meningkat menjadi 1,2 juta ha.
Rata-rata deforestasi tahunannya 97 ribu ha untuk periode 2005-2011 dan naik menjadi 137 ribu ha untuk 2012-2018. Greenpeace memakai data dari University of Maryland.
Efektivitas moratorium
Belinda mengungkapkan tingkat deforestasi untuk seluruh kawasan sebelum moratorium (periode 2003-2010) sekitar 0,88 ribu ha per tahun. Adapun setelah moratorium berlaku (periode 2011-2018), deforestasi turun menjadi 0,7 ribu ha per tahun.
Moratorium mencakup sekitar 66 juta ha atau sebesar 35 persen dari luas daratan Indonesia sesuai Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Di dalam PIPPIB, terdapat areal berkategori kawasan hutan, lahan gambut, dan hutan alam primer.
Di dalam kategori kawasan hutan dan lahan gambut, lanjut Belinda, terdapat areal yang tidak bertutupan hutan karena memang merupakan ekosistem alami yang dijaga seperti rawa gambut, savana, atau pun semak belukar alami.
"Deforestasi Indonesia untuk sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20 persen. Apabila hanya fokus pada areal moratorium (PIPPIB), penurunan angka deforestasinya sebesar 38 persen," ucap Belinda.
"KLHK menggunakan data resmi di bawah sistem pemantauan yang sudah dibangun secara gradual untuk memenuhi kaidah akurasi dan konsistensi," imbuhnya.
Ia menambahkan, setelah moratorium diberlakukan pada 2011, memang terjadi lonjakan angka deforestasi periode 2015 karena kejadian kebakaran hutan dan lahan. Bencana itu terjadi pada seluruh wilayah Indonesia, baik non-kawasan maupun kawasan hutan, tanah mineral maupun gambut, baik yang berhutan maupun tidak.
Baca: Greenpeace Perlu Pelajari Data Fakta Perubahan Area Konservasi Hutan
KLHK juga menampik laporan Greenpeace yang menyebut kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 turut membakar 700 ribu ha areal moratorium dari total 2,6 juta ha luas lahan yang terbakar saat itu.
"Total luas areal terbakar di Indonesia mencapai 2,6 juta ha dan 69 persen dari luas itu terjadi di luar area moratorium. Kebakaran memang juga terjadi di dalam wilayah moratorium, namun hanya 3 persen yang terjadi pada areal berhutan."
"Sisanya 97 persen terjadi pada areal yang memang tidak berhutan yaitu lahan gambut dan kawasan ekosistem alami tidak berhutan seperti savana atau semak belukar," jelas Belinda.
Adapun mengenai karhutla tahun ini, kata Belinda, total areal terbakar sekitar 135 ribu ha. Sekitar 77 persen dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau PIPPIB. Ia mengungkapkan 71 ribu ha dari 135 ribu ha lahan yang terbakar merupakan savana.
"Kebakaran yang tidak terelakkan terjadi di dalam areal moratorium bisa ditekan hingga mencapai 0,8 persen khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99,2 persen terjadi pada areal yang memang tidak berhutan."
"Jadi, bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap karhutla karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang, yakni mencapai 1 persen dari total areal terbakar," kata Belinda.
Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan moratorium pemberian izin baru hutan alam primer dan gambut efektif mengurangi deforestasi. Pernyataan itu membantah laporan Greenpeace Indonesia yang menilai moratorium hutan tidak mampu menekan deforestasi.
"Soal tutupan lahan yang hilang disebut lebih besar di periode moratorium, KLHK tidak tahu data yang dipakai Greenpeace untuk mendasarinya. Begitu pun tidak jelas metode yang dipakai dalam melakukan interpretasi atau apa yang mereka lakukan," kata Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK, Belinda Arunawati Margono, dalam keterangan pers, Minggu, 11 Agustus 2019.
Sejak 2011 pemerintah menyetop sementara izin baru di hutan primer dan lahan gambut melalui instruksi presiden yang diperbarui setiap dua tahun sekali. Baru-baru ini, moratorium tersebut dipermanenkan.
Dalam laporannya, Greenpeace menyebut selama tujuh tahun sebelum moratorium (periode 2005-2011) total deforestasi sekitar 800 ribu hektare (ha). Tujuh tahun sejak moratorium diberlakukan (2012-2018), deforestasi meningkat menjadi 1,2 juta ha.
Rata-rata deforestasi tahunannya 97 ribu ha untuk periode 2005-2011 dan naik menjadi 137 ribu ha untuk 2012-2018. Greenpeace memakai data dari University of Maryland.
Efektivitas moratorium
Belinda mengungkapkan tingkat deforestasi untuk seluruh kawasan sebelum moratorium (periode 2003-2010) sekitar 0,88 ribu ha per tahun. Adapun setelah moratorium berlaku (periode 2011-2018), deforestasi turun menjadi 0,7 ribu ha per tahun.
Moratorium mencakup sekitar 66 juta ha atau sebesar 35 persen dari luas daratan Indonesia sesuai Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Di dalam PIPPIB, terdapat areal berkategori kawasan hutan, lahan gambut, dan hutan alam primer.
Di dalam kategori kawasan hutan dan lahan gambut, lanjut Belinda, terdapat areal yang tidak bertutupan hutan karena memang merupakan ekosistem alami yang dijaga seperti rawa gambut, savana, atau pun semak belukar alami.
"Deforestasi Indonesia untuk sebelum dan sesudah moratorium mengalami penurunan sekitar 20 persen. Apabila hanya fokus pada areal moratorium (PIPPIB), penurunan angka deforestasinya sebesar 38 persen," ucap Belinda.
"KLHK menggunakan data resmi di bawah sistem pemantauan yang sudah dibangun secara gradual untuk memenuhi kaidah akurasi dan konsistensi," imbuhnya.
Ia menambahkan, setelah moratorium diberlakukan pada 2011, memang terjadi lonjakan angka deforestasi periode 2015 karena kejadian kebakaran hutan dan lahan. Bencana itu terjadi pada seluruh wilayah Indonesia, baik non-kawasan maupun kawasan hutan, tanah mineral maupun gambut, baik yang berhutan maupun tidak.
Baca: Greenpeace Perlu Pelajari Data Fakta Perubahan Area Konservasi Hutan
KLHK juga menampik laporan Greenpeace yang menyebut kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada 2015 turut membakar 700 ribu ha areal moratorium dari total 2,6 juta ha luas lahan yang terbakar saat itu.
"Total luas areal terbakar di Indonesia mencapai 2,6 juta ha dan 69 persen dari luas itu terjadi di luar area moratorium. Kebakaran memang juga terjadi di dalam wilayah moratorium, namun hanya 3 persen yang terjadi pada areal berhutan."
"Sisanya 97 persen terjadi pada areal yang memang tidak berhutan yaitu lahan gambut dan kawasan ekosistem alami tidak berhutan seperti savana atau semak belukar," jelas Belinda.
Adapun mengenai karhutla tahun ini, kata Belinda, total areal terbakar sekitar 135 ribu ha. Sekitar 77 persen dari luas terbakar tersebut terjadi di luar wilayah area moratorium atau PIPPIB. Ia mengungkapkan 71 ribu ha dari 135 ribu ha lahan yang terbakar merupakan savana.
"Kebakaran yang tidak terelakkan terjadi di dalam areal moratorium bisa ditekan hingga mencapai 0,8 persen khusus untuk areal yang bertutupan hutan alam. Sisanya 99,2 persen terjadi pada areal yang memang tidak berhutan."
"Jadi, bisa dilihat efektivitas moratorium terhadap karhutla karena luas areal berhutan yang terbakar di dalam PIPPIB sudah semakin berkurang, yakni mencapai 1 persen dari total areal terbakar," kata Belinda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)