Jakarta: Kemarau panjang yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi mendatangkan paceklik. Masyarakat kesulitan air bersih dan petani khawatir tanamannya gagal panen, terutama padi dan jagung. Sentra pangan Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi pun tak luput dari ancaman paceklik ini.
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menyebut sebanyak 39,6 persen dari 14 kabupaten sentra padi mengalami penurunan produksi akibat kemarau panjang ini. Penurunannya disebut mencapai 39,3 persen.
Berdasarkan pengamatan AB2TI, turunnya produksi saat musim kemarau sudah terjadi selama delapan tahun terakhir. “Kalau basah biasanya produksi padi meningkat. Kalau kering biasanya produksi padi menurun,” kata Ketua AB2TI Dwi Andreas, melalui keterangan tertulis, Minggu, 30 September 2018.
Jika benar kemarau akan berkepanjangan, Andreas menyatakan musim tanam padi pun akan mundur. Menurutnya, siklus tanam di musim hujan biasanya dimulai pada Oktober hingga Desember.
Melihat kondisi kemarau tahun ini, ia memprediksi musim tanam bisa mundur menjadi November. “Kalau musim tanamnya mundur, semisal mundur sebulan, berarti stok beras yang ada akan terkuras sekitar 2,5 juta ton lagi,” ujarnya.
Baca: Musim Kemarau Dimulai April
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, meskipun kemarau terbilang normal, namun bencana kekeringan tetap melanda. Khususnya di beberapa tempat di wilayah Indonesia.
“Seperti di Jawa dan Nusa Tenggara. Kemarau menyebabkan pasokan air berkurang. Debit sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut. Sumur kering dan masyarakat kekurangan air,” kata Sutopo.
Sutopo menyebut kekeringan telah melanda 11 provinsi di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa. Daerah-daerah itu sebagian besar adalah sentra beras dan jagung. Beberapa di antaranya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Banten, dan Lampung.
BNPB mendata kekeringan telah berdampak bagi 4,87 juta jiwa masyarakat. Masyarakat mengalami kekurangan air bersih sehingga harus mencari air ke sumber-sumber air di tempat lain. Sebagian juga harus membeli air bersih dan menggantungkan pada bantuan air bersih.
Di Jawa Barat, kekeringan terjadi di 22 kabupaten/kota yang meliputi 165 kecamatan, 761 desa. Alhasil, sebanyak 1,13 juta penduduk mengalami kekurangan air bersih. Di Jawa Tengah, sebanyak 854 ribu jiwa penduduk terdampak kekeringan yang terdapat di 28 kabupaten/kota, 208 kecamatan, dan 1.416 desa.
Di Nusa Tenggara Barat, sebanyak 1.23 juta jiwa penduduk terdampak kekeringan yang berada di 9 kabupaten/kota, 74 kecamatan, dan 346 desa. Begitu juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kekeringan berdampak pada sekitar 866 ribu penduduk yang tersebar di 22 kabupaten/kota, 254 kecamatan, dan 896 desa.
“Daerah-daerah yang mengalami kekeringan saat ini adalah daerah-daerah yang hampir setiap tahun terjadi kekeringan," kata Sutopo.
Pertanian terimbas
Kemarau berkepanjangan berimbas pula pada lahan pertanian. Sutopo mengatakan banyak lahan pertanian mengalami puso atau rusak. Walaupun hal ini tidak berdampak secara signifikan, namun kasus ini harus juga menjadi sorotan. Sebab, jika pertanian mengalami puso, tentu hal ini sangat berpengaruh dengan keadaan ekonomi masyarakat setempat.
“Ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat. Selain mereka harus membeli air, masyarakat, menyewa pompa, dan sebagainya. Bayangkan, dalam kondisi ini petani harus mengeluarkan biaya tambahan Rp800 ribu untuk sewa pompa dan membeli solar guna mengaliri sawahnya,” kata dia.
Kepala Pusat Layanan Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Guswanto mengatakan 60-70 persen wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau. Selama kurun 2015-2018, September menjadi puncak kemarau.
"Jelas sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian yang mengandalkan hujan,” kata dia.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/dN6E53qK" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
Jakarta: Kemarau panjang yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi mendatangkan paceklik. Masyarakat kesulitan air bersih dan petani khawatir tanamannya gagal panen, terutama padi dan jagung. Sentra pangan Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi pun tak luput dari ancaman paceklik ini.
Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menyebut sebanyak 39,6 persen dari 14 kabupaten sentra padi mengalami penurunan produksi akibat kemarau panjang ini. Penurunannya disebut mencapai 39,3 persen.
Berdasarkan pengamatan AB2TI, turunnya produksi saat musim kemarau sudah terjadi selama delapan tahun terakhir. “Kalau basah biasanya produksi padi meningkat. Kalau kering biasanya produksi padi menurun,” kata Ketua AB2TI Dwi Andreas, melalui keterangan tertulis, Minggu, 30 September 2018.
Jika benar kemarau akan berkepanjangan, Andreas menyatakan musim tanam padi pun akan mundur. Menurutnya, siklus tanam di musim hujan biasanya dimulai pada Oktober hingga Desember.
Melihat kondisi kemarau tahun ini, ia memprediksi musim tanam bisa mundur menjadi November. “Kalau musim tanamnya mundur, semisal mundur sebulan, berarti stok beras yang ada akan terkuras sekitar 2,5 juta ton lagi,” ujarnya.
Baca: Musim Kemarau Dimulai April
Sebelumnya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan, meskipun kemarau terbilang normal, namun bencana kekeringan tetap melanda. Khususnya di beberapa tempat di wilayah Indonesia.
“Seperti di Jawa dan Nusa Tenggara. Kemarau menyebabkan pasokan air berkurang. Debit sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut. Sumur kering dan masyarakat kekurangan air,” kata Sutopo.
Sutopo menyebut kekeringan telah melanda 11 provinsi di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa. Daerah-daerah itu sebagian besar adalah sentra beras dan jagung. Beberapa di antaranya adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, Banten, dan Lampung.
BNPB mendata kekeringan telah berdampak bagi 4,87 juta jiwa masyarakat. Masyarakat mengalami kekurangan air bersih sehingga harus mencari air ke sumber-sumber air di tempat lain. Sebagian juga harus membeli air bersih dan menggantungkan pada bantuan air bersih.
Di Jawa Barat, kekeringan terjadi di 22 kabupaten/kota yang meliputi 165 kecamatan, 761 desa. Alhasil, sebanyak 1,13 juta penduduk mengalami kekurangan air bersih. Di Jawa Tengah, sebanyak 854 ribu jiwa penduduk terdampak kekeringan yang terdapat di 28 kabupaten/kota, 208 kecamatan, dan 1.416 desa.
Di Nusa Tenggara Barat, sebanyak 1.23 juta jiwa penduduk terdampak kekeringan yang berada di 9 kabupaten/kota, 74 kecamatan, dan 346 desa. Begitu juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kekeringan berdampak pada sekitar 866 ribu penduduk yang tersebar di 22 kabupaten/kota, 254 kecamatan, dan 896 desa.
“Daerah-daerah yang mengalami kekeringan saat ini adalah daerah-daerah yang hampir setiap tahun terjadi kekeringan," kata Sutopo.
Pertanian terimbas
Kemarau berkepanjangan berimbas pula pada lahan pertanian. Sutopo mengatakan banyak lahan pertanian mengalami puso atau rusak. Walaupun hal ini tidak berdampak secara signifikan, namun kasus ini harus juga menjadi sorotan. Sebab, jika pertanian mengalami puso, tentu hal ini sangat berpengaruh dengan keadaan ekonomi masyarakat setempat.
“Ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat. Selain mereka harus membeli air, masyarakat, menyewa pompa, dan sebagainya. Bayangkan, dalam kondisi ini petani harus mengeluarkan biaya tambahan Rp800 ribu untuk sewa pompa dan membeli solar guna mengaliri sawahnya,” kata dia.
Kepala Pusat Layanan Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Guswanto mengatakan 60-70 persen wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau. Selama kurun 2015-2018, September menjadi puncak kemarau.
"Jelas sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian yang mengandalkan hujan,” kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)