Jakarta: Budaya sadar risiko terus digaungkan Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO). Hal ini bukan tanpa alasan, MASINDO melihat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap risiko yang ada di sekitarnya dan cara menanggulanginya masih minim.
“Apa sih kurang sadar risiko? Kita lihat contohnya, misalnya kadang kita pake motor gak pake helm. Kemudian kadang kita juga gak pake seatbelt, gak pake seatbelt. Kemudian kadang kita makan, kalau dari sisi kesehatan, misalnya makan makanan yang apa, tebal GKL ya, garam, gula, lemak, itu luar biasa gitu ya,” jelas Ketua MASINDO Dimas Syailendra dalam Diskusi Publik bertajuk “Sadar Risiko dalam Perspektif Inovasi dan Pembangunan” Rabu, 5 November 2025.
Dimas menambahkan fenomena orang-orang terjebak investasi bodong juga merupakan gambaran bahwa masyarakat masih belum memiliki kesadaran risiko setiap keputusan yang diambil.
“Jadi tadi, masyarakat kita itu adalah masyarakat yang memang jarang berpikir nanti bagaimana, masyarakat yang lebih berpikir Jadi nanti gitu ya, jadi itu yang ada di masyarakat kita,” tambahnya.
Ia pun menjelaskan faktor-faktor yang membuat kesadaran risiko masyarakat masih rendah. Salah satunya adalah kurangnya pengetahuan tentang sadar risiko.
“Mereka misalnya kurang pengetahuan, atau ada disinformasi, atau kadang masyarakat kita itu apa, apa yang terhadap risikonya, karena menganggap bahwa risikonya cuma dia yang kenal,” terangnya.
Karena itu perubahan pola pikir masyarakat dari sikap “bagaimana nanti” menjadi “nanti bagaimana”—dari pasif menjadi antisipatif terhadap risiko menjadi sangat penting.
Dalam diskusi publik yang digelar MASINDO bersama Tirto.id ini juga menghadirkan menghadirkan panelis dari berbagai lembaga, yakni Prakosa Grahayudiandono, Direktur Sistem dan Manajemen Risiko, Bappenas; Dr. Nurma Midayanti, Direktur Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS); serta Dimas Syailendra Ranadireksa, Ketua Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO).
Dalam paparannya, Prakosa menegaskan pentingnya penerapan Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadikan kebijakan pembangunan lebih adaptif terhadap ketidakpastian global dan tantangan lintas sektor.
“Tapi bisa jadi dengan kondisi keuangan, kompleksitas masyarakatnya, kemajemukan dan segala macam, itu kemudian bisa di-adjust sedemikian rupa, sesuai dengan kebutuhan masing-masing,” kata Prakosa.
Peran data statistik juga menjadi perhatian dalam forum ini. Nurma Midayanti menyoroti pentingnya pemetaan risiko sosial-ekonomi berbasis data yang akurat untuk mendukung kebijakan publik yang responsif terhadap dinamika di lapangan.
“Tanpa data yang kredibel, sulit bagi masyarakat memahami arah pembangunan. Sulit juga untuk pemerintah melegitimasi apa kebijakannya. Jadi untuk itulah, ayo kita bersama-sama sekali lagi untuk membangun literasi data sendiri,” ujar Nurma.
Melalui kegiatan ini, Tirto.id dan MASINDO berharap masyarakat semakin memahami bahwa kesadaran akan risiko bukan hanya soal mitigasi bencana, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan—mulai dari ekonomi, kesehatan, sosial, hingga gaya hidup.
“Risiko itu nyata, seringkali muncul di luar kendali kita, tapi sistemnya juga harus kita jaga. Dan yang paling penting, mudah-mudahan dari diskusi hari ini bisa menghasilkan sebuah parameter baru dalam membuat perencanaan kebijakan ke depan. Jadi harapannya, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, baik itu yang lingkup lebih kecil hingga yang sifatnya masif, juga bisa mempertimbangkan risiko harapannya,” tutur Pemimpin Redaksi
Tirto.id, Rachmadin Ismail, dalam pidato pembukaannya.
Diskusi publik ini juga diharapkan mendorong kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat sipil, dan media—untuk memperluas budaya sadar risiko nasional, terutama menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Jakarta:
Budaya sadar risiko terus digaungkan Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO). Hal ini bukan tanpa alasan, MASINDO melihat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap risiko yang ada di sekitarnya dan cara menanggulanginya masih minim.
“Apa sih kurang sadar risiko? Kita lihat contohnya, misalnya kadang kita pake motor gak pake helm. Kemudian kadang kita juga gak pake seatbelt, gak pake seatbelt. Kemudian kadang kita makan, kalau dari sisi kesehatan, misalnya makan makanan yang apa, tebal GKL ya, garam, gula, lemak, itu luar biasa gitu ya,” jelas Ketua MASINDO Dimas Syailendra dalam Diskusi Publik bertajuk “Sadar Risiko dalam Perspektif Inovasi dan Pembangunan” Rabu, 5 November 2025.
Dimas menambahkan fenomena orang-orang terjebak investasi bodong juga merupakan gambaran bahwa masyarakat masih belum memiliki kesadaran risiko setiap keputusan yang diambil.
“Jadi tadi, masyarakat kita itu adalah masyarakat yang memang jarang berpikir nanti bagaimana, masyarakat yang lebih berpikir Jadi nanti gitu ya, jadi itu yang ada di masyarakat kita,” tambahnya.
Ia pun menjelaskan faktor-faktor yang membuat kesadaran risiko masyarakat masih rendah. Salah satunya adalah kurangnya pengetahuan tentang sadar risiko.
“Mereka misalnya kurang pengetahuan, atau ada disinformasi, atau kadang masyarakat kita itu apa, apa yang terhadap risikonya, karena menganggap bahwa risikonya cuma dia yang kenal,” terangnya.
Karena itu perubahan pola pikir masyarakat dari sikap “bagaimana nanti” menjadi “nanti bagaimana”—dari pasif menjadi antisipatif terhadap risiko menjadi sangat penting.
Dalam diskusi publik yang digelar MASINDO bersama Tirto.id ini juga menghadirkan menghadirkan panelis dari berbagai lembaga, yakni Prakosa Grahayudiandono, Direktur Sistem dan Manajemen Risiko, Bappenas; Dr. Nurma Midayanti, Direktur Statistik Ketahanan Sosial Badan Pusat Statistik (BPS); serta Dimas Syailendra Ranadireksa, Ketua Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO).
Dalam paparannya, Prakosa menegaskan pentingnya penerapan Manajemen Risiko Pembangunan Nasional (MRPN) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2023. Pendekatan ini diharapkan dapat menjadikan kebijakan pembangunan lebih adaptif terhadap ketidakpastian global dan tantangan lintas sektor.
“Tapi bisa jadi dengan kondisi keuangan, kompleksitas masyarakatnya, kemajemukan dan segala macam, itu kemudian bisa di-adjust sedemikian rupa, sesuai dengan kebutuhan masing-masing,” kata Prakosa.
Peran data statistik juga menjadi perhatian dalam forum ini. Nurma Midayanti menyoroti pentingnya pemetaan risiko sosial-ekonomi berbasis data yang akurat untuk mendukung kebijakan publik yang responsif terhadap dinamika di lapangan.
“Tanpa data yang kredibel, sulit bagi masyarakat memahami arah pembangunan. Sulit juga untuk pemerintah melegitimasi apa kebijakannya. Jadi untuk itulah, ayo kita bersama-sama sekali lagi untuk membangun literasi data sendiri,” ujar Nurma.
Melalui kegiatan ini, Tirto.id dan MASINDO berharap masyarakat semakin memahami bahwa kesadaran akan risiko bukan hanya soal mitigasi bencana, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan—mulai dari ekonomi, kesehatan, sosial, hingga gaya hidup.
“Risiko itu nyata, seringkali muncul di luar kendali kita, tapi sistemnya juga harus kita jaga. Dan yang paling penting, mudah-mudahan dari diskusi hari ini bisa menghasilkan sebuah parameter baru dalam membuat perencanaan kebijakan ke depan. Jadi harapannya, kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah, baik itu yang lingkup lebih kecil hingga yang sifatnya masif, juga bisa mempertimbangkan risiko harapannya,” tutur Pemimpin Redaksi
Tirto.id, Rachmadin Ismail, dalam pidato pembukaannya.
Diskusi publik ini juga diharapkan mendorong kolaborasi berkelanjutan antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat sipil, dan media—untuk memperluas budaya sadar risiko nasional, terutama menuju Visi Indonesia Emas 2045.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(RUL)