medcom.id, Jakarta: Perkara duit memang rumit. Jika berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, adanya pengawas yang merdeka amat dibutuhkan. Merdeka, dalam artian kuat, tahan godaan, dan tidak mudah terseret permainan.
Keberadaan institusi pengawas keuangan negara sama tuanya dengan masalah-masalah yang membenalu di dalamnya. Alih-alih menjadi lembaga bersih bergengsi, badan-badan pengawas ini malah terkesan belum selesai dengan dirinya sendiri.
Lembaga sejenis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di masa Hindia Belanda saja sudah dua kali dibubarkan. Tugas Generale Visit-Kantoor pada 1808 dan Algemene Rekenkamer pada 1811 dianggap cukup lantaran tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Perkaranya, basi, dugaan adanya oknum-oknum yang keganjenan bermain mata.
"Dua kali dalam setahun, Juni dan Desember, Badan itu harus mengirim laporan umum mengenai kegiatannya, disertai data finansial terperinci kepada Pemerintahan Agung. Sayangnya, laporan-laporan ini tidak ditemukan lagi," tulis D. Diederick J. Kortlang dalam Arsip-arsip Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Lembaga-lembaga Pemerintahan Kota Batavia (2007).
Serupa De Javu, begitulah saat dua orang auditor utama BPK terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin hari. Sebelum mengawasi yang lain, baiknya mental orang-orang di dalam BPK sendiri mesti diberesi.
Apalah artinya WTP
Adalah auditor utama III BPK Rochmadi Saptogiri, Kepala Auditorat III BPK Ali Sadli, Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito, dan Kabag Itjen Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo yang ditahan KPK di Gedung BPK pada Sabtu 27 Mei 2017. Para pejabat ini diduga terlibat dalam transaksi suap.
Dalam penangkapan itu, KPK mengamankan uang Rp40 juta dan menyita uang Rp1,145 miliar dan USD3.000. Yang dahsyat, uang itu merupakan bagian dari total fee sebesar Rp240 juta yang disiapkan Sugito dan Jarot untuk 'membeli' opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari auditor BPK.
KPK memberikan keterangan pers terkait OTT BPK dan Kemendes di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/5/2017)/MI/ARYA MANGGALA
Sebegitu pentingnya kah status WTP hingga harus diraih dengan menghalalkan segala cara?
WTP adalah salah satu dari empat jenis pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan. Opini pemeriksaan itu harus didasarkan pada kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.
Hasil dari pelaksanaan tugas itu, BPK berhak melahirkan opini WTP (unqualified opinion), wajar dengan pengecualian (qualified opinion), tidak wajar (adversed opinion), atau tidak menyatakan pendapat (disclaimer of opinion) terhadap laporan keuangan sebuah institusi negara.
WTP, memang predikat yang dianggap paling bagus. Wajar saja jika sudah menjadi tradisi, lembaga-lembaga begitu gemar memburu pengakuan berdasarkan stempel yang satu ini.
Baca: Opini WTP Bukan Berarti Bebas Masalah
Padahal, WTP bukanlah cap yang memastikan lembaga itu bebas korupsi. Opini WTP yang diberikan hanya menilai tata kelola keuangan secara baik. Sementara baik, belum tentu benar.
Itu pula yang dikatakan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution. Kualitas terbaik Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016 melalui opini WTP bukan bermakna tidak ada masalah.
"Boleh senang, tetapi tidak boleh puas. Kadang-kadang itu sebenarnya tidak WTP itu belum tentu melanggar. Biasanya tugas mempertahankan atau memperbaiki lebih susah daripada mencapai," ujar Darmin seusai menghadiri penyerahan hasil audit laporan keuangan 2016 di Gedung BPK, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat 26 Mei 2017.
Apalagi, usaha memeroleh predikat wajar itu ditempuh dengan ikhtiar yang tak wajar. Ini jelas salah kaprah.
Mendefinisikan ulang predikat wajar
Kongkalikong antara oknum BPK dan sasaran tugasnya bukan sekali dua terjadi. Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2005 hingga 27 Mei 2017 mencatat, sedikitnya ada enam kasus suap yang melibatkan 23 auditor, pejabat, atau staf BPK.
Kasus jual beli WTP di BPK kerap berulang karena lemahnya pengawasan dan sanksi terhadap perilaku koruptif pegawai. Pemerintah seharusnya segera menyusun rumusan aturan yang memungkinkan terbentuknya forum guna menguji opini audit BPK. Pengujian bisa dilakukan internal kementerian dan lembaga yang mendapatkan WTP maupun dari pihak eskternal.
"Perbaiki juga tata kelola pemberian opini WTP. Ini kan ruang gelap yang penuh potensi transaksional. BPK juga harus mengevaluasi integritas para auditor," ujar peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril, Minggu 29 Mei 2017.
BPK sebagai pemberi opini wajib membendung sekecil apa pun celah terciptanya persekongkolan auditor dan lembaga yang diaudit. Lagi-lagi, ini erat hubungannya dengan bagaimana orang-orang itu direkrut menjadi bagian dari badan pengawas keuangan negara ini.
Dan lagi pula, pengertian wajar juga pada kenyataannya tidak melulu seiring sejalan dengan kondisi keuangan lembaga yang diaudit. Toh, opini WTP sering juga diterima oleh Kabupaten/Kota/Provinsi/Kementerian yang ketika atau tak jauh setelahnya, sang pimpinan malah terjerat kasus korupsi dan sejenisnya.
Sebut saja, Riau yang 4 tahun berturut-turut mendapat opini WTP sejak 2012. Tapi, tiga kali berturut pula gubernurnya berurusan dengan KPK terkait kasus korupsi. Juga Kota Palembang, 5 kali pemerintah kota itu diganjar WTP, tapi walikotanya terseret kasus suap Pilkada di MK.
Kabupaten Bangkalan juga rajin menerima stempel WTP. Tapi sang bupatinya, Fuad Amin, terjerat kasus suap, korupsi, bahkan pencucian uang. Hal serupa juga terjadi di Kota Tegal, Jawa Tengah.
Di tingkat kementerian, ada Kementerian Agama pada 2011. Tak lama setelah menyabet predikat WTP dari BPK, sang menteri malah berkelindan dengan kasus korupsi pengelolaan dana haji.
Begitu juga Kemenpora yang memperoleh WTP di setahun sebelumnya, tapi tidak memakan waktu lama, Andi Mallarangeng yang menjabat menteri malah menyandang status tersangka kasus korupsi proyek Hambalang.
Jika sudah seperti ini, mungkinkah pemberian WTP atas audit keuangan lembaga cuma sebuah status? Perebutan cap WTP seolah-olah tidak berkontribusi sama sekali dalam memerangi bahaya laten perilaku korupsi.
<iframe class="embedv" width="560" height="315" src="https://www.medcom.id/embed/yNLe7nyb" frameborder="0" scrolling="no" allowfullscreen></iframe>
medcom.id, Jakarta: Perkara duit memang rumit. Jika berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, adanya pengawas yang merdeka amat dibutuhkan. Merdeka, dalam artian kuat, tahan godaan, dan tidak mudah terseret permainan.
Keberadaan institusi pengawas keuangan negara sama tuanya dengan masalah-masalah yang membenalu di dalamnya. Alih-alih menjadi lembaga bersih bergengsi, badan-badan pengawas ini malah terkesan belum selesai dengan dirinya sendiri.
Lembaga sejenis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di masa Hindia Belanda saja sudah dua kali dibubarkan. Tugas
Generale Visit-Kantoor pada 1808 dan
Algemene Rekenkamer pada 1811 dianggap cukup lantaran tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Perkaranya, basi, dugaan adanya oknum-oknum yang keganjenan bermain mata.
"Dua kali dalam setahun, Juni dan Desember, Badan itu harus mengirim laporan umum mengenai kegiatannya, disertai data finansial terperinci kepada Pemerintahan Agung. Sayangnya, laporan-laporan ini tidak ditemukan lagi," tulis D. Diederick J. Kortlang dalam
Arsip-arsip Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Lembaga-lembaga Pemerintahan Kota Batavia (2007).
Serupa
De Javu, begitulah saat dua orang auditor utama BPK terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
kemarin hari. Sebelum mengawasi yang lain, baiknya mental orang-orang di dalam BPK sendiri mesti diberesi.
Apalah artinya WTP
Adalah auditor utama III BPK Rochmadi Saptogiri, Kepala Auditorat III BPK Ali Sadli, Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito, dan Kabag Itjen Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo yang ditahan KPK di Gedung BPK pada Sabtu 27 Mei 2017. Para pejabat ini diduga terlibat dalam transaksi suap.
Dalam penangkapan itu, KPK mengamankan uang Rp40 juta dan menyita uang Rp1,145 miliar dan USD3.000. Yang dahsyat, uang itu merupakan bagian dari total
fee sebesar Rp240 juta yang disiapkan Sugito dan Jarot untuk 'membeli' opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari auditor BPK.
KPK memberikan keterangan pers terkait OTT BPK dan Kemendes di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/5/2017)/MI/ARYA MANGGALA
Sebegitu pentingnya kah status WTP hingga harus diraih dengan menghalalkan segala cara?
WTP adalah salah satu dari empat jenis pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan. Opini pemeriksaan itu harus didasarkan pada kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan
(adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian internal.
Hasil dari pelaksanaan tugas itu, BPK berhak melahirkan opini WTP
(unqualified opinion), wajar dengan pengecualian
(qualified opinion), tidak wajar
(adversed opinion), atau tidak menyatakan pendapat
(disclaimer of opinion) terhadap laporan keuangan sebuah institusi negara.
WTP, memang predikat yang dianggap paling bagus. Wajar saja jika sudah menjadi tradisi, lembaga-lembaga begitu gemar memburu pengakuan berdasarkan stempel yang satu ini.
Baca: Opini WTP Bukan Berarti Bebas Masalah
Padahal, WTP bukanlah cap yang memastikan lembaga itu bebas korupsi. Opini WTP yang diberikan hanya menilai tata kelola keuangan secara baik. Sementara baik, belum tentu benar.
Itu pula yang dikatakan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution. Kualitas terbaik Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2016 melalui opini WTP bukan bermakna tidak ada masalah.
"Boleh senang, tetapi tidak boleh puas. Kadang-kadang itu sebenarnya tidak WTP itu belum tentu melanggar. Biasanya tugas mempertahankan atau memperbaiki lebih susah daripada mencapai," ujar Darmin seusai menghadiri penyerahan hasil audit laporan keuangan 2016 di Gedung BPK, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat 26 Mei 2017.
Apalagi, usaha memeroleh predikat wajar itu ditempuh dengan ikhtiar yang tak wajar. Ini jelas salah kaprah.
Mendefinisikan ulang predikat wajar
Kongkalikong antara oknum BPK dan sasaran tugasnya bukan sekali dua terjadi. Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2005 hingga 27 Mei 2017 mencatat, sedikitnya ada enam kasus suap yang melibatkan 23 auditor, pejabat, atau staf BPK.
Kasus jual beli WTP di BPK kerap berulang karena lemahnya pengawasan dan sanksi terhadap perilaku koruptif pegawai. Pemerintah seharusnya segera menyusun rumusan aturan yang memungkinkan terbentuknya forum guna menguji opini audit BPK. Pengujian bisa dilakukan internal kementerian dan lembaga yang mendapatkan WTP maupun dari pihak eskternal.
"Perbaiki juga tata kelola pemberian opini WTP. Ini kan ruang gelap yang penuh potensi transaksional. BPK juga harus mengevaluasi integritas para auditor," ujar peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril, Minggu 29 Mei 2017.
BPK sebagai pemberi opini wajib membendung sekecil apa pun celah terciptanya persekongkolan auditor dan lembaga yang diaudit. Lagi-lagi, ini erat hubungannya dengan bagaimana orang-orang itu direkrut menjadi bagian dari badan pengawas keuangan negara ini.
Dan lagi pula, pengertian wajar juga pada kenyataannya tidak melulu seiring sejalan dengan kondisi keuangan lembaga yang diaudit. Toh, opini WTP sering juga diterima oleh Kabupaten/Kota/Provinsi/Kementerian yang ketika atau tak jauh setelahnya, sang pimpinan malah terjerat kasus korupsi dan sejenisnya.
Sebut saja, Riau yang 4 tahun berturut-turut mendapat opini WTP sejak 2012. Tapi, tiga kali berturut pula gubernurnya berurusan dengan KPK terkait kasus korupsi. Juga Kota Palembang, 5 kali pemerintah kota itu diganjar WTP, tapi walikotanya terseret kasus suap Pilkada di MK.
Kabupaten Bangkalan juga rajin menerima stempel WTP. Tapi sang bupatinya, Fuad Amin, terjerat kasus suap, korupsi, bahkan pencucian uang. Hal serupa juga terjadi di Kota Tegal, Jawa Tengah.
Di tingkat kementerian, ada Kementerian Agama pada 2011. Tak lama setelah menyabet predikat WTP dari BPK, sang menteri malah berkelindan dengan kasus korupsi pengelolaan dana haji.
Begitu juga Kemenpora yang memperoleh WTP di setahun sebelumnya, tapi tidak memakan waktu lama, Andi Mallarangeng yang menjabat menteri malah menyandang status tersangka kasus korupsi proyek Hambalang.
Jika sudah seperti ini, mungkinkah pemberian WTP atas audit keuangan lembaga cuma sebuah status? Perebutan cap WTP seolah-olah tidak berkontribusi sama sekali dalam memerangi bahaya laten perilaku korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)