Jakarta: DPR RI diminta memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Obat dan Makanan (POM). Payung hukum melalui UU diperlukan agar masyarakat mendapat jaminan hukum jika ada pelanggaran aturan atas produk obat dan makanan.
Pengamat Kebijakan Publik UI Riant Nugroho mengatakan UU POM pada hakikatnya untuk memberikan kewenangan secara full spectrum kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dapat mengawasi sejak hulu (registrasi hingga pasca produksi) hingga hilir (post market).
"Saat ini BPOM tidak punya kewenangan memberikan sanksi seperti penutupan pabrik, jika ditemukan pelanggaran atas izin produk tertentu. Karena kewenangan penutupan pabrik ada di Kementerian Kesehatan,” ujar Riant melalui keterangan tertulis, Minggu, 4 Februari 2018.
Baca: Polisi Dukung BPOM Tarik Suplemen Ber-DNA Babi
Ia mengingatkan RUU POM pernah diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR untuk segera diprioritaskan pembahasannya. Ada beberapa aspek pada obat dan makanan yang harus diperhatikan, salah satunya keagamaan.
Pemerintah, kata dia, harus memastikan produk tersebut halal atau tidak, berdasarkan Majelis Ulama Indonesia atau Kementerian Agama. Menurut dia, BPOM saat ini hanya bertindak sebagai pengawas, bukan pengendali.
Kemenkes nantinya bertindak sebagai regulator dan BPOM sebagai operator yang mengendalikan peredaran obat dan makanan di masyarakat, bila UU telah ada.
Baca: Komisi IX Minta Jaminan Obat dan Makanan Dievaluasi
Soal temuan DNA babi pada sampel suplemen Viostin DS dan Enzyplex tablet, Riant menilai DPR perlu mengapresiasi temuan tersebut. "DPR harusnya mengapresiasi hasil temuan BPOM tersebut.”
Ia mengatakan selama ini yang mengeluarkan izin peredaran produk kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sedangkan pengawasannya berada di bawah kewenangan BPOM.
"Sehingga BPOM sama sekali tidak mempunyai kewenangan menutup pabrik produk tersebut," ucap dia.
Jakarta: DPR RI diminta memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengendalian Obat dan Makanan (POM). Payung hukum melalui UU diperlukan agar masyarakat mendapat jaminan hukum jika ada pelanggaran aturan atas produk obat dan makanan.
Pengamat Kebijakan Publik UI Riant Nugroho mengatakan UU POM pada hakikatnya untuk memberikan kewenangan secara full spectrum kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). BPOM dapat mengawasi sejak hulu (registrasi hingga pasca produksi) hingga hilir (post market).
"Saat ini BPOM tidak punya kewenangan memberikan sanksi seperti penutupan pabrik, jika ditemukan pelanggaran atas izin produk tertentu. Karena kewenangan penutupan pabrik ada di Kementerian Kesehatan,” ujar Riant melalui keterangan tertulis, Minggu, 4 Februari 2018.
Baca: Polisi Dukung BPOM Tarik Suplemen Ber-DNA Babi
Ia mengingatkan RUU POM pernah diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR untuk segera diprioritaskan pembahasannya. Ada beberapa aspek pada obat dan makanan yang harus diperhatikan, salah satunya keagamaan.
Pemerintah, kata dia, harus memastikan produk tersebut halal atau tidak, berdasarkan Majelis Ulama Indonesia atau Kementerian Agama. Menurut dia, BPOM saat ini hanya bertindak sebagai pengawas, bukan pengendali.
Kemenkes nantinya bertindak sebagai regulator dan BPOM sebagai operator yang mengendalikan peredaran obat dan makanan di masyarakat, bila UU telah ada.
Baca: Komisi IX Minta Jaminan Obat dan Makanan Dievaluasi
Soal temuan DNA babi pada sampel suplemen Viostin DS dan Enzyplex tablet, Riant menilai DPR perlu mengapresiasi temuan tersebut. "DPR harusnya mengapresiasi hasil temuan BPOM tersebut.”
Ia mengatakan selama ini yang mengeluarkan izin peredaran produk kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, sedangkan pengawasannya berada di bawah kewenangan BPOM.
"Sehingga BPOM sama sekali tidak mempunyai kewenangan menutup pabrik produk tersebut," ucap dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OJE)