Jakarta: Pemerintah mulai menemukan pola kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Pola ini mulai tampak jelas setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mengendalikan dan memetakan karhutla dalam lima tahun terakhir, yakni sejak 2015.
"Riset penting dari kerja pengendalian (karhutla) yang telah dilakukan lima tahun terakhir perlu mulai dilakukan. Sehingga, nantinya bisa ada satu pedoman bersama untuk pengendalian karhutla yang permanen," kata Menteri LHK Siti Nurbaya, melalui keterangan tertulis, Sabtu, 19 September 2020.
Riset-riset yang telah dilakukan, yakni riset mengenai reaksi dan perilaku awan, riset gambut dan teknik manajemen dan keseimbangan air (water management dan water balance), riset perilaku kubah gambut, dan berbagai riset pendukung lainnya.
Menurut Siti, penting juga langkah pelembagaan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bagi seluruh daerah. Data tersebut lantas disebarluaskan kepada pemda, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan KLHK.
"Hal ini penting agar pemda dapat menggunakan data BMKG untuk mitigasi bencana, terutama mengendalikan karhutla," kata Siti.
Kemarin, Menteri Siti bersama kepala BNPB, BMKG, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Restorasi Gambut (BRG), serta ahli klimatologi membahas dan mengevaluasi cuaca dan iklim. Pertemuan ini untuk antisipasi bencana alam yang terjadi di Indonesia, terutama karhutla dan banjir.
BMKG menyebut saat ini Indonesia masih harus terus mewaspadai anomali cuaca. Tantangan yang dihadapi adalah luasnya wilayah dengan persoalan yang dinamis di setiap daerah. Tantangan yang dihadapi adalah variabilitas cuaca atau micro-climate dapat berbeda antarwilayah.
Semisal, bila tahun lalu Indonesia berhadapan dengan ancaman karhutla, maka tahun ini beberapa wilayah dilaporkan sedang terjadi banjir. Ini semua harus bersama-sama dicermati dan antisipasi.
"Khusus untuk Karhutla, kita terus mengikuti perkembangan hotspot setiap hari. Evaluasi laporan dari lapangan dipantau setiap pagi dan malam. Ini juga penting untuk melihat efektivitas kerja pengendalian karhutla, terutama di masa pandemi," ujar Siti.
Saat ini tercatat jumlah hotspot sebanyak 1.651 titik sejak Januari - September. Jauh lebih sedikit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 18.333 titik.
"Artinya, terjadi penurunan hotspot sebanyak 91 persen," kata dia.
Pendekatan berbeda di tiap daerah
Tahun ini, untuk pengendalian karhutla, pemerintah tetap akan menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membasahi gambut dan mengisi kanal serta embung hingga Oktober. TMC untuk wilayah Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan dapat dihentikan pada Akhir Oktober.
"Kemudian, pada November akan diintensifkan untuk Kalimanten Selatan dan Kalimantan Timur," katanya.
Sementara itu, berdasarkan prakiraan cuaca, perlu dipantau cuaca untuk Aceh dan Sumatra Utara hingga Desember.
Untuk keperluan pencegahan permanen, tambah Siti, sudah dilakukan uji coba modifikasi cuaca pada Februari lalu di Riau. Hasilnya memuaskan. Uji coba modifikasi cuaca ini lantas dilakukan di Jambi dan Sumatra Selatan pada Mei - Juni, dilanjutkan di Kalimantan Barat pada Agustus.
Tantangan masih besar
Dalam mengendalikan karhutla, Siti menegaskan, masih ada tugas berat. Yakni, berkaitan dengan kegiatan pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB). Kegiatan ini akan semakin diintensifkan dan melibatkan lintas kementerian/lembaga, juga dengan keterlibatan masyarakat.
Pemerintah mengklaim berbagai upaya pengendalian karhutla di Indonesia sudah menunjukkan hasil yang cukup signifikan. Meski tantangan lapangan masih besar, namun mulai terpola dan akan terus dimatangkan.
Kepala BNPB Donny Monardo menyatakan Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah telah diminta untuk memberikan bantuan pengendalian karhutla oleh negara tetangga, yakni Australia, ketika sedang mengalami karhutla.
"Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah lebih maju dan terukur dalam pengendalian karhutla," kata Donny.
Jakarta: Pemerintah mulai menemukan pola kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia. Pola ini mulai tampak jelas setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus mengendalikan dan memetakan karhutla dalam lima tahun terakhir, yakni sejak 2015.
"Riset penting dari kerja pengendalian (karhutla) yang telah dilakukan lima tahun terakhir perlu mulai dilakukan. Sehingga, nantinya bisa ada satu pedoman bersama untuk pengendalian karhutla yang permanen," kata Menteri LHK Siti Nurbaya, melalui keterangan tertulis, Sabtu, 19 September 2020.
Riset-riset yang telah dilakukan, yakni riset mengenai reaksi dan perilaku awan, riset gambut dan teknik manajemen dan keseimbangan air (
water management dan water balance), riset perilaku kubah gambut, dan berbagai riset pendukung lainnya.
Menurut Siti, penting juga langkah pelembagaan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bagi seluruh daerah. Data tersebut lantas disebarluaskan kepada pemda, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan KLHK.
"Hal ini penting agar pemda dapat menggunakan data BMKG untuk mitigasi bencana, terutama mengendalikan karhutla," kata Siti.
Kemarin, Menteri Siti bersama kepala BNPB, BMKG, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Restorasi Gambut (BRG), serta ahli klimatologi membahas dan mengevaluasi cuaca dan iklim. Pertemuan ini untuk antisipasi bencana alam yang terjadi di Indonesia, terutama karhutla dan banjir.
BMKG menyebut saat ini Indonesia masih harus terus mewaspadai anomali cuaca. Tantangan yang dihadapi adalah luasnya wilayah dengan persoalan yang dinamis di setiap daerah. Tantangan yang dihadapi adalah variabilitas cuaca atau
micro-climate dapat berbeda antarwilayah.
Semisal, bila tahun lalu Indonesia berhadapan dengan ancaman karhutla, maka tahun ini beberapa wilayah dilaporkan sedang terjadi banjir. Ini semua harus bersama-sama dicermati dan antisipasi.
"Khusus untuk Karhutla, kita terus mengikuti perkembangan
hotspot setiap hari. Evaluasi laporan dari lapangan dipantau setiap pagi dan malam. Ini juga penting untuk melihat efektivitas kerja pengendalian karhutla, terutama di masa pandemi," ujar Siti.
Saat ini tercatat jumlah
hotspot sebanyak 1.651 titik sejak Januari - September. Jauh lebih sedikit pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 18.333 titik.
"Artinya, terjadi penurunan
hotspot sebanyak 91 persen," kata dia.