Jakarta: Mutasi virus korona (covid-19) varian E484K atau Eek belum bisa disimpulkan memberikan dampak gejala berat bagi pasien yang terinfeksi. Bukti ilmiah terhadap temuan gejala pada varian baru itu masih lemah.
"Bahwa memang dia (E484K) menyebabkan gejalanya tambah berat atau menyebabkan kematian lebih cepat misalnya, belum ada bukti yang kuat," kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, kepada Medcom.id, Rabu, 7 April 2021.
Amin mengatakan LBM Eijkman masih meneliti karakteristik dari varian E484K. Sejumlah laboratorium di berbagai negara juga tengah meneliti varian tersebut.
Menurut Amin, E484K hasil mutasi yang terjadi pada receptor binding domain (RBD) di spike protein virus. Bagian itu menempel pada organ tubuh melalui reseptor atau sel saraf yang mampu mengenali rangsangan tertentu.
Amin menyampaikan aktivitas mutasi virus berpotensi meningkatkan penularan. Aktivitas mutasi virus juga dikhawatirkan menghilangkan antibodi setelah divaksinasi.
"Dengan adanya mutasi itu dia memiliki aktivitas yang lebih tinggi. Sehingga dikhawatirkan bisa meningkatkan penularan," ujar Amin.
Upaya pencegahan merebaknya varian E484K di Indonesia harus berorientasi pada penanganan yang sama. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan gejala dari varian tersebut.
"Misalnya kita di dalam lingkungan walaupun disitu baru ditemukan varian E484K tapi tidak berarti seluruh virus itu E484K kan. Ini mungkin ada virus lain," ucap Amin.
Baca: Kemenkes Pastikan Tak Ada Lagi Pasien Terinfeksi Varian E484K
Seorang warga DKI Jakarta terpapar varian E484K dan dirawat di sebuah rumah sakit di DKI. Pasien yang tak disebutkan namanya itu dipastikan telah sembuh.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga memastikan pasien tersebut tidak memiliki riwayat bepergian ke luar negeri. Varian E484K tengah menyebar luas di Jepang.
Jakarta:
Mutasi virus korona (
covid-19) varian E484K atau Eek belum bisa disimpulkan memberikan dampak gejala berat bagi pasien yang terinfeksi. Bukti ilmiah terhadap temuan gejala pada varian baru itu masih lemah.
"Bahwa memang dia (E484K) menyebabkan gejalanya tambah berat atau menyebabkan kematian lebih cepat misalnya, belum ada bukti yang kuat," kata Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Amin Soebandrio, kepada
Medcom.id, Rabu, 7 April 2021.
Amin mengatakan LBM Eijkman masih meneliti karakteristik dari varian E484K. Sejumlah laboratorium di berbagai negara juga tengah meneliti varian tersebut.
Menurut Amin, E484K hasil mutasi yang terjadi pada
receptor binding domain (RBD) di spike protein virus. Bagian itu menempel pada organ tubuh melalui reseptor atau sel saraf yang mampu mengenali rangsangan tertentu.
Amin menyampaikan aktivitas mutasi virus berpotensi meningkatkan penularan. Aktivitas mutasi virus juga dikhawatirkan menghilangkan antibodi setelah divaksinasi.
"Dengan adanya mutasi itu dia memiliki aktivitas yang lebih tinggi. Sehingga dikhawatirkan bisa meningkatkan penularan," ujar Amin.
Upaya pencegahan merebaknya varian E484K di Indonesia harus berorientasi pada penanganan yang sama. Sebab, tidak ada yang bisa memastikan gejala dari varian tersebut.
"Misalnya kita di dalam lingkungan walaupun disitu baru ditemukan varian E484K tapi tidak berarti seluruh virus itu E484K kan. Ini mungkin ada virus lain," ucap Amin.
Baca: Kemenkes Pastikan Tak Ada Lagi Pasien Terinfeksi Varian E484K
Seorang warga DKI Jakarta terpapar varian E484K dan dirawat di sebuah rumah sakit di DKI. Pasien yang tak disebutkan namanya itu dipastikan telah sembuh.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga memastikan pasien tersebut tidak memiliki riwayat bepergian ke luar negeri. Varian E484K tengah menyebar luas di Jepang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)