Jakarta: Guru besar ilmu gizi dan kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Tria Astika Endah menilai pelarangan promosi susu formula (sufor) perlu dikaji kembali. Pelarangan tersebut seolah menyamakan antara sufor dan rokok yang juga dibatasi kegiatan promosinya seperti iklan.
Astika menekankan sufor dalam kondisi tertentu dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI). Seperti ketika ibu tengah tidak dapat menyusui.
"Susu formula ini memberikan kontribusi terhadap hak hidup bayi pada saat kondisi memang ibunya tidak bisa memberikan ASI," ujar Astika dalam keterangan tertulis, Rabu, 2 Oktober 2024.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar UMJ, Ibnu Sina Chandranegara yang menilai pelarangan promosi sufor di Peraturan Pemerintah (PP) 28 tahun 2024 lompat dari esensinya dalam memenuhi hak bayi untuk mendapat ASI. Ia menilai pelarangan tersebut tidak menjawab persoalan pemenuhan ASI kepada bayi.
“Harusnya pemenuhan pemerintah agar bayi memperoleh haknya terhadap ASI, bukan mengatur produsen dan distributor,” jelas Ibnu.
Ia menjelaskan pelarangan promosi tersebut dapat membuat interpretasi bahwa sufor sama dengan rokok. Pasalnya, esensi dari pelarangan karena sebuah produk tersebut berbahaya.
"Kalau memang pada faktanya susu formula itu adalah bahaya, maka (silahkan) dilarang. Karena konsepnya dilarang karena bahaya. Jadi (aturan itu) akan meletakkan susu formula sama seperti rokok," bebernya.
Oleh karena itu, ia menilai langkah seharusnya pemerintah melakukan berbagai tindakan guna memastikan pemberian ASI kepada bayi. Bukan menerbitkan peraturan yang tidak komprehensif dalam menyelesaikan masalah.
"Seharusnya regulasinya itu tadi, pemerintah memberikan kewajiban sampai tingkat dinas untuk memberikan jaminan nutrisi ibu yang melahirkan. Dari ekonomi menengah ke bawah," tandasnya.
Jakarta: Guru besar ilmu gizi dan kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Tria Astika Endah menilai pelarangan promosi susu formula (sufor) perlu dikaji kembali. Pelarangan tersebut seolah menyamakan antara sufor dan
rokok yang juga dibatasi kegiatan promosinya seperti iklan.
Astika menekankan sufor dalam kondisi tertentu dapat menggantikan Air Susu Ibu (ASI). Seperti ketika ibu tengah tidak dapat menyusui.
"
Susu formula ini memberikan kontribusi terhadap hak hidup bayi pada saat kondisi memang ibunya tidak bisa memberikan ASI," ujar Astika dalam keterangan tertulis, Rabu, 2 Oktober 2024.
Hal senada juga disampaikan oleh Guru Besar UMJ, Ibnu Sina Chandranegara yang menilai pelarangan promosi sufor di Peraturan Pemerintah (PP) 28 tahun 2024 lompat dari esensinya dalam memenuhi hak bayi untuk mendapat ASI. Ia menilai pelarangan tersebut tidak menjawab persoalan pemenuhan ASI kepada bayi.
“Harusnya pemenuhan pemerintah agar bayi memperoleh haknya terhadap ASI, bukan mengatur produsen dan distributor,” jelas Ibnu.
Ia menjelaskan pelarangan promosi tersebut dapat membuat interpretasi bahwa sufor sama dengan rokok. Pasalnya, esensi dari pelarangan karena sebuah produk tersebut berbahaya.
"Kalau memang pada faktanya susu formula itu adalah bahaya, maka (silahkan) dilarang. Karena konsepnya dilarang karena bahaya. Jadi (aturan itu) akan meletakkan susu formula sama seperti rokok," bebernya.
Oleh karena itu, ia menilai langkah seharusnya pemerintah melakukan berbagai tindakan guna memastikan pemberian ASI kepada bayi. Bukan menerbitkan peraturan yang tidak komprehensif dalam menyelesaikan masalah.
"Seharusnya regulasinya itu tadi, pemerintah memberikan kewajiban sampai tingkat dinas untuk memberikan jaminan nutrisi ibu yang melahirkan. Dari ekonomi menengah ke bawah," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ADN)