Jakarta: Maryati, 43, tak menyangka anaknya, Imron Saldi, meninggal setelah menenggak minuman keras (miras) oplosan bersama teman-temannya. Apalagi, dirinya mengaku mengenal teman-teman Imron dengan baik.
"Saya sudah kenal sama anak-anak itu. Sama orang tuanya juga karena rumah kita juga berdeketan satu sama lainnya," kata Maryati, kepada Medcom.id, di kediamannya, Jalan Kober, Depok, Jawa Barat, Rabu 4 April 2018.
Imron mengenal beberapa korban lain ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) di Depok, Jawa Barat. Imron mulai berkenalan dengan tiga korban lainnya, Roni, Muhamad Fajrul Falah, dan Aditya Sanjaya. Dua korban lainnya, Fajrul dan Aditya, adalah sanak saudara Imron.
"Kalau paling deket ya sama tiga itu, Roni, Fajrul, sama Aditya. Kalau sama Roni kan emang satu sekokah dasar dulu, kalau Fajrul sama Aditya kan sepupunya," ujar Maryati.
Lingkaran pertemanan masa kecilnya harus terhenti ketika Imron menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Imron memilih pindah ke Bogor, Jawa Barat, untuk melanjutkan pendidikan SMP di Pondok Pesantren Tarbiyatul Fallah.
Pendidikan Imron berlanjut hingga ke jenjang SMA di Pondok Pesantren Ibadurrahman, Tangerang, Banten. Namun, di sekolah itu, Imron tak melanjutkan pendidikannya hingga tuntas.
"Pas mau naik ke kelas dua dia bilang katanya bosan, jenuh, ingin pindah," ujar Maryati.
Menurut Maryati, keluarnya Imron dari sekolah murni karena rasa jenuh yang dialami anaknya. Imron berhenti bukan karena terjerat kasus kenakalan anak dan semacamnya.
"Bukan karena di-bully atau jadi pelaku kenakalan anak. Memang dia jenuh karena tidak cocok dengan materi pendidikan pesantren," ujarnya.
Setelah keluar dari Pondok Pesantren Ibadurrahman, Imron kembali tanah kelahirannya di Depok. Imron lantas mengikuti jejak ayahnya, Harianto, 43, dan bekerja sebagai buruh bangunan.
Di mata sang ayah, Imron dikenal sebagai sosok yang rajin dan tangguh dalam bekerja. Ia menjajal setiap tugas dan permintaan yang diberikan ayahnya, mulai dari mengecor bangunan bagian bawah, hingga memantek atap bangunan.
"Apa saja dia bisa lakukan. Mulai dari kerjain bangunan bawah hingga kerja bangunan proses bagian atas," ujar Harianto.
Tak hanya menjadi buruh bangunan, belakangan Imron diketahui bekerja menjadi juru parkir di sebuah restoran asal Bandung. Itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya yang terbilang kurang mapan.
"Dia juga bekerja sebagai juru parkir di tempat makan Soerabi Bandung yang terletak di Jalan Margonda Raya, seberang Apartemen Margonda Residence," katanya.
Meskipun dikenal sebagai sosok yang baik, mandiri dan berkemauan keras, Imron pernah kedapatan mengonsumsi miras beberapa bulan silam. Saat itu Imron mengaku diajak oleh teman-teman masa kecilnya.
"Dulu waktu awal tahun ini pernah ketahuan mabuk sama saya, pas pulang ke rumah matanya merah terus langsung tiduran di kasur. Saya tanyain, awalnya enggak ngaku. Saya tanyain terus akhirnya dia mengaku," ujarnya.
Baca: Miras Oplosan Mematikan Seluruh Jaringan Saraf
Maryati dan Harianto mengaku sudah merelakan kepergian anaknya. Keduanya berharap, dengan kejadian tersebut, bisa menjadi pelajaran bagi pemuda agar menjauhi diri dari miras dan narkotika.
"Mungkin kita kurang mengawasi anak. Tetapi semoga kejadian pada anak kita, tidak terjadi pada anak-anak lainnya. Ada hikmahnya dengan pengungkapan kasus ini," pungkas dia.
Sebelumnya, belasan pemuda mengalami petaka setelah mengonsumsi minuman keras oplosan di Depok, Jawa Barat, pada Minggu, 1 April 2018 malam. Kasus tersebut terungkap ketika beberapa di antaranya merasakan sakit kepala dan mual.
Tak lama berselang, empat orang di antaranya akhirnya tewas. Korban tewas diketahui bernama Muljafar, Andri, Imron, dan seorang perempuan bernama Ani. Keempatnya adalah warga Pondok Cina, Beji, Depok.
Jakarta: Maryati, 43, tak menyangka anaknya, Imron Saldi, meninggal setelah menenggak minuman keras (miras) oplosan bersama teman-temannya. Apalagi, dirinya mengaku mengenal teman-teman Imron dengan baik.
"Saya sudah kenal sama anak-anak itu. Sama orang tuanya juga karena rumah kita juga berdeketan satu sama lainnya," kata Maryati, kepada Medcom.id, di kediamannya, Jalan Kober, Depok, Jawa Barat, Rabu 4 April 2018.
Imron mengenal beberapa korban lain ketika duduk di bangku sekolah dasar (SD) di Depok, Jawa Barat. Imron mulai berkenalan dengan tiga korban lainnya, Roni, Muhamad Fajrul Falah, dan Aditya Sanjaya. Dua korban lainnya, Fajrul dan Aditya, adalah sanak saudara Imron.
"Kalau paling deket ya sama tiga itu, Roni, Fajrul, sama Aditya. Kalau sama Roni kan emang satu sekokah dasar dulu, kalau Fajrul sama Aditya kan sepupunya," ujar Maryati.
Lingkaran pertemanan masa kecilnya harus terhenti ketika Imron menyelesaikan pendidikan sekolah dasar. Imron memilih pindah ke Bogor, Jawa Barat, untuk melanjutkan pendidikan SMP di Pondok Pesantren Tarbiyatul Fallah.
Pendidikan Imron berlanjut hingga ke jenjang SMA di Pondok Pesantren Ibadurrahman, Tangerang, Banten. Namun, di sekolah itu, Imron tak melanjutkan pendidikannya hingga tuntas.
"Pas mau naik ke kelas dua dia bilang katanya bosan, jenuh, ingin pindah," ujar Maryati.
Menurut Maryati, keluarnya Imron dari sekolah murni karena rasa jenuh yang dialami anaknya. Imron berhenti bukan karena terjerat kasus kenakalan anak dan semacamnya.
"Bukan karena di-bully atau jadi pelaku kenakalan anak. Memang dia jenuh karena tidak cocok dengan materi pendidikan pesantren," ujarnya.
Setelah keluar dari Pondok Pesantren Ibadurrahman, Imron kembali tanah kelahirannya di Depok. Imron lantas mengikuti jejak ayahnya, Harianto, 43, dan bekerja sebagai buruh bangunan.
Di mata sang ayah, Imron dikenal sebagai sosok yang rajin dan tangguh dalam bekerja. Ia menjajal setiap tugas dan permintaan yang diberikan ayahnya, mulai dari mengecor bangunan bagian bawah, hingga memantek atap bangunan.
"Apa saja dia bisa lakukan. Mulai dari kerjain bangunan bawah hingga kerja bangunan proses bagian atas," ujar Harianto.
Tak hanya menjadi buruh bangunan, belakangan Imron diketahui bekerja menjadi juru parkir di sebuah restoran asal Bandung. Itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya yang terbilang kurang mapan.
"Dia juga bekerja sebagai juru parkir di tempat makan Soerabi Bandung yang terletak di Jalan Margonda Raya, seberang Apartemen Margonda Residence," katanya.
Meskipun dikenal sebagai sosok yang baik, mandiri dan berkemauan keras, Imron pernah kedapatan mengonsumsi miras beberapa bulan silam. Saat itu Imron mengaku diajak oleh teman-teman masa kecilnya.
"Dulu waktu awal tahun ini pernah ketahuan mabuk sama saya, pas pulang ke rumah matanya merah terus langsung tiduran di kasur. Saya tanyain, awalnya enggak ngaku. Saya tanyain terus akhirnya dia mengaku," ujarnya.
Baca: Miras Oplosan Mematikan Seluruh Jaringan Saraf
Maryati dan Harianto mengaku sudah merelakan kepergian anaknya. Keduanya berharap, dengan kejadian tersebut, bisa menjadi pelajaran bagi pemuda agar menjauhi diri dari miras dan narkotika.
"Mungkin kita kurang mengawasi anak. Tetapi semoga kejadian pada anak kita, tidak terjadi pada anak-anak lainnya. Ada hikmahnya dengan pengungkapan kasus ini," pungkas dia.
Sebelumnya, belasan pemuda mengalami petaka setelah mengonsumsi minuman keras oplosan di Depok, Jawa Barat, pada Minggu, 1 April 2018 malam. Kasus tersebut terungkap ketika beberapa di antaranya merasakan sakit kepala dan mual.
Tak lama berselang, empat orang di antaranya akhirnya tewas. Korban tewas diketahui bernama Muljafar, Andri, Imron, dan seorang perempuan bernama Ani. Keempatnya adalah warga Pondok Cina, Beji, Depok.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)