Jakarta: Kementerian Kesehatan (Kemenkes) cari cara menyiapkan kebutuhan oksigen selama pandemi covid-19. Salah satunya, menggunakan oksigen konsentrator yang harganya paling tinggi USD800 atau Rp11.574.800 (nilai tukar 1 dolar sebesar Rp14.468,50).
"Mungkin harganya berkisar USD500-800," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi IX yang diselenggarakan secara virtual, Selasa, 13 Juli 2021.
Budi menyebut penggunaan alat itu lebih mudah. Alat hanya mengandalkan listrik dan bisa mengubah udara sekitar menjadi oksigen dengan saturasi atau kadar sekitar 93 persen.
"Tinggal kita taruh dan colokin ke listrik. Oksigennya bisa mengalir. Mudah-mudahan listrik di RS jangan mati saja," beber dia.
Sejumlah negara telah menggunakan alat tersebut menghadapi keterbatasan oksigen. Salah satunya India.
"Dan kita juga menyumbang ke India oksigen konsentrator," beber Budi.
(Baca: Defisit 575 Ton/Hari, Menperin Cari Sumber Oksigen Medis Tambahan)
Strategi lain pengadaan tabung oksigen. Namun, Budi menilai pengadaan cukup berat.
Budi menyebut keterbatasan logistik mempersulit pemenuhan tabung oksigen. Distribusi juga cukup berat.
"Secara logistik membawa oksigen (tabung) itu berat, susah, dan berbahaya," ujar dia.
Budi menyampaikan pihaknya sudah menghitung kebutuhan tabung dan konsentrator. Jumlahnya sekitar 60-70 ribu unit.
Namun, pemerintah lebih mengutamakan pengadaan oksigen konsentrator. Sebab, lebih banyak kelebihan daripada tabung oksigen.
"Kita mungkin mengarahkan ke depan lebih ke oksigen konsentrator," ujar Budi.
Jakarta: Kementerian Kesehatan (
Kemenkes) cari cara menyiapkan kebutuhan oksigen selama pandemi
covid-19. Salah satunya, menggunakan
oksigen konsentrator yang harganya paling tinggi USD800 atau Rp11.574.800 (nilai tukar 1 dolar sebesar Rp14.468,50).
"Mungkin harganya berkisar USD500-800," kata Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin dalam rapat kerja (raker) bersama Komisi IX yang diselenggarakan secara virtual, Selasa, 13 Juli 2021.
Budi menyebut penggunaan alat itu lebih mudah. Alat hanya mengandalkan listrik dan bisa mengubah udara sekitar menjadi oksigen dengan saturasi atau kadar sekitar 93 persen.
"Tinggal kita taruh dan colokin ke listrik. Oksigennya bisa mengalir. Mudah-mudahan listrik di RS jangan mati saja," beber dia.
Sejumlah negara telah menggunakan alat tersebut menghadapi keterbatasan oksigen. Salah satunya India.
"Dan kita juga menyumbang ke India oksigen konsentrator," beber Budi.
(Baca:
Defisit 575 Ton/Hari, Menperin Cari Sumber Oksigen Medis Tambahan)
Strategi lain pengadaan tabung oksigen. Namun, Budi menilai pengadaan cukup berat.
Budi menyebut keterbatasan logistik mempersulit pemenuhan tabung oksigen. Distribusi juga cukup berat.
"Secara logistik membawa oksigen (tabung) itu berat, susah, dan berbahaya," ujar dia.
Budi menyampaikan pihaknya sudah menghitung kebutuhan tabung dan konsentrator. Jumlahnya sekitar 60-70 ribu unit.
Namun, pemerintah lebih mengutamakan pengadaan oksigen konsentrator. Sebab, lebih banyak kelebihan daripada tabung oksigen.
"Kita mungkin mengarahkan ke depan lebih ke oksigen konsentrator," ujar Budi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)