Jakarta: Kandidat doktor dalam bidang Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Indonesia (UI), Wajid Fauzi, menyebut negara perlu memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia (PMI) karena tingkat risiko pekerjaan yang tinggi. Hal itu juga sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
“Mereka bekerja antara lain karena faktor penarik (pull factors) di negara tujuan. Salah satu faktor penarik dari negara tujuan adalah kesempatan bekerja di luar negeri menjadi tenaga kerja yang unskilled yang sering kali tidak diminati oleh warga setempat," kata Wajid yang juga Duta Besar Indonesia untuk Suriah dalam keterangan tertulis, Kamis, 18 Januari 2024.
Wajid menuturkan kualitas pekerjaan mereka biasa dikategorikan dengan 3D (dirty, dangerous and difficult). Oleh karena itu, negara harus memberikan perlindungan kepada mereka.
Kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 dinilai sangat revolusioner. Kebijakan ini mengubah dan memperbaiki tata kelola sebelumnya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, yakni yang awalnya berorientasi pada bisnis menjadi berorientasi pada perlindungan.
Meski begitu, Wajid melihat masih banyak permasalahan yang dihadapi pekerja migran, terutama yang berasal dari dalam negeri. Seperti praktik calo saat perekrutan, pelatihan yang tidak sesuai ketentuan, dan masalah koordinasi antar pemangku kepentingan.
Wajid membuat riset berjudul “Implementasi Kebijakan Tata Kelola Perlindungan Pekerja Migran Indonesia”. Dia melakukan analisis tentang cara implementasi kebijakan dan faktor yang memengaruhinya, serta upaya dalam merumuskan arah perbaikan implementasi kebijakan.
Dari kajian itu, ditemukan adanya implementasi kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran Indonesia yang belum sepenuhnya berjalan sesuai amanat Undang-Undang (UU).
“Beberapa amanat UU sudah diimplementasikan, seperti pelaksanaan pembebasan biaya penempatan, pembentukan ?Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), maupun pemberian jaminan sosial. Namun, masih ada aturan pelaksana yang belum terselesaikan hingga sekarang," kata dia.
Padahal, undang-undang mengamanatkan batas waktu 2 tahun untuk perumusan aturan pelaksana. Peran pemerintah daerah dalam penyiapan anggaran, pendaftaran, dan pelatihan belum optimal, sehingga masih banyak kasus pekerja migran yang menempuh jalur non-procedural.
Wajid mengatakan ada tiga faktor yang memengaruhi kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia. Pertama, karakteristik masalah, indikatornya adalah perilaku calon/pekerja migran yang memilih jalur non-procedural.
Kedua, karakteristik kebijakan, indikatornya mencakup ketersediaan alokasi sumber dana, integrasi hierarki antara lembaga pelaksana, dan kejelasan peraturan pelaksanaan.
Ketiga, lingkungan kebijakan. Komitmen pimpinan tinggi di semua level menjadi faktor utama dalam implementasi kebijakan perlindungan pekerja migran.
Penelitian ini merumuskan alternatif perbaikan implementasi kebijakan dengan merujuk pada konsep tata kelola jejaring (networking governance) dari Bovaird dan Loeffler (2016). Perbaikan implementasi diarahkan untuk memastikan adanya komitmen pimpinan tertinggi pada setiap level.
Aturan pelaksanaan harus segera diselesaikan dan sosialisasi yang dilakukan perlu memperhatikan kualitas agar calon pekerja migran dapat menghindari praktik non-procedural. Selain itu, pengawasan dan penegakan hukum harus diterapkan bagi pelaku perlindungan yang lalai.
Berkat penelitian tersebut, Wajid berhasil menjadi doktor ke-40 di FIA dan ke-228 dalam Ilmu Administrasi dengan yudisium Sangat Memuaskan. Sidang promosi diketuai oleh Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M. dengan Promotor Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc. dan Co-Promotor Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ.
Adapun penguji terdiri atas Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA; Dr. Ir. Dwi Untoro P. H., S.H., M.A.; Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu, M.Si.; Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si.; dan Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si.
Jakarta: Kandidat doktor dalam bidang Ilmu Administrasi, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi (FIA),
Universitas Indonesia (UI), Wajid Fauzi, menyebut negara perlu memberikan perlindungan kepada pekerja migran Indonesia (PMI) karena tingkat risiko pekerjaan yang tinggi. Hal itu juga sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
“Mereka bekerja antara lain karena faktor penarik (
pull factors) di negara tujuan. Salah satu faktor penarik dari negara tujuan adalah kesempatan bekerja di luar negeri menjadi tenaga kerja yang
unskilled yang sering kali tidak diminati oleh warga setempat," kata Wajid yang juga Duta Besar Indonesia untuk Suriah dalam keterangan tertulis, Kamis, 18 Januari 2024.
Wajid menuturkan kualitas pekerjaan mereka biasa dikategorikan dengan 3D (dirty, dangerous and difficult). Oleh karena itu, negara harus memberikan perlindungan kepada mereka.
Kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 dinilai sangat revolusioner. Kebijakan ini mengubah dan memperbaiki tata kelola sebelumnya yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004, yakni yang awalnya berorientasi pada bisnis menjadi berorientasi pada perlindungan.
Meski begitu, Wajid melihat masih banyak permasalahan yang dihadapi pekerja migran, terutama yang berasal dari dalam negeri. Seperti praktik calo saat perekrutan, pelatihan yang tidak sesuai ketentuan, dan masalah koordinasi antar pemangku kepentingan.
Wajid membuat riset berjudul “Implementasi Kebijakan Tata Kelola Perlindungan Pekerja Migran Indonesia”. Dia melakukan analisis tentang cara implementasi kebijakan dan faktor yang memengaruhinya, serta upaya dalam merumuskan arah perbaikan implementasi kebijakan.
Dari kajian itu, ditemukan adanya implementasi kebijakan tata kelola perlindungan pekerja migran Indonesia yang belum sepenuhnya berjalan sesuai amanat Undang-Undang (UU).
“Beberapa amanat UU sudah diimplementasikan, seperti pelaksanaan pembebasan biaya penempatan, pembentukan ?Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA), maupun pemberian jaminan sosial. Namun, masih ada aturan pelaksana yang belum terselesaikan hingga sekarang," kata dia.
Padahal, undang-undang mengamanatkan batas waktu 2 tahun untuk perumusan aturan pelaksana. Peran pemerintah daerah dalam penyiapan anggaran, pendaftaran, dan pelatihan belum optimal, sehingga masih banyak kasus pekerja migran yang menempuh jalur non-procedural.
Wajid mengatakan ada tiga faktor yang memengaruhi kebijakan perlindungan pekerja migran Indonesia. Pertama, karakteristik masalah, indikatornya adalah perilaku calon/pekerja migran yang memilih jalur non-procedural.
Kedua, karakteristik kebijakan, indikatornya mencakup ketersediaan alokasi sumber dana, integrasi hierarki antara lembaga pelaksana, dan kejelasan peraturan pelaksanaan.
Ketiga, lingkungan kebijakan. Komitmen pimpinan tinggi di semua level menjadi faktor utama dalam implementasi kebijakan perlindungan pekerja migran.
Penelitian ini merumuskan alternatif perbaikan implementasi kebijakan dengan merujuk pada konsep tata kelola jejaring (networking governance) dari Bovaird dan Loeffler (2016). Perbaikan implementasi diarahkan untuk memastikan adanya komitmen pimpinan tertinggi pada setiap level.
Aturan pelaksanaan harus segera diselesaikan dan sosialisasi yang dilakukan perlu memperhatikan kualitas agar calon pekerja migran dapat menghindari praktik non-procedural. Selain itu, pengawasan dan penegakan hukum harus diterapkan bagi pelaku perlindungan yang lalai.
Berkat penelitian tersebut, Wajid berhasil menjadi doktor ke-40 di FIA dan ke-228 dalam Ilmu Administrasi dengan yudisium Sangat Memuaskan. Sidang promosi diketuai oleh Prof. Dr. Chandra Wijaya, M.Si., M.M. dengan Promotor Dr. Roy Valiant Salomo, M.Soc.Sc. dan Co-Promotor Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag.rer.publ.
Adapun penguji terdiri atas Prof. Dr. Agus Pramusinto, MDA; Dr. Ir. Dwi Untoro P. H., S.H., M.A.; Prof. Dr. Amy Yayuk Sri Rahayu, M.Si.; Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, M.Si.; dan Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)