Jakarta: Larangan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa diberlakukan sejak tahun 2020 hingga saat ini. Meskipun kebijakan tersebut mendapat protes keras dari Uni Eropa, pemerintah Indonesia tetap bersikeras mempertahankannya.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menegaskan agar tidak ada lagi ekspor bahan mentah, termasuk bijih nikel.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan kebijakan ini dengan mempertimbangkan bahwa nilai ekspor akan lebih menguntungkan apabila bijih nikel diubah menjadi komoditas yang lebih bernilai sehingga ekonomi Indonesia pun mengalami pertumbuhan.
Lantas berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2022, tercatat bahwa nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal tahun 2020.
Tak main-main, nilai ekspor turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 mencapai angka USD12,35 miliar atau melonjak hingga 263 persen jika dibandingkan tahun 2019. Sedangkan sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai USD3,40 miliar saja.
Kendati demikian, kebijakan ini justru mendapat kecaman dari Uni Eropa. Indonesia pun digugat melalui World Trade Organization (WTO) atau Organisasi perdagangan Dunia pada April 2021 terkait hilirisasi nikel yang dilakukan.
Perjuangan Indonesia Mempertahankan Hilirisasi
Gugatan yang dilakukan Uni Eropa didasarkan karena pihaknya merasa dirugikan oleh larangan ekspor bijih nikel itu. Seperti yang diketahui, Uni Eropa merupakan salah satu kawasan dari banyak negara ‘langganan’ impor nikel milik Indonesia.
Uni Eropa menyebut Indonesia telah melanggar peraturan perdagangan internasional yang sudah disepakati oleh negara-negara anggota The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT).
Indonesia dianggap melanggar Pasal XI Ayat (1), yang berisikan para negara anggota WTO tidak diizinkan adanya pembatasan atau hambatan perdagangan selain dari bea, pajak, atau pungutan lain, yang bisa diterapkan melalui kuota, izin impor atau ekspor, atau tindakan-tindakan serupa. Kebijakan Indonesia terkait juga disebut salah, jika merujuk kepada Pasal XI Ayat (2a) dan XX GATT 1994.
Pada 30 November 2022, Indonesia secara resmi dinyatakan kalah dalam gugatan Uni Eropa terkait larangan ekspor bijih nikel. Arifin Tasrif, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan inti kekalahan Indonesia adalah karena program hilirisasi Indonesia dinilai belum matang.
Pemerintah tidak serta-merta menyerah begitu saja. Indonesia lantas mengajukan banding sebagai upaya terakhir dalam mempertahankan kebijakan hilirisasi. Putusan banding ini diperkirakan akan muncul sekitar tahun 2025 atau 2026, ketika smelter di Indonesia dipastikan sudah matang.
Jakarta: Larangan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa diberlakukan sejak tahun 2020 hingga saat ini. Meskipun kebijakan tersebut mendapat protes keras dari Uni Eropa, pemerintah Indonesia tetap bersikeras mempertahankannya.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menegaskan agar tidak ada lagi ekspor bahan mentah, termasuk bijih nikel.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerapkan kebijakan ini dengan mempertimbangkan bahwa nilai ekspor akan lebih menguntungkan apabila bijih nikel diubah menjadi komoditas yang lebih bernilai sehingga ekonomi Indonesia pun mengalami pertumbuhan.
Lantas berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2022, tercatat bahwa nilai ekspor komoditas turunan nikel meningkat signifikan sejak pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor bijih nikel di awal tahun 2020.
Tak main-main, nilai ekspor turunan nikel pada Januari-Agustus 2022 mencapai angka USD12,35 miliar atau melonjak hingga 263 persen jika dibandingkan tahun 2019. Sedangkan sebelum pemberlakukan larangan ekspor bijih nikel, nilai ekspor hanya mencapai USD3,40 miliar saja.
Kendati demikian, kebijakan ini justru mendapat kecaman dari Uni Eropa. Indonesia pun digugat melalui World Trade Organization (WTO) atau Organisasi perdagangan Dunia pada April 2021 terkait hilirisasi nikel yang dilakukan.
Perjuangan Indonesia Mempertahankan Hilirisasi
Gugatan yang dilakukan Uni Eropa didasarkan karena pihaknya merasa dirugikan oleh larangan ekspor bijih nikel itu. Seperti yang diketahui, Uni Eropa merupakan salah satu kawasan dari banyak negara ‘langganan’ impor nikel milik Indonesia.
Uni Eropa menyebut Indonesia telah melanggar peraturan perdagangan internasional yang sudah disepakati oleh negara-negara anggota The General Agreement of Tariffs and Trade (GATT).
Indonesia dianggap melanggar Pasal XI Ayat (1), yang berisikan para negara anggota WTO tidak diizinkan adanya pembatasan atau hambatan perdagangan selain dari bea, pajak, atau pungutan lain, yang bisa diterapkan melalui kuota, izin impor atau ekspor, atau tindakan-tindakan serupa. Kebijakan Indonesia terkait juga disebut salah, jika merujuk kepada Pasal XI Ayat (2a) dan XX GATT 1994.
Pada 30 November 2022, Indonesia secara resmi dinyatakan kalah dalam gugatan Uni Eropa terkait larangan ekspor bijih nikel. Arifin Tasrif, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan inti kekalahan Indonesia adalah karena program hilirisasi Indonesia dinilai belum matang.
Pemerintah tidak serta-merta menyerah begitu saja. Indonesia lantas mengajukan banding sebagai upaya terakhir dalam mempertahankan kebijakan hilirisasi. Putusan banding ini diperkirakan akan muncul sekitar tahun 2025 atau 2026, ketika smelter di Indonesia dipastikan sudah matang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SUR)