medcom.id, Jakarta: Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyuapan terkait proyek gula impor. Namun, tak lama setelah pemberitaan merebak, ramai-ramai pula bantahan muncul. Katanya, tak ada hubungan antara perkara penyuapan yang melibatkan Irman dengan kelembagaan yang dipimpinnya, DPD, apalagi DPR.
Baca: Kasus Irman Tak Berhubungan dengan DPD & DPR
Polemik tentang kaitan kasus Irman dan kepemimpinannya di DPD pun muncul dan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Bantahan keterkaitannya ditengarai demi menyelamatkan keberadaan dan fungsi lembaga sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan bernegara, dari keteledoran satu-dua orang yang kerap disebut oknum. Tapi anggapan mengenai keterkaitannya juga mengemuka mengingat bagaimana pun sosok yang tengah menjadi gunjingan sekarang ini secara fakta tidak mudah dipisahkan dengan statusnya yang masih menjabat sebagai pimpinan.
Pakar ilmu politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhroh tak menyalahkan jika masyarakat terbawa isu liar tentang timbang-timbang perlu tidaknya keberadaan DPD dipertahankan. Keadaan ini, kata dia, berkenaan pada dua hal yang mestinya segera disikapi. Ketegasan dan kedewasaan Irman sebagai pejabat publik. Dan yang berikutnya, introspeksi mendalam bagi banyak pejabat lembaga negara agar persoalan serupa tidak lagi terulang.
"Irman Gusman harus segera menyatakan mundur dari posisinya sebagai pimpinan (DPD). Karena kalau tidak, maka ia sama saja menyandera DPD. Ini konsekuensi logis dari jabatan publik," kata Zuhroh saat dihubungi Metrotvnews.com, Senin (19/9/2016).
Baca: Kronologi Transaksi Suap Rp100 Juta di Rumah Irman
Irman dan celah rasuah perwakilan daerah
Mengganti keberadaan Utusan Daerah, DPD dibentuk pertama kali pada 1 Oktober 2004. Hingga satu dekade kehadiran DPD di lembaga legislatif sekarang ini, tidak dirasakan banyak hal yang muncul selain kesan kewenangannya yang terbatas, atau ketentuan internal yang tak kian jelas.
Baca: Faoruq Akui Kewenangan DPD Tidak Jelas
Zuhroh menyebut seabrek tugas dan fungsi DPD tak lain merujuk pada kepentingan mengawal keberlangsungan otonomi daerah. Aturan main yang dijelaskan dalam Pasal 22D UUD 1945 itu secara garis besar mendorong empat indikator keberhasilan pembangunan daerah, yakni meningkatkan daya saing lokal, mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan menyejahterakan rakyat daerah.
"Itu tujuan konkret otonomi daerah. Dari empat itu kira-kira ada tidak peran penting dari DPD? kalau iya apa buktinya? ada 540-an daerah tingkat provinsi, kotamadya, dan kabupaten. Apakah mereka tersentuh oleh peran penting DPD?" ujar Zuhroh.
Susahnya mengukur keberhasilan DPD dalam mengawal jalannya otonomi daerah, ditambah tersandungnya pucuk pimpinan pada kasus yang dianggap merugikan negara patut dijadikan bahan evaluasi bersama. Menurut Zuhroh, kejahatan korupsi sekarang ini tidak penting lagi dilakukan oleh siapa dengan jabatan apa. DPD dengan kewenangan yang tidak sampai pada tingkatan putusan juga membuka peluang bagi orang-orang di dalamnya untuk tergelincir pada perkara rasuah.
"Dengan posisi sebagai pimpinan tertinggi di DPD, tentu ia punya akses dan jaringan yang sangat luas dan itu mengarah pada pusat-pusat kekuasaan. Baik dari segi etika, kepatutan, maupun secara langsung yang disangkakan adalah penyalahgunaan kewenangan. Itu masuk pada jual beli pengaruh. Dari segi etika jelas tidak boleh," kata dia.
Meski lagi-lagi tak ada hubungan antara perkara Irman dan lembaganya, namun DPD semestinya memanfaatkan peristiwa ini sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi. Irman tertangkap di saat DPD masih berkeluh kesah tentang keinginan mendapatkan wewenang tambahan.
"Apakah dalam kondisi ini elok tetap menuntut kewenangan-kewenangan tambahan? Malah sebelumnya yang muncul hanya kisruh jabatan internal DPD. DPD harus mawas diri. DPD harus membangun soliditas dalam evaluasi diri," kata dia.
Belajar dari kasus Irman Gusman
Setidaknya ada tiga hal yang mendorong kehebohan kasus Irman Gusman. Pertama, Irman sebelumnya dikenal sebagai salah satu sosok yang getol menyuarakan antikorupsi. Kedua, DPD adalah lembaga yang sepi wewenang serta bukan institusi penghasil putusan. Yang berikutnya, Irman menjadi orang pertama yang mengenakan rompi oranye KPK dari kalangan DPD.
Kehebohan terus berlanjut setelah KPK membeberkan barang bukti suap yang hanya senilai 100 juta rupiah. Beberapa suara publik muncul, benarkah seorang pimpinan lembaga masih tergoda dengan iming-iming uang yang nilainya ratusan juta rupah saja?
"Kesejahteraan DPD lemah? tidak ada alasan soal itu. Anggaran yang digelontorkan DPD dan DPR itu sama. Yang membedakan cuma jumlah personelnya. Ini murni soal bermoral atau tidak. Beretika atau tidak. Itu saja," kata Zuhroh.
Persoalan yang tengah menimpa bangsa hari ini, kata Zuhroh, hanya berputar pada kelalaian oknum pejabat publik yang tidak lagi memedulikan tugas dan fungsi jabatannya. Orientasi yang muncul lebih besar ke arah politis, bukan kepentingan bangsa secara menyeluruh.
"Siapapun yang sudah berniat menjadi wakil rakyat atau pejabat lainnya sebenarnya sudah tahu dan paham apa yang mesti dikerjakan dan apa yang dilarang. Mereka sangat memahami hak dan kewajibannya. Yang diperlukan sekarang ini adalah membangun keadaban, sesuai dengan amanat sila ke dua Pancasila," ujar dia.
Apa yang menimpa Irman Gusman sepatutnya menjadi peringatan bersama. Bukan hanya bagi DPD, namun semua pejabat publik yang tengah mengemban amanat dari masyarakat juga negara. "Kita harus sadar, jika tidak amanah, maka harus terima risiko dipermalukan oleh jabatannya sendiri," ujar Zuhroh.
Baca: Irman Gusman Bicara Penangkapan Dirinya
medcom.id, Jakarta: Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Irman Gusman ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyuapan terkait proyek gula impor. Namun, tak lama setelah pemberitaan merebak, ramai-ramai pula bantahan muncul. Katanya, tak ada hubungan antara perkara penyuapan yang melibatkan Irman dengan kelembagaan yang dipimpinnya, DPD, apalagi DPR.
Baca: Kasus Irman Tak Berhubungan dengan DPD & DPR
Polemik tentang kaitan kasus Irman dan kepemimpinannya di DPD pun muncul dan menjadi buah bibir di kalangan masyarakat. Bantahan keterkaitannya ditengarai demi menyelamatkan keberadaan dan fungsi lembaga sebagai salah satu pilar penyangga kehidupan bernegara, dari keteledoran satu-dua orang yang kerap disebut oknum. Tapi anggapan mengenai keterkaitannya juga mengemuka mengingat bagaimana pun sosok yang tengah menjadi gunjingan sekarang ini secara fakta tidak mudah dipisahkan dengan statusnya yang masih menjabat sebagai pimpinan.
Pakar ilmu politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhroh tak menyalahkan jika masyarakat terbawa isu liar tentang timbang-timbang perlu tidaknya keberadaan DPD dipertahankan. Keadaan ini, kata dia, berkenaan pada dua hal yang mestinya segera disikapi. Ketegasan dan kedewasaan Irman sebagai pejabat publik. Dan yang berikutnya, introspeksi mendalam bagi banyak pejabat lembaga negara agar persoalan serupa tidak lagi terulang.
"Irman Gusman harus segera menyatakan mundur dari posisinya sebagai pimpinan (DPD). Karena kalau tidak, maka ia sama saja menyandera DPD. Ini konsekuensi logis dari jabatan publik," kata Zuhroh saat dihubungi
Metrotvnews.com, Senin (19/9/2016).
Baca: Kronologi Transaksi Suap Rp100 Juta di Rumah Irman
Irman dan celah rasuah perwakilan daerah
Mengganti keberadaan Utusan Daerah, DPD dibentuk pertama kali pada 1 Oktober 2004. Hingga satu dekade kehadiran DPD di lembaga legislatif sekarang ini, tidak dirasakan banyak hal yang muncul selain kesan kewenangannya yang terbatas, atau ketentuan internal yang tak kian jelas.
Baca: Faoruq Akui Kewenangan DPD Tidak Jelas
Zuhroh menyebut seabrek tugas dan fungsi DPD tak lain merujuk pada kepentingan mengawal keberlangsungan otonomi daerah. Aturan main yang dijelaskan dalam Pasal 22D UUD 1945 itu secara garis besar mendorong empat indikator keberhasilan pembangunan daerah, yakni meningkatkan daya saing lokal, mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan menyejahterakan rakyat daerah.
"Itu tujuan konkret otonomi daerah. Dari empat itu kira-kira ada tidak peran penting dari DPD? kalau iya apa buktinya? ada 540-an daerah tingkat provinsi, kotamadya, dan kabupaten. Apakah mereka tersentuh oleh peran penting DPD?" ujar Zuhroh.
Susahnya mengukur keberhasilan DPD dalam mengawal jalannya otonomi daerah, ditambah tersandungnya pucuk pimpinan pada kasus yang dianggap merugikan negara patut dijadikan bahan evaluasi bersama. Menurut Zuhroh, kejahatan korupsi sekarang ini tidak penting lagi dilakukan oleh siapa dengan jabatan apa. DPD dengan kewenangan yang tidak sampai pada tingkatan putusan juga membuka peluang bagi orang-orang di dalamnya untuk tergelincir pada perkara rasuah.
"Dengan posisi sebagai pimpinan tertinggi di DPD, tentu ia punya akses dan jaringan yang sangat luas dan itu mengarah pada pusat-pusat kekuasaan. Baik dari segi etika, kepatutan, maupun secara langsung yang disangkakan adalah penyalahgunaan kewenangan. Itu masuk pada jual beli pengaruh. Dari segi etika jelas tidak boleh," kata dia.
Meski lagi-lagi tak ada hubungan antara perkara Irman dan lembaganya, namun DPD semestinya memanfaatkan peristiwa ini sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi. Irman tertangkap di saat DPD masih berkeluh kesah tentang keinginan mendapatkan wewenang tambahan.
"Apakah dalam kondisi ini elok tetap menuntut kewenangan-kewenangan tambahan? Malah sebelumnya yang muncul hanya kisruh jabatan internal DPD. DPD harus mawas diri. DPD harus membangun soliditas dalam evaluasi diri," kata dia.
Belajar dari kasus Irman Gusman
Setidaknya ada tiga hal yang mendorong kehebohan kasus Irman Gusman. Pertama, Irman sebelumnya dikenal sebagai salah satu sosok yang getol menyuarakan antikorupsi. Kedua, DPD adalah lembaga yang sepi wewenang serta bukan institusi penghasil putusan. Yang berikutnya, Irman menjadi orang pertama yang mengenakan rompi oranye KPK dari kalangan DPD.
Kehebohan terus berlanjut setelah KPK membeberkan barang bukti suap yang hanya senilai 100 juta rupiah. Beberapa suara publik muncul, benarkah seorang pimpinan lembaga masih tergoda dengan iming-iming uang yang nilainya ratusan juta rupah saja?
"Kesejahteraan DPD lemah? tidak ada alasan soal itu. Anggaran yang digelontorkan DPD dan DPR itu sama. Yang membedakan cuma jumlah personelnya. Ini murni soal bermoral atau tidak. Beretika atau tidak. Itu saja," kata Zuhroh.
Persoalan yang tengah menimpa bangsa hari ini, kata Zuhroh, hanya berputar pada kelalaian oknum pejabat publik yang tidak lagi memedulikan tugas dan fungsi jabatannya. Orientasi yang muncul lebih besar ke arah politis, bukan kepentingan bangsa secara menyeluruh.
"Siapapun yang sudah berniat menjadi wakil rakyat atau pejabat lainnya sebenarnya sudah tahu dan paham apa yang mesti dikerjakan dan apa yang dilarang. Mereka sangat memahami hak dan kewajibannya. Yang diperlukan sekarang ini adalah membangun keadaban, sesuai dengan amanat sila ke dua Pancasila," ujar dia.
Apa yang menimpa Irman Gusman sepatutnya menjadi peringatan bersama. Bukan hanya bagi DPD, namun semua pejabat publik yang tengah mengemban amanat dari masyarakat juga negara. "Kita harus sadar, jika tidak amanah, maka harus terima risiko dipermalukan oleh jabatannya sendiri," ujar Zuhroh.
Baca: Irman Gusman Bicara Penangkapan Dirinya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(ADM)