Jakarta: Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan perkawinan anak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Anak dinilai memiliki hak atas hidupnya.
"Perkawinan anak bertentangan dengan hak tumbuh kembang anak dan jaminan atas rasa aman," kata Andy di Jakarta, Jumat, 26 Februari 2021.
Menurut dia, hak tumbuh kembang anak diatur dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945, sedangkan jaminan atas rasa aman diatur Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945. Perkawinan anak juga melanggar UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, perkawinan anak melanggar UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Baca: Akibat Pandemi, 2,5 Juta Gadis Berisiko jadi Pengantin Anak
Andy memiliki pengalaman pribadi terkait praktik perkawinan anak. Dia yang lahir dan besar di Kalimantan Barat, mulai kehilangan teman-temannya pada usia belasan tahun karena dikawinkan.
"Teman-teman dari etnis Tionghoa bahkan sampai dikawinkan di Taiwan. Ekonomi yang sulit menjadi alasan mereka dikawinkan sampai jauh, untuk membantu perekonomian keluarga," tutur dia.
Anak perempuan, kata dia, lebih rentan terhadap praktik perkawinan anak. Perkawinan anak terjadi bukan hanya karena faktor budaya dan ekonomi keluarga semata, tetapi ada sindikasi yang membuat perkawinan anak menjadi sesuatu yang transaksional.
Dia mendorong pembentukan strategi intervensi untuk mencegah perkawinan anak. Komnas Perempuan memandang terdapat tiga bidang bisa menjadi arah intervensi pencegahan perkawinan anak, yaitu hukum, pendidikan dan ekonomi.
"Selain intervensi melalui payung hukum dan penegakan hukum, pendidikan juga menjadi intervensi yang penting. Bagaimana sistem pendidikan nasional bisa menjadi katalis pada saat pandemi covid-19 dan pemberdayaan diri masyarakat," kata dia.
Intervensi di bidang ekonomi juga harus dilakukan. Fenomena orang-orang dengan pendidikan tinggi yang menjadi penganggur juga bisa menjadi pembenaran bagi mereka yang mendukung praktik perkawinan anak.
"Ada pembenaran sekolah tinggi juga menganggur, kemudian berpikir lebih baik anak dikawinkan," ujar Andy.
Jakarta: Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan
perkawinan anak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Anak dinilai memiliki hak atas hidupnya.
"Perkawinan anak bertentangan dengan hak tumbuh kembang anak dan jaminan atas rasa aman," kata Andy di Jakarta, Jumat, 26 Februari 2021.
Menurut dia, hak tumbuh kembang anak diatur dalam Pasal 28B Ayat (2) UUD 1945, sedangkan jaminan atas rasa aman diatur Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945.
Perkawinan anak juga melanggar UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, perkawinan anak melanggar UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, serta UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Baca:
Akibat Pandemi, 2,5 Juta Gadis Berisiko jadi Pengantin Anak
Andy memiliki pengalaman pribadi terkait praktik perkawinan anak. Dia yang lahir dan besar di Kalimantan Barat, mulai kehilangan teman-temannya pada usia belasan tahun karena dikawinkan.
"Teman-teman dari etnis Tionghoa bahkan sampai dikawinkan di Taiwan. Ekonomi yang sulit menjadi alasan mereka dikawinkan sampai jauh, untuk membantu perekonomian keluarga," tutur dia.
Anak perempuan, kata dia, lebih rentan terhadap praktik perkawinan anak. Perkawinan anak terjadi bukan hanya karena faktor budaya dan ekonomi keluarga semata, tetapi ada sindikasi yang membuat perkawinan anak menjadi sesuatu yang transaksional.
Dia mendorong pembentukan strategi intervensi untuk mencegah perkawinan anak. Komnas Perempuan memandang terdapat tiga bidang bisa menjadi arah intervensi pencegahan perkawinan anak, yaitu hukum, pendidikan dan ekonomi.
"Selain intervensi melalui payung hukum dan penegakan hukum, pendidikan juga menjadi intervensi yang penting. Bagaimana sistem pendidikan nasional bisa menjadi katalis pada saat pandemi covid-19 dan pemberdayaan diri masyarakat," kata dia.
Intervensi di bidang ekonomi juga harus dilakukan. Fenomena orang-orang dengan pendidikan tinggi yang menjadi penganggur juga bisa menjadi pembenaran bagi mereka yang mendukung praktik perkawinan anak.
"Ada pembenaran sekolah tinggi juga menganggur, kemudian berpikir lebih baik anak dikawinkan," ujar Andy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)