medcom.id, Jakarta: Perang masih berkecamuk. Tapi, kas keuangan Pemerintah Hindia Belanda sudah mendekati titik nadir.
Komisaris Jenderal Du Bus De Gesignes menyarankan pemerintah agar menyewakan pengelolaan garam kepada swasta. Meski gagasan yang dimunculkan pada 1829 itu, pada kenyataannya tak memberi dampak apa-apa selain keterpurukan yang kian menjadi.
Hubertus Marinus Charles Jonge, dalam Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi: Esai-esai Tentang Orang Madura dan Kebudayaan Madura (2012) menyebut, faktor kegagalan pemerintah kolonial dalam pengelolaan garam di Hindia Belanda di antaranya terletak pada ketidak-mampuan dalam menimbang masa kelebihan dan kekurangan produksi, ditambah banyaknya oknum pejabat yang berperilaku koruptif.
Padahal, kebijakan produksi garam modern sudah dimulai Hindia Belanda sejak 1882. Pada 25 Februari, pemerintah mengeluarkan Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, aturan tentang monopoli garam oleh negara.
Tidak boleh sembarang dalam memproduksi garam. Semuanya, harus melalui izin pemerintah. Distribusi yang dilakukan pun mesti melalui pelabuhan yang direkomendasi penguasa.
Pada 1851, Hindia Belanda tak bisa menghindari krisis garam. Pemerintah kolonial terpaksa menghentikan produksi dan menutup beberapa ladang garam.
Imbasnya, petani garam tak kalah celaka. Ironisnya lagi, perkara ini terus berulang terjadi di Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Stok dan kebutuhan
Perbandingan jumlah produksi garam dengan potensi panjang-pendeknya garis pantai, bisa benar, boleh juga tidak.
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 104.000 kilometer dari laut seluas 5,3 juta kilometer per segi. Cukup aneh memang, jika negara dengan hitung-hitungan sumber produksi sebesar itu malah kekurangan pasokan garam.
Bandingkan, misalnya, dengan Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu cuma memiliki tidak lebih dari seperempat panjang garis pantai Indonesia. Toh, mereka bisa mendaulat diri sebagai produsen garam terbesar di dunia.
Berarti, memang ada banyak faktor lain yang turut menentukan sehat tidaknya produksi garam di Indonesia. Bisa ditarik dari perhitungan iklim, teknologi, maupun persoalan pasar.
Mengutip data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada 2015 Indonesia butuh 3,75 juta ton garam. Pembagiannya, 3 juta ton untuk industri. Dan 750 ribu ton untuk konsumsi rumah tangga.
Keperluan sebanyak itu, cuma mengandalkan hasil produksi sebesar 112,87 ton/hektare alias sekitar 3 juta ton per tahun. Itu pun, merosot menjadi 2,9 juta ton di tahun ini.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dengan fakta pemenuhan kebutuhan garam yang terseok-seok itu, maka sudah sejak dulu Indonesia ditopang impor luaar negeri. Terutama, guna memenuhi kebutuhan industri.
Cuma kali ini, kata Darmin, ada sedikit perdebatan antara KKP dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait mendesak atau tidaknya impor garam. Waktu itu, KKP sempat menolak memberikan rekomendasi impor sementara pasokan garam kian menipis.
Pada akhirnya, suka atau tidak, impor garam mesti dilakukan. Namun amat disayangkan, jika dari tahun ke tahun impor melulu jadi andalan.
Baca: Laut Luas, Mengapa Indonesia Masih Perlu Impor Garam?
Kendali impor
Kalkulasi panjang garis pantai dengan hasil produksi garam di Indonesia makin tak relevan. Karena dari total wilayah yang ada, budi daya garam hanya bisa dijumpai di 44 kabupaten dengan luasan sekitar 25.830 hektare saja.
Yang tak kalah penting, tidak semua petani mampu menghasilkan garam industri. Teknologi manual yang ada biasanya cuma menghasilkan garam untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Petani di daerah pesisir, umumnya menghasilkan garam dengan kandungan natrium klorida di bawah 94 persen. Sementara dunia industri baik pangan maupun non-pangan, membutuhkan garam dengan kandungan NaCl di atas 96 persen.
Belum lagi, anomali iklim. Kehadiran La Nina sepanjang 2016-2017 turut menyumbang anjloknya tingkat produksi garam di dalam negeri.
Di sisi lain, penunjang yang turut menentukan nasib garam Indonesia adalah kondisi pasar dan segala kemungkinan permainan yang ada di dalamnya.
Ambil contoh, pendapat Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang menyebutkan bahwa kelangkaan garam bisa jadi merupakan bukti adanya pihak-pihak yang bermain. Istilah masyhurnya, kartel. Susi curiga, kelompok tersebut turut mengatur dan memainkan persediaan garam di Tanah Air.
"Dulu terjadi kebocoran impor yang dilakukan industri importir garam karena mereka mengimpor lebih dari kapasitas produksi. Sehingga separuhnya bocor ke pasar konsumsi," kata Susi.
Baca: Jawaban Susi Pudjiastuti Soal Kelangkaan Garam
Untuk itu, menurut Susi, pemerintah harus memperketat kebijakan impor. Tujuannya, tentu, melindung para petani garam lokal.
Untungnya, kini ada Undang-Undang No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam. Berdasarkan UU ini, kata Susi, KKP bertugas memberikan rekomendasi volume, jenis, dan kapan impor garam boleh dilakukan.
"Dengan pengaturan ini, mereka (kartel) tidak suka. Dari dulu impor garam industri rata-rata per tahun 2 juta ton namun bocor ke pasar garam konsumsi. Garam ini masuk pada saat petambak panen dan harga petambak jadi jatuh," kata dia.
Pada akhirnya, impor bisa dimaknai baik, bisa juga tidak. Baik, lantaran demi memenuhi kebutuhan garam nasional. Tidak, selama masih ada pihak yang dibiarkan bebas memanfaatkan kesengsaraan petani garam rakyat.
Pemerintah mesti hadir secara langsung demi meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. Jika perlu, meski mungkin akan dianggap kurang populer, negara harus berani memunculkan jurus baru setelah kasus kelangkaan garam ini.
Industri garam Indonesia perlu dibangun. Bahkan, tidak berlebihan jika dengan raodmap yang jelas Indonesia segera mempersiapkan diri menjadi salah satu negara industri garam terbaik di dunia.
Artinya, impor cuma strategi ke sekian. Jangan sampai menjadi jawaban andalan bagi pemerintah saat menemui persoalan. Atau sebaliknya, impor dimanfaatkan menjadi isu yang "digoreng" untuk kepentingan yang sama sekali tidak berdampak jangka panjang.
Teknologi modern dan pasar yang besar, dibarengi kebijakan mengembangkan industri garam yang maju, niscaya bisa menyudahi krisis sekaligus mengobati pahitnya menjadi petani garam sejak masa silam.
medcom.id, Jakarta: Perang masih berkecamuk. Tapi, kas keuangan Pemerintah Hindia Belanda sudah mendekati titik nadir.
Komisaris Jenderal Du Bus De Gesignes menyarankan pemerintah agar menyewakan pengelolaan garam kepada swasta. Meski gagasan yang dimunculkan pada 1829 itu, pada kenyataannya tak memberi dampak apa-apa selain keterpurukan yang kian menjadi.
Hubertus Marinus Charles Jonge, dalam
Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi: Esai-esai Tentang Orang Madura dan Kebudayaan Madura (2012) menyebut, faktor kegagalan pemerintah kolonial dalam pengelolaan garam di Hindia Belanda di antaranya terletak pada ketidak-mampuan dalam menimbang masa kelebihan dan kekurangan produksi, ditambah banyaknya oknum pejabat yang berperilaku koruptif.
Padahal, kebijakan produksi garam modern sudah dimulai Hindia Belanda sejak 1882. Pada 25 Februari, pemerintah mengeluarkan
Bepalingen tot Verzekering van het Zoutmonopolie, aturan tentang monopoli garam oleh negara.
Tidak boleh sembarang dalam memproduksi garam. Semuanya, harus melalui izin pemerintah. Distribusi yang dilakukan pun mesti melalui pelabuhan yang direkomendasi penguasa.
Pada 1851, Hindia Belanda tak bisa menghindari krisis garam. Pemerintah kolonial terpaksa menghentikan produksi dan menutup beberapa ladang garam.
Imbasnya, petani garam tak kalah celaka. Ironisnya lagi, perkara ini terus berulang terjadi di Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Stok dan kebutuhan
Perbandingan jumlah produksi garam dengan potensi panjang-pendeknya garis pantai, bisa benar, boleh juga tidak.
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 104.000 kilometer dari laut seluas 5,3 juta kilometer per segi. Cukup aneh memang, jika negara dengan hitung-hitungan sumber produksi sebesar itu malah kekurangan pasokan garam.
Bandingkan, misalnya, dengan Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu cuma memiliki tidak lebih dari seperempat panjang garis pantai Indonesia. Toh, mereka bisa mendaulat diri sebagai produsen garam terbesar di dunia.
Berarti, memang ada banyak faktor lain yang turut menentukan sehat tidaknya produksi garam di Indonesia. Bisa ditarik dari perhitungan iklim, teknologi, maupun persoalan pasar.
Mengutip data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), pada 2015 Indonesia butuh 3,75 juta ton garam. Pembagiannya, 3 juta ton untuk industri. Dan 750 ribu ton untuk konsumsi rumah tangga.
Keperluan sebanyak itu, cuma mengandalkan hasil produksi sebesar 112,87 ton/hektare alias sekitar 3 juta ton per tahun. Itu pun, merosot menjadi 2,9 juta ton di tahun ini.
Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dengan fakta pemenuhan kebutuhan garam yang terseok-seok itu, maka sudah sejak dulu Indonesia ditopang impor luaar negeri. Terutama, guna memenuhi kebutuhan industri.
Cuma kali ini, kata Darmin, ada sedikit perdebatan antara KKP dan Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait mendesak atau tidaknya impor garam. Waktu itu, KKP sempat menolak memberikan rekomendasi impor sementara pasokan garam kian menipis.
Pada akhirnya, suka atau tidak, impor garam mesti dilakukan. Namun amat disayangkan, jika dari tahun ke tahun impor melulu jadi andalan.
Baca: Laut Luas, Mengapa Indonesia Masih Perlu Impor Garam?
Kendali impor
Kalkulasi panjang garis pantai dengan hasil produksi garam di Indonesia makin tak relevan. Karena dari total wilayah yang ada, budi daya garam hanya bisa dijumpai di 44 kabupaten dengan luasan sekitar 25.830 hektare saja.
Yang tak kalah penting, tidak semua petani mampu menghasilkan garam industri. Teknologi manual yang ada biasanya cuma menghasilkan garam untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga.
Petani di daerah pesisir, umumnya menghasilkan garam dengan kandungan natrium klorida di bawah 94 persen. Sementara dunia industri baik pangan maupun non-pangan, membutuhkan garam dengan kandungan
NaCl di atas 96 persen.
Belum lagi, anomali iklim. Kehadiran
La Nina sepanjang 2016-2017 turut menyumbang anjloknya tingkat produksi garam di dalam negeri.
Di sisi lain, penunjang yang turut menentukan nasib garam Indonesia adalah kondisi pasar dan segala kemungkinan permainan yang ada di dalamnya.
Ambil contoh, pendapat Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang menyebutkan bahwa kelangkaan garam bisa jadi merupakan bukti adanya pihak-pihak yang bermain. Istilah masyhurnya, kartel. Susi curiga, kelompok tersebut turut mengatur dan memainkan persediaan garam di Tanah Air.
"Dulu terjadi kebocoran impor yang dilakukan industri importir garam karena mereka mengimpor lebih dari kapasitas produksi. Sehingga separuhnya bocor ke pasar konsumsi," kata Susi.
Baca: Jawaban Susi Pudjiastuti Soal Kelangkaan Garam
Untuk itu, menurut Susi, pemerintah harus memperketat kebijakan impor. Tujuannya, tentu, melindung para petani garam lokal.
Untungnya, kini ada Undang-Undang No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya dan Petambak Garam. Berdasarkan UU ini, kata Susi, KKP bertugas memberikan rekomendasi volume, jenis, dan kapan impor garam boleh dilakukan.
"Dengan pengaturan ini, mereka (kartel) tidak suka. Dari dulu impor garam industri rata-rata per tahun 2 juta ton namun bocor ke pasar garam konsumsi. Garam ini masuk pada saat petambak panen dan harga petambak jadi jatuh," kata dia.
Pada akhirnya, impor bisa dimaknai baik, bisa juga tidak. Baik, lantaran demi memenuhi kebutuhan garam nasional. Tidak, selama masih ada pihak yang dibiarkan bebas memanfaatkan kesengsaraan petani garam rakyat.
Pemerintah mesti hadir secara langsung demi meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi garam nasional. Jika perlu, meski mungkin akan dianggap kurang populer, negara harus berani memunculkan jurus baru setelah kasus kelangkaan garam ini.
Industri garam Indonesia perlu dibangun. Bahkan, tidak berlebihan jika dengan
raodmap yang jelas Indonesia segera mempersiapkan diri menjadi salah satu negara industri garam terbaik di dunia.
Artinya, impor cuma strategi ke sekian. Jangan sampai menjadi jawaban andalan bagi pemerintah saat menemui persoalan. Atau sebaliknya, impor dimanfaatkan menjadi isu yang "digoreng" untuk kepentingan yang sama sekali tidak berdampak jangka panjang.
Teknologi modern dan pasar yang besar, dibarengi kebijakan mengembangkan industri garam yang maju, niscaya bisa menyudahi krisis sekaligus mengobati pahitnya menjadi petani garam sejak masa silam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)