"Karena yang namanya bencana hidrometeorologi basah pasti tidak tidak lepas dari faktor populasi. Di mana populasi tinggi, pasti di situ bencana hidrometeorologi basah cukup dominan. Karena keterbatasan atau kemampuan dari saluran drainase primer, sekunder, tersier kita itu biasanya, dengan populasi itu mengalami degradasi," kata Abdul dalam Disaster Briefing, dilansir dari Antara, Selasa, 31 Januari 2023.
Abdul mencontohkan mengenai kemampuan drainase Jakarta. Drainase Jakarta dibuat pada periode 1960-an, yang pada saat itu populasi penduduk tidak sampai 10 juta.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Artinya kemampuan drainase ini dibanding populasi itu mungkin perbandingannya sudah tidak mencukupi untuk bisa secara optimal menampung beban populasi ini," kata dia.
Baca: BNPB Minta Pemda Sulut Koordinasi dengan BMKG untuk Monitoring Cuaca |
Tekanan populasi tersebut memberikan dampak seperti ada pendangkalan drainase. Akibatnya terjadi sedimentasi, surface run off, dan utamanya sampah, yang kemudian ini menjadi bencana rutin di setiap kota-kota besar.
"Yang sepanjang daerah aliran sungainya mungkin tidak bisa kita clear-kan, kita tidak bisa kita preserve, tidak bisa kita bersihkan, atau tidak bisa kita proteksi dari intervensi langsung manusia, khususnya dalam hal ini mungkin pemukiman pemukiman di sepanjang bantaran sungai," ujar Abdul.
Menurut dia, apa pun alasannya, apa pun kondisi psikososial ekonomi budayanya, drainase di kota-kota besar harus dirapikan agar tidak menimbulkan bencana.