Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto menilai Satuan TNI Terintegrasi (STT) di Natuna, Kepulauan Riau, masih perlu diperkuat. Hal ini untuk mengantisipasi ancaman konflik di perairan sengketa Laut China Selatan (LCS).
Dia menyebut Indonesia masih menghadapi ancaman konflik yang dapat muncul di Laut China Selatan, mengingat ada klaim sepihak China atas seluruh Laut China Selatan, termasuk Laut Natuna Utara yang merupakan perairan Indonesia.
Hadi menyampaikan pertahanan Indonesia di Natuna akan terus diperkuat demi mengantisipasi konflik yang dapat muncul akibat sengketa wilayah perairan itu.
“Dalam merespons permasalahan Laut China Selatan, di bidang pertahanan dan keamanan, pemerintah mendorong program major project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna melalui kecukupan alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI,” kata Hadi, Jakarta, Selasa, 19 Maret 2024.
Dia menyebut penguatan satuan terintegrasi TNI di Natuna merupakan tindak lanjut atas Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020–2024.
Di luar itu, Hadi menyebut Indonesia tetap mengedepankan diplomasi dan negosiasi damai dalam mengelola sengketa di Laut China Selatan. Indonesia, menurut Hadi, cukup aktif mendorong finalisasi tata perilaku (code of conduct/CoC) untuk Laut China Selatan.
“Kita menargetkan CoC dapat difinalisasi dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu pada 2025. Kita semua berharap CoC dapat menjadi dokumen yang efektif, substantif, dan actionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual confidence di antara negara-negara yang berkepentingan di Laut China Selatan,” kata Menko Polhukam.
China masih mengeklaim secara sepihak seluruh wilayah Laut China Selatan yang disebut sembilan garis putus-putus (nine-dash lines) atas dasar hak sejarah. China juga menerbitkan peta terbarunya yang menambah satu garis putus-putus itu menjadi ten-dash lines, yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.
“Sengketa wilayah ini menjadi semakin kompleks dengan menguatnya rivalitas geopolitik major powers (negara adidaya) di kawasan, utamanya antara Amerika Serikat dan China,” kata Hadi.
Hadi menyampaikan Indonesia berkepentingan mengelola sengketa itu demi menjaga situasi di Laut China Selatan tetap kondusif.
“Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara major powers dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi sea of peace,” kata Hadi.
Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto menilai Satuan
TNI Terintegrasi (STT) di Natuna, Kepulauan Riau, masih perlu diperkuat. Hal ini untuk mengantisipasi ancaman konflik di perairan sengketa
Laut China Selatan (LCS).
Dia menyebut Indonesia masih menghadapi ancaman konflik yang dapat muncul di Laut China Selatan, mengingat ada klaim sepihak China atas seluruh Laut China Selatan, termasuk Laut Natuna Utara yang merupakan perairan Indonesia.
Hadi menyampaikan
pertahanan Indonesia di Natuna akan terus diperkuat demi mengantisipasi konflik yang dapat muncul akibat sengketa wilayah perairan itu.
“Dalam merespons permasalahan Laut China Selatan, di bidang pertahanan dan keamanan, pemerintah mendorong program major project dalam upaya penguatan keamanan Laut Natuna melalui kecukupan alutsista dan peningkatan sarana dan prasarana satuan terintegrasi TNI,” kata Hadi, Jakarta, Selasa, 19 Maret 2024.
Dia menyebut penguatan satuan terintegrasi TNI di Natuna merupakan tindak lanjut atas Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020–2024.
Di luar itu, Hadi menyebut Indonesia tetap mengedepankan diplomasi dan negosiasi damai dalam mengelola sengketa di Laut China Selatan. Indonesia, menurut Hadi, cukup aktif mendorong finalisasi tata perilaku (
code of conduct/CoC) untuk Laut China Selatan.
“Kita menargetkan CoC dapat difinalisasi dalam kurun waktu 3 tahun, yaitu pada 2025. Kita semua berharap CoC dapat menjadi dokumen yang efektif, substantif, dan
actionable untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual trust dan mutual
confidence di antara negara-negara yang berkepentingan di Laut China Selatan,” kata Menko Polhukam.
China masih mengeklaim secara sepihak seluruh wilayah Laut China Selatan yang disebut sembilan garis putus-putus (nine-dash lines) atas dasar hak sejarah. China juga menerbitkan peta terbarunya yang menambah satu garis putus-putus itu menjadi ten-dash lines, yang tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.
“Sengketa wilayah ini menjadi semakin kompleks dengan menguatnya rivalitas geopolitik
major powers (negara adidaya) di kawasan, utamanya antara Amerika Serikat dan China,” kata Hadi.
Hadi menyampaikan Indonesia berkepentingan mengelola sengketa itu demi menjaga situasi di Laut China Selatan tetap kondusif.
“Kita tidak ingin melihat wilayah Laut China Selatan justru dijadikan ajang proyeksi kekuatan negara
major powers dan menjadi episentrum konflik. Kita harus mampu mengubah Laut China Selatan menjadi
sea of peace,” kata Hadi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AZF)